Bebasnya Eks Direktur Keuangan Pertamina dari Kasus Korupsi Rp 568 M

5 Desember 2019 6:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Mahkamah Agung  Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Putusan kasasi eks Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero), Ferederick Siahaan, menganulir putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Senin (2/12), Mahkamah Agung (MA) resmi memvonis lepas Ferederick dari jeratan korupsi kilang minyak blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia pada 2009.
ADVERTISEMENT
Ketua majelis hakim, Suhadi, serta dua anggotanya, Krisna Harahap dan Abdul Latif, sepakat Ferederick tak terbukti korupsi dan merugikan negara Rp 568 miliar. Ferederick terlepas dari hukuman 8 tahun penjara yang sebelumnya diketok hakim Tipikor dan diperkuat PT DKI.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro saat konferensi pers tentang putusan PK Baiq Nuril. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"MA menyatakan, bahwa meski terdakwa (Ferederick) terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan penuntut umum, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana [korupsi]," ujar juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, kepada wartawan, Rabu (4/12).
Hakim menilai perbuatan Ferederick yang menandatangani Sale Purchase Agreement (SPA) atau Perjanjian Jual Beli akuisisi Blok BMG tak dapat disalahkan. Sebab, penandatanganan akuisisi saham BMG 1 senilai USD 31,5 juta melalui PT Pertamina Hulu Energi (PT PHE) itu, dilakukan atas mandat eks Dirut Pertamina, Karen Agustiawan.
Terdakwa mantan Dirut PT Pertamina Karen Agustiawan menjalani sidang. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
"Sehingga tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat. Lagipula, penandatanganan terdakwa sebagai penjamin tersebut merupakan perintah jabatan sesuai Pasal 51 ayat (1) KUHP. Sehingga terdakwa tidak dapat dipersalahkan," jelas Andi.
ADVERTISEMENT
"Ferederick Siahaan menandatangani SPA sebagai penjamin (guarantor)," bunyi pertimbangan hakim.
Tak hanya itu, MA menilai, keuangan PT PHE sebagai anak perusahaan Pertamina tidak termasuk keuangan negara. PT PHE tak tergolong BUMN lantaran modal dan sahamnya bukan dari penempatan langsung oleh negara.
MA merujuk putusan MK Nomor 01/PHPUPres/XVII/2019. Kerugian Rp 568 miliar dari investasi lapangan minyak dan gas di Victoria, Australia itu tak bisa dianggap kerugian negara.
"Investasi untuk eksplorasi minyak penuh risiko. Sehingga tidak ada parameter pasti dalam menentukan sukses atau gagalnya suatu eksplorasi," tutur hakim.
Selain Ferederick, hakim juga memvonis lepas eks Manager Merger and Acquisition PT Pertamina (Persero) periode 2008-2010, Bayu Kristanto, karena tak terlibat korupsi. Bayu sebelumnya juga divonis 8 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Padahal, Pengadilan tingkat pertama dan banding menyatakan Ferederick terbukti korupsi bersama-sama Karen, Bayu, dan eks Legal Consul & Compliance PT Pertamina (Persero) periode 2009-2015, Genades Panjaitan. Selai vonis 8 tahun, Ferederick juga dijatuhkan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Adapun Karen yang juga divonis 8 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta masih menunggu nasibnya di MA. Karen mengajukan kasasi setelah bandingnya ditolak PT DKI dan tetap memvonis Karen dengan hukuman 8 tahun.
Kasus ini bermula pada 23 Januari 2009. Saat itu, eks Marketing Citibank Indonesia, Gioshia Ralie, ditugaskan oleh Banker Citi Australia, Abbas Rangwalla, untuk membina hubungan bisnis dengan perusahaan migas di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Abbas meminta bantuan Gioshia agar menghubungkan Citi Australia dengan Pertamina dan PT Medco Energy. Dengan harapan, ia bisa menawarkan Pertamina untuk investasi di Blok BMG.
Gioshia kemudian menggelar pertemuan dengan Ferederick; eks Vice President Pendanaan dan Portofolio Anak Perusahaan, Budhi Himawan; dan Deputi Direktur Pendanaan dan Manajemen Risiko, Evita Tagor, di kantor Pertamina.
Dalam pertemuan itu, Gioshia menawarkan 40 persen hak di Blok BMG kepada Pertamina. Setelah pertemuan, Bayu, tanpa mengikuti Sistem Tata Kelola Investasi dan Kajian di Pertamina, langsung membuat surat pernyataan Pertamina tertarik dengan penawaran tersebut.
Padahal, dalam laporannya, tim internal yang digagas Bayu menyarankan agar waktu kajian digodok lebih lama. Akuisisi untuk minyak dan gas ditambah upside (cadangan migas) potensial di Blok BMG tidak dapat diinvestasi karena berisiko tinggi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kajian tersebut tidak diikuti. Dalam rapat direksi yang dipimpin Karen pada 17 April 2009, direksi Pertamina justru menyetujui untuk mengakuisisi Blok BMG. Terlebih, hasil rapat tidak dicatat dalam notulen, yang diduga atas perintah Karen.
Hasil rapat ini tetap dilaporkan ke Dewan Komisaris (DK) Pertamina. Setelah itu, DK mengundang Karen pada 30 April 2009. Dalam rapat itu, DK menyarankan Karen untuk mempertimbangkan ulang usulannya.
Sebab, DK menyatakan, ada permasalahan operasional produksi Blok BMG. Namun, kekhawatiran itu tak digubris Karen, dan menganggap 10 persen saham ditanam untuk sekadar melatih anak buahnya untuk ikut bidding, bukan untuk menang
Jawaban itu menunjukkan Pertamina hanya ingin coba-coba untuk ikut lelang Blok BMG sebesar 10 persen. Mendengar penjelasan Karen, dua anggota DK menyetujui rencana itu, dengan sarat, tujuannya melatih SDM Pertamina untuk ikut lelang di Australia, bukan untuk mengakuisisi Blok BMG.
ADVERTISEMENT
Hakim Tipikor menilai Karen 2009 mengabaikan masukan DK dan menyatakan Pertamina telah memasukkan penawaran untuk mengakuisisi 10 persen Participating Interest (PI) atau saham Blok BMG melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energi (PT PHE).
Eks Dirut Pertamina, Karen Agustiawan usai divonis hakim 8 tahun penjara. Foto: Muhammad Lutfan Dharmawan/kumparan
Artinya, Pertamina memiliki saham 10 persen dalam Blok tersebut. Sedangkan sisanya dimiliki oleh Anzon Australia yang merupakan anak usaha ROC Oil Limited Australia. sebesar 30 persen, Beach Petroleum sebesar 30 persen, CIECO Exploration and Production sebanyak 20 persen, dan Sojitz Energy Australia sebesar 10 persen.
Sale Purchase Agreement (SPA) atau Perjanjian Jual Beli akuisisi itu pun dilakukan pada tanggal 27 Mei 2009 yang diwakili Ferederick. Saat itu, PT PHE mengeluarkan dana USD 31,5 juta.
Dalam perkembangannya, akuisisi saham itu malah merugikan. ROC Ltd menghentikan produksi Blok BMG dengan alasan tidak ekonomis lagi, dengan realisasi produksi Blok BMG hanya 252 barel per hari.
Mantan Dirut Pertamina, Karen Agustiawan menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/2). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Pada 2012, PT Pertamina Hulu Energi juga mengundurkan diri dari kepemilikan operasional pada Blok BMG. Audit Ernst & Young menyebut, investasi di Blok BMG sudah tidak bernilai karena manajemen PT PHE Australia telah melakukan penurunan nilai sebesar Rp 568 miliar. Angka ini yang kemudian menjadi kerugian negara.
ADVERTISEMENT
Karen sudah menanggapi putusan vonis 8 tahun penjara untuknya. Karen mengklaim perbuatannya dilakukan semata-mata untuk memajukan Pertamina, dan tak menerima uang sepeserpun.
"Saya hanya pesan kepada BUMN, ini adalah preseden buruk, walaupun Anda sudah berprestasi, dan menyumbangkan banyak sekali untuk negara dan Pertamina tidak berati Anda lepas dari kriminalisasi," kata Karen.
"Walaupun tidak ada korupsi, tidak ada fraud, tidak ada kepentingan pribadi. Dan bisnis itu hanya dijalankan untuk kemaslahatan Pertamina, untuk kemajuan Pertamina dan masih bisa dikriminalisasi. Itu saja pelajarannya," kata dia.
"Dan saya harapkan jangan ada lagi direksi Pertamina yang 'di-Karen-kan' cukup saya dan cukup saya yang berkorban, itu saja permintaan saya," sambungnya.