Beda Suap dan Gratifikasi, Aturan yang Bikin Samin Tan Bebas

1 September 2021 18:39 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal, Samin Tan, usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Senin (7/10/2019). Foto:  Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal, Samin Tan, usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Senin (7/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Terdakwa kasus korupsi, Samin Tan, divonis bebas. Ia dinilai tak terbukti terlibat suap sebagaimana dakwaan jaksa KPK.
ADVERTISEMENT
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menilai Samin Tan berposisi sebagai pemberi gratifikasi. Tidak ada aturan soal pidana mengenai itu. Maka, hakim menilai Samin Tan layak dibebaskan dari dakwaan.
Lantas, bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?

Samin Tan dan Uang Rp 5 Miliar untuk Eni Saragih

Pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Samin Tan usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/8/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
KPK menetapkan Samin Tan sebagai tersangka pada 1 Februari 2019. Namun, ia baru ditahan pada April 2021 lantaran sempat setahun menjadi buronan.
Penetapan Samin Tan sebagai tersangka merupakan pengembangan kasus dugaan suap pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1 (PLTU-MT Riau-1) yang menjerat Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR.
Samin Tan ditetapkan sebagai tersangka usai penyidik KPK menemukan adanya dugaan pemberian uang kepada Eni Saragih sebesar Rp 5 miliar.
ADVERTISEMENT
Samin Tan diduga memberikan uang kepada politikus Golkar itu terkait pengurusan terminasi kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (PT AKT) di Kementerian ESDM.
Perkara Samin Tan ini bermula pada Oktober 2017 saat Kementerian ESDM melakukan terminasi atas PKP2B PT AKT. Sebelumnya diduga PT BLEM yang dimiliki Samin Tan telah mengakuisisi PT AKT.
Samin Tan diduga meminta bantuan sejumlah pihak, termasuk Eni Saragih, terkait permasalahan pemutusan PKP2B Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKT dengan Kementerian ESDM.
Eni Maulani saat tiba di Gedung KPK, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Eni Saragih menyanggupi permintaan bantuan Samin dengan berupaya mempengaruhi pihak Kementerian ESDM. Bantuan yang diberikan Eni Saragih terkait penggunaan forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian ESDM. Posisi Eni saat itu sebagai anggota panitia kerja Minerba di Komisi VII DPR.
ADVERTISEMENT
Dalam proses penyelesaian tersebut, Eni Saragih diduga meminta sejumlah uang kepada Samin, untuk keperluan Pilkada suaminya di Kabupaten Temanggung.
Samin Tan menyanggupinya dan memberikan uang senilai Rp 5 miliar dalam 2 tahap, yakni 1 Juni 2018 sebanyak Rp 4 miliar dan pemberian kedua pada 21 Juni 2018 sebanyak Rp 1 miliar.
Johannes Kotjo saat memberikan kesaksian di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/7). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Eni Saragih yang terlebih dulu menjalani sidang. Hakim menyatakan Eni Saragih terbukti menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo sebesar Rp 4,75 miliar, dalam beberapa tahap. Suap diberikan agar Eni dapat membantu perusahaan Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau-1.
Eni Saragih pun terbukti telah menerima gratifikasi dari sejumlah pengusaha yang berkaitan dengan mitra kerja dari Komisi VII. Total yang ia terima sebesar Rp 5,6 miliar dan SGD 40 ribu atau setara Rp 419.200.000 (SGD 1 = Rp 10.480). Salah satunya ialah Rp 5 miliar dari Samin Tan.
ADVERTISEMENT
Putusan ini yang kemudian mendasari vonis bebas Samin Tan. Sebab, pemberian uang dari Samin Tan itu dinyatakan sebagai gratifikasi Eni Saragih.
Jaksa mendakwa Samin Tan dengan pasal sebagai pemberi suap. Yakni dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU Tipikor. Dalam tuntutan, jaksa KPK meyakini Samin Tan terbukti korupsi berdasarkan Pasal 5 ayat 1 huruf a.
Namun, hakim berpandangan lain terlepas dari dakwaan jaksa. Menurut hakim, Samin Tan harus diposisikan sebagai pemberi gratifikasi. Sebab, Eni Maulani Saragih sebagai pihak penerima uang, dijerat dengan pasal gratifikasi. Kasusnya pun sudah inkrah.
Terkait uang Rp 5 miliar yang sudah diberikan Samin Tan, jaksa menilai itu suap. Namun hakim meyakini itu gratifikasi dengan melandaskan pada tidak adanya kewenangan Eni Saragih.
ADVERTISEMENT
Tujuan pemberian uang dari itu adalah agar Eni Maulani Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
Namun, hakim menyebut bahwa Eni Maulani Saragih tidak punya kewenangan untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM No.3174K/30/MEM/2017 mengenai terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batubara (PKP2B) untuk perusahaan milik Samin Tan. Menurut hakim, yang berwenang adalah Menteri ESDM.
Maka, hakim tetap berkeyakinan bahwa yang terjadi ialah bentuk pemberian gratifikasi. Sehingga, Samin Tan layak dibebaskan karena tak ada pidana bagi pemberi gratifikasi.

Pasal Suap dan Gratifikasi

Ilustrasi uang sitaan KPK. Foto: Instagram/@official.kpk
Suap dan gratifikasi termasuk dalam delik korupsi yang diatur dalam Undang-Undang. Berikut bunyi pasal yang sering digunakan KPK dalam suap dan gratifikasi:
ADVERTISEMENT
Suap
Pihak pemberi
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya
Pasal 6 (pemberi suap khusus terhadap hakim)
ADVERTISEMENT
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Pihak penerima
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
ADVERTISEMENT
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
ADVERTISEMENT
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
Gratifikasi
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
ADVERTISEMENT
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 maupun tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ada ketentuan pidana terhadap pemberi gratifikasi.

Beda Suap dan Gratifikasi

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Foto: Muhammad Lutfan Darmawan/kumparan
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa pemberian suap didasarkan karena melihat jabatan dan kewenangan pihak penerima uang. Sang pemberi berharap ada imbal yang diberikan penerima dengan kewenangan jabatan.
ADVERTISEMENT
"Suap itu pemberian yang dikaitkan dengan produk atau hasil yang diharapkan dari pihak yang disuap karena jabatannya. Jadi fungsi suap itu untuk melancarkan bahkan mengabulkan permohonan penyuap sekalipun itu bertentangan dengan hukum," papar Ficar kepada wartawan, Rabu (1/9).
Hal yang sama diungkapkan dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Agustinus Pohan. Menurut dia, suap diberikan karena berharap sesuatu sebagai imbal.
"Suap itu adalah kita mengharapkan sesuatu. mengharapkan sesuatu itu bisa juga sesuatu yang bertentangan dengan aturan, bisa juga sesuatu itu sesuatu yang sesuai dengan aturan," kata dia.
"Misalnya kita untuk mempercepat proses kan tidak ada aturan yang dilanggar, itu suap namanya," sambung dia.
Agustinus Pohan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Berbeda dengan gratifikasi. Agustinus menyebut bahwa pemberian gratifikasi tidak berharap ada imbal langsung yang diterima. Namun, pemberian itu sama-sama karena jabatan sang penerima.
ADVERTISEMENT
"Jadi kita ngasih karena jabatannya, bukan mau apa-apa, gitu loh. Kita tidak bermaksud untuk mengharapkan perlakuan atau apa, enggak ada. Tapi bukan karena teman juga, hanya karena tahu dia pejabat kemudian kita memberikan sesuatu, itu namanya gratifikasi," papar dia.
"Kalau gratifikasi betul-betul tidak mengharapkan apa pun, ya sudah kita cuma ngasih saja, tapi ngasihnya itu karena dia pejabat," sambungnya.
Abdul Ficar Hadjar pun berpendapat demikian. Ia mengibaratkan gratifikasi itu sebagai menanam budi yang hasilnya akan dituai di kemudian hari.
"Kalau gratifikasi pemberian kepada pejabat atau orang yang menduduki jabatan negara tetapi tidak langsung berkaitan dengan pamrih atau keinginan si pemberi. Diharapkan pada waktu tertentu yang akan datang, akan mempermudah urusan atau permohonan pemberi gratifikasi. Dengan kata lain, gratifikasi itu menanam budi," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Terkait kasus Samin Tan, Ficar menilai putusan hakim memang rasional. Bahwa ada kaitan karena Eni Saragih penerima gratifikasi, maka Samin Tan pemberi gratifikasi.
Namun menurut dia, tetap harus dilihat juga soal alasan yuridisnya. Yakni terkait motif pemberian uang.
"Jika fakta persidangan bisa dibuktikan bahwa motif atau maksud terdakwa memberikan sesuatu itu dengan mengharapkan kemudahan dari jabatan penerima, maka hakim bisa memutus sebagai suap. Meskipun penerima dihukum sebagai gratifikasi. Jadi tergantung pembuktian "maksud pemberian"," kata dia.
Agustinus Pohan juga berpendapat bahwa majelis hakim Samin Tan fokus dalam fakta yang muncul dalam persidangannya. Bila fakta persidangan menujukkan bahwa yang terjadi ialah suap, maka vonis pun harus berdasarkan fakta tersebut.
"Kalau apa yang terbukti dalam pengadilannya Samin Tan bahwa itu adalah suap maka majelis hakim harus memutus berdasarkan suap. Jadi dia harus memutus berdasarkan dengan apa yang terbukti dalam sidangnya dia, tidak boleh merujuk ke sana (perkara Eni Saragih)," papar dia.
ADVERTISEMENT
Meski divonis bebas, perkara Samin Tan masih belum inkrah. KPK langsung menyatakan kasasi.
KPK masih meyakini bahwa perbuatan Samin Tan ialah suap. Hal itu berdasarkan bukti sejak awal penyelidikan hingga penuntutan.