Bareskrim Usut Kasus Korupsi Jual Beli BBM Nontunai yang Rugikan Negara Rp 451 M

23 Agustus 2022 9:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyampaikan keterangan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/8/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyampaikan keterangan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/8/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dirtipidkor Bareskrim Polri tengah mengusut kasus dugaan korupsi perjanjian jual beli bahan bakar minyak (BBM) nontunai. Kasus itu melibatkan PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) dengan PT Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT) pada 2009-2012.
ADVERTISEMENT
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, pihaknya telah melakukan gelar perkara dan memutuskan untuk menaikkan status kasus itu ke penyidikan.
"Setelah dilakukan pemeriksaan saksi baik dari pihak terkait dan ahli-ahli, kasus ini dinaikkan menjadi penyidikan," kata Dedi dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (23/8).
Dedi menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini terjadi pada 2009 hingga 2012. Di mana, PT Pertamina Patra Niaga melakukan perjanjian jual beli BBM secara nontunai dengan PT Asmin Koalindo Tuhup.
Awalnya, lanjut Dedi, pada kontrak periode 2009-2010 kesepakatan yang dijalin, yakni 1.500 kiloliter BBM per bulan.
Kemudian pada 2010-2011, PT PPN menambah volume pengiriman menjadi 6.000 kiloliter per bulan (Addendum I). Selanjutnya pada 2011-2012, PT PPN lagi-lagi menaikkan volume menjadi 7.500 KL per pemesanan (Addendum II).
ADVERTISEMENT
"Bahwa pada proses pelaksanaan perjanjian PT Pertamina Patra Niaga dalam tahap pengeluaran BBM, Direktur Pemasaran PT PPN melanggar batas kewenangan/otorisasi untuk penandatangan kontrak jual beli BBM yang nilainya di atas Rp 50M berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama PT Patra Niaga Nomor: 056/PN000.201/KPTS/2008 tanggal 11 Agustus 2008 tentang Pelimpahan Wewenang, Tanggung Jawab, Dan Otorisasi," terang Dedi.
Selain itu, Dedi menambahkan, PT AKT tidak melakukan pembayaran sejak 14 Januari 2011-31 Juli 2012 dengan jumlah sebesar Rp 19.751.760.915 dan USD 4.738.465 atau senilai Rp. 451.663.843.083.
Dedi menjelaskan, Direksi PT PPN tidak melakukan pemutusan kontrak penjualan dengan PT AKT yang tidak melakukan pembayaran terhadap BBM yang telah dikirimkan. PT PPN pun tak berupaya untuk melakukan penagihan.
ADVERTISEMENT
"Tidak adanya jaminan colateral berupa bank garansi atau SKBDN dalam proses penjualan BBM Non tunai sehingga PT PPN mengalami kerugian pada saat PT AKT tidak melakukan pembayaran terhadap BBM yang telah diterimanya sejak tahun 2009 sampai dengan 2012," jelas Dedi.
Kemudian, berdasarkan data rekonsiliasi verifikasi tagihan kreditur pada proses PKPU N0. 07/PDT.SUS-PKPU/2016/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 4 April 2016, PT AKT belum membayar BBM yang telah dikirim senilai Rp 451.663.843.083
Dari data yang disiapkan akuntansi utang piutang PT PPN juga tercatat BBM jenis solar yang sudah terkirim ke PT AKT sebanyak 154.274.946 liter atau senilai Rp 278.590.775.399 dan USD 102.600.314.
"Berdasarkan hasil penyelidikan terdapat dugaan penerimaan uang oleh pejabat PT PPN yang terlibat dalam proses perjanjian penjualan BBM non tunai antara PT PPN dengan PT AKT. pada periode saat terjadinya proses penjualan BBM tersebut," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Dedi menuturkan, dari hasil penyelidikan terdapat indikasi kerugian negara yang dihitung berdasarkan jumlah BBM yang dikirim PT PPN ke PT AKT sesuai dengan kontrak dan Addendum I, II yang belum dilakukan pembayaran. Apabila di total, negara mengalami kerugian sebesar Rp 451.663.843.083.
"Penyidik pun melakukan langkah-langkah selanjutnya dengan membuat rencana penyidikan, melakukan koordinasi dengan pihak terkait dan melakukan profiling kepada pihak-pihak yang diduga terlibat guna aset recovery," tutup Dedi.