Beda Firli Bahuri dan Pimpinan KPK Lain saat Diperiksa Polisi: Tak Ada yang Bela

21 November 2023 16:03 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK Firli Bahuri kabur hindari wartawan, dia terlihat menutup wajahnya saat tinggalkan Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (16/11/2023). Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Firli Bahuri kabur hindari wartawan, dia terlihat menutup wajahnya saat tinggalkan Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (16/11/2023). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Firli Bahuri bukan satu-satunya pimpinan KPK yang diperiksa terkait kasus pidana. Hal serupa juga pernah dialami pimpinan KPK lain sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Bedanya, pimpinan KPK era sebelum Firli, kerap dibela oleh masyarakat. Hal itu kontras dengan apa yang dialami Firli saat ini.
Mari kilas balik. Pimpinan KPK yang pernah diperiksa oleh penegak hukum ada beberapa. Yang paling terkenal yakni terkait 'Cicak vs Buaya'. Ada empat pimpinan KPK yang bahkan dijerat tersangka dalam kasus tersebut, di dua termin waktu berbeda.
Pertama, kasus cicak buaya terjadi pertama kali pada 2009. Saat itu, KPK mengusut keterlibatan perwira tinggi Polri, Susno Duadji, dalam kasus korupsi. Susno Duadji, terjerat dua kasus yakni pengamanan dalam Pilgub Jawa Barat dan kasus PT Salmah Arowana Lestari. Susno divonis 3,5 tahun penjara dalam 2 kasus tersebut.
Tak lama setelahnya, dua pimpinan KPK yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, menjadi tersangka atas tudingan menyalahgunakan wewenang. Namun kasusnya tak sampai ke persidangan usai Kejaksaan menghentikan penuntutan. Saat itu, kuat desakan publik bahwa kedua pimpinan KPK itu korban kriminalisasi.
Chandra M Hamzah memberikan keterangan pers terkait Revisi UU KPK di Gedung KPK, Jakarta, Senin (16/9). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kedua, kasus cicak vs buaya terjadi saat KPK menjerat calon Kapolri, Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka gratifikasi. Tak lama setelahnya, pimpinan KPK Bambang Widjojanto ditetapkan tersangka terkait mengarahkan kesaksian palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin 2010.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Ketua KPK Abraham Samad menjadi tersangka kasus pemalsuan dokumen untuk KTP milik perempuan bernama Feriyani Lim. Setelah polemik itu, Budi Gunawan dinyatakan bebas melalui jalur praperadilan. Penetapan tersangka KPK dinilai tak sah. Kini Budi menjabat Kepala BIN.
Adapun Samad dan BW tak diadili karena Kejaksaan Agung melakukan deponeering atau mengenyampingkan perkara. Saat itu, publik juga ramai menyatakan keduanya adalah korban kriminalisasi. Bahkan demonstrasi digelar berhari-hari. Ada juga mahasiswa yang sampai mendirikan 'barak cicak' di depan KPK, sebagai bentuk dukungan.
Bambang Widjojanto. Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Kemudian, mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan juga pernah ditangkap polisi terkait kasus dugaan penganiayaan saat dia menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Kota Bengkulu pada 2004. Kasus yang dituduhkan kepadanya yakni terkait penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet.
ADVERTISEMENT
Novel ditangkap polisi April 2015. Saat itu muncul reaksi dari sejumlah aktivis antikorupsi. Lagi-lagi menilai bahwa tindakan kepolisian sebagai upaya kriminalisasi.

Saat Firli Diperiksa Polisi

Kasus-kasus di atas kontras dengan apa yang terjadi saat ini terhadap Ketua KPK Firli Bahuri. Dia juga diperiksa polisi terkait kasus dugaan pimpinan KPK menerima suap dari Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Namun, tak tampak adanya reaksi penentangan dari publik. Bahkan, tak muncul suara pembelaan dari pihak internal KPK itu sendiri.
"Selain itu kita tidak pernah melihat pegawai KPK atau aktivis antikorupsi membela Firli. Saya kira itu indikasi yang mudah untuk menjawab klaim mengada-ada yang disampaikan oleh Firli," kata mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
Hal yang sama juga disampaikan oleh mantan penyidik KPK Praswad Nugraha. Ia melihat Firli Bahuri merupakan sosok yang bermasalah. Sehingga, tidak termasuk pihak yang dianggap sebagai tokoh pemberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Maka ketika Firli mengaku sedang mendapat 'serangan balik koruptor' terkait kasus hukumnya, Praswad menilai hal tersebut mengada-ngada.
Oleh karenana, Praswad tak heran ketika tak ada yang membela Firli Bahuri terkait kasus hukumnya itu. Beda saat Pimpinan KPK lain yang sebelumnya terjerat kasus hukum.
"Benar. Firli Bahuri sudah bermasalah bahkan sejak menjabat sebagai Deputi di KPK, kami para tokoh antikorupsi dan tokoh masyarakat sipil tidak akan pernah membela Firli Bahuri. Setop bermain diksi seolah dia sedang menghadapi Corruptors Fight Back," tegas Praswad.
Saat ini, justru sejumlah aktivis antikorupsi menilai Firli harus segera dijadikan tersangka dan mundur dari jabatannya.
Suara-suara itu muncul salah satunya dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana getol menyuarakan agar Firli segera ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya.
ADVERTISEMENT
"Mengingat bukti semakin menguat, ICW mendesak Polda Metro Jaya segera menaikkan status Firli, dari saksi menjadi tersangka. Bahkan, jika dibutuhkan, untuk mempercepat proses hukum demi kepastian hukum, Polda Metro Jaya dapat melakukan Penangkapan dan Penahanan kepada Firli," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya dikutip Kamis (2/11).
Ketua KPK Firli Bahuri usai menjalani pemeriksaan Dewas KPK di Gedung ACLC KPK RI, Senin (20/11/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Lantas mengapa respons publik terhadap kasus Firli dengan pimpinan KPK lainnya berbeda?
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, kasus yang menjerat Firli ini berbeda dengan pimpinan-pimpinan KPK sebelumnya. Dia mencontohkan kasus Cicak vs Buaya.
"Ini berbeda sekali dengan kejadian-kejadian dari zaman dulu cicak vs buaya gitu ya, di mana masyarakat melakukan pembelaan ketika ada pimpinan KPK yang dijadikan tersangka, membela KPK dari serangan dari aparat-aparat penegak hukum lain," kata Zaenur saat dihubungi, Selasa (21/11).
ADVERTISEMENT
"Kenapa? Karena di cicak buaya yang sebelum-sebelumnya itu terlihat dengan sangat jelas adanya suatu proses penegakan hukum yang tidak didasarkan pada alat bukti yang kuat dan juga punya tendensi atau tujuan bukan untuk penegakan hukum, tetapi justru untuk menghambat proses penegakan hukum: orang biasa menyebutnya kriminalisasi," sambungnya.
Kondisi tersebut, kata Zaenur, berbeda 180 derajat dengan kasus Firli saat ini.
"Tidak ada satu pun untuk dukungan publik kepada Firli Bahuri, tidak ada orang demo mendukung KPK atau mendukung Firli Bahuri, atau mereka mengatakan bahwa ini 'kriminalisasi' tidak ada satu pun yang mengatakan seperti itu," kata Zaenur.
"Kenapa? Yang karena dilihat dari perkaranya itu jauh berbeda. Yang pertama, ada foto beredar Firli Bahuri bertemu dengan SYL, padahal diduga SYL itu sudah mulai diperiksa perkaranya di KPK, baik itu di tahap penyelidikan ataupun tahap penyidikan. Jadi itu saja sudah memperlihatkan adanya pelanggaran Pasal 36 UU KPK yang diancam dengan ancaman pidana itu. Dengan Pasal 65 UU KPK," sambung dia.
Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman di LBH Yogyakarta, Kamis (9/6/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Yang kedua, lanjut Zaenur, dugaan adanya pemerasan atau gratifikasi. Dia menyebut, hal ini juga sudah langsung disampaikan oleh SYL ke publik. Buktinya ada.
ADVERTISEMENT
"Nah ini SYL sendiri juga tidak pernah menyampaikan kepada publik dengan jelas gitu ya, tetapi penyidik dari Polda dengan melakukan pemeriksaan kepada saksi-saksi. Saksi-saksi juga sudah menyampaikan adanya informasi pertemuan-pertemuan antara SYL dengan Firli Bahuri kemudian bahkan menindaklanjuti adanya pertemuan di rumah di Kertanegara," kata dia.
"Itu semakin menguatkan adanya dugaan pemerasan dan suap atau gratifikasi. Di kasus Firli Bahuri ini, alat buktinya sangat kuat, paling minim adalah terjadi pelanggaran Pasal 36 UU KPK, kalau kita belum membicarakan suap atau gratifikasi atau pemerasan," ucapnya.
Belum lagi muncul dugaan lain yakni penerimaan gratifikasi terkait rumah Kertanegara yang disebut disewa Firli seharga Rp 650 juta tetapi tidak ada di LHKPN.
"Itu saja sudah menimbulkan kecurigaan. Jadi memang publik tidak kemudian menganggap bahwa ini 'kriminalisasi' terhadap Firli Bahuri karena memang dugaannya sangat kuat, apalagi untuk pelanggaran Pasal 36. Itulah perbedaannya kasus ini dengan kasus-kasus terdahulu," kata dia.
ADVERTISEMENT

Rekam Jejak Firli Bahuri

Selain itu, lanjut Zaenur, rekam jejak sang purnawirawan jenderal polisi ini pun dinilai bermasalah. Firli pernah dinyatakan melanggar etik sebagai pimpinan KPK.
"Yang menurut saya juga berpengaruh adalah rekam jejak ya, rekam jejak Firli Bahuri ini memang sejak awal sudah sangat bermasalah, berkali-kali melakukan pelanggaran kode etik. Tapi tidak diproses. Sehingga juga tidak ada yang percaya bahwa Firli Bahuri ini adalah satu figur yang berintegritas, sehingga dia diproses oleh aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian, ya publik menunggu silakan kepolisian proses itu kemudian nanti ajukan ke muka sidang kalau memang sudah alat buktinya yang kuat menunjukkan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Firli," ucapnya.
Salah satu etik yang terbukti yakni saat Firli bergaya hidup mewah menggunakan helikopter saat pulang ke kampung halamannya.
ADVERTISEMENT
Kini Firli juga diperiksa oleh Polisi terkait kasus SYL. Gerak-geriknya pun tak lepas dari kritik. Salah satunya saat keluar dari Gedung Bareskrim Polri usai diperiksa sebagai saksi, dia tampak dengan pose tidur dan menutup muka dengan tas, seraya menghindari kamera wartawan. Hal ini dianggap sejumlah pihak seperti tingkah: koruptor.
"Tindakan Firli Bahuri yang berusaha menghindari jurnalis dengan bersembunyi dan menutup wajahnya menggunakan tas setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri mengingatkan masyarakat pada kebiasaan para koruptor. Seperti yang sering tampak di KPK, koruptor yang mengenakan rompi oranye selalu mencari siasat untuk lari dari kejaran jurnalis," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/11).