Begitu Mudahnya Anak-anak Indonesia Terpapar Konten LGBT di Media Sosial

11 Mei 2022 10:55 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera warna pelangi LGBT dalam Diversity March tahunan di pusat kota Montevideo, Uruguay, Jumat (25/9/2020). Foto: MARIANA GREIF/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Bendera warna pelangi LGBT dalam Diversity March tahunan di pusat kota Montevideo, Uruguay, Jumat (25/9/2020). Foto: MARIANA GREIF/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ingatan masyarakat masih segar terhadap sebuah akun di Instagram bernama Alpatuni. Akun ini sempat jadi sorotan dan viral pada awal 2019 lalu karena kerap mengunggah konten komik muslim gay. Konten komik strip tersebut kemudian dinilai berbau pornografi oleh Kominfo. Berbekal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Kominfo bergerak dan memblokirnya.
ADVERTISEMENT
Akun tersebut dinilai oleh Kominfo saat itu telah memenuhi Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kini publik kembali dihebohkan dengan munculnya konten podcast dari Deddy Corbuzier di Channel YouTubenya. Konten tersebut menampilkan pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederick Vollert. Keduanya sudah terang-terangan mengungkap hubungan di ruang publik. Ragil bahkan aktif di platform TikTok. Konten mereka pun sering mendapat likes hingga jutaan. Tak jarang, kolom komentar dipenuhi akun para remaja.
Tak sulit menemukan aktivitas berbau Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) di media sosial. Dalam pencarian singkat saja di TikTok, kami langsung menemukan beberapa yang mengunggah konten macam itu.
Seperti akun pop***********, misalnya. Punya konten komedi dan mampu meraih 1,8 juta followers dan 41,5 juta likes. Pengguna tersebut pun terang-terangan mengunggah proses transgendernya dan memasang ikon pelangi (bendera khas LGBT). Hingga Selasa (10/5), akun tersebut masih aktif mengunggah konten.
ADVERTISEMENT
Mirip akun tersebut, ada juga akun inc****** juga menambahkan logo bendera pelangi pada bionya dan secara gamblang bercerita soal perubahannya dari laki-laki jadi perempuan. Ia kerap mengunggah konten joget. Terakhir, akun tersebut aktif mengunggah konten pada Minggu (8/5).
Kami juga menemukan sejumlah akun-akun berbau LGBT lain dengan jumlah followers fantastis. Seperti not****, terang-terangan mengunggah video kemesraan dengan pasangan sesama jenisnya. Per Selasa (10/5), dia mengantongi 74 ribu followers dan lebih dari 1 juta likes. Pasangannya sesama jenisnya, its******* juga masih aktif dan punya ribuan followers.
Penemuan serupa juga ada pada akun beberapa akun lainnya seperti rmp*****, Cla******** dan aim****. Akun yang terakhir itu bahkan punya YouTube sendiri. Dua sejoli itu, sesama gender, rajin unggah video bersama di YouTube. Dua contoh kontennya berjudul “BELOK SEJAK DINI??!!”, “LGBT IS AN INDUSTRY!!!”, dan beragam video challenge.
ADVERTISEMENT
Akun @aim**** tampak masih aktif di dengan unggahan terakhirnya, Selasa (10/5). Sejauh ini, akun tersebut mendapat 41,5 ribu followers dan 3,6 juta likes.
Komisioner KPAI, Retno Listyarti di SMPN 147 Ciracas. Foto: Reki Febrian/kumparan
Banyaknya konten macam itu menjadi perhatian dari sejumlah pihak. Salah satunya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menilai konten tersebut akan berdampak kepada masyarakat khususnya anak-anak. Terlebih saat ini, anak-anak sudah banyak yang dengan mudahnya mengakses medsos.
"Keberadaan konten berbau LGBT dalam media publik seperti film dan internet atau medsos tentu berpotensi kuat memberikan dampak kepada masyarakat. Dampak tersebut akan lebih bertahan lama bila menyasar kalangan muda dan anak-anak," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti, saat dihubungi, Selasa (10/5).
"Terlebih film, sangat mampu membuat orang menganggap apa yang ditayangkan itu adalah sebuah kebenaran. Dengan tampil di media, orang akan berpikir bahwa tindakan itu merupakan hal biasa yang tidak salah apabila dilakukan," sambung dia.
ADVERTISEMENT
Retno menyebut perilaku anak-anak bisa terpengaruh dengan konten seperti itu. Terlebih jika sang anak memang pernah memiliki pengalaman terkait dengan LGBT atau trauma dengan lawan jenis. Begitu juga dengan pola asuh yang tidak baik, sehingga dia semakin terdorong dengan konten-konten macam itu.
"Sehingga membuat dia menjadi gay dan ketika menonton ia mendapat pembenaran terhadap kondisi dirinya," kata Retno.
Meski, Retno tak memungkiri banyak faktor untuk menjadikan seseorang memiliki kecenderungan terhadap LGBT. Semisal lingkungan atau sejak lahir sudah memiliki masalah neurologis di mana secara struktur otak dan biologis membuat dia cenderung berperilaku menyukai sejenis.
Medsos memang bak pisau bermata dua. Di satu sisi bisa memberikan informasi yang tak terbatas, di sisi lain kerentanan akan penyaringan informasi yang baik menjadi tantangan, terlebih bagi anak-anak.
ADVERTISEMENT
Hasil riset bertajuk 'Neurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids' yang dipublikasikan pada 2021 lalu, menunjukkan bahwa 87% anak-anak di Indonesia sudah dikenalkan medsos sebelum menginjak usia 13 tahun.
Bahkan sebanyak 92% anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal medsos lebih dini. Secara rata-rata, anak Indonesia mengenal medsos di usia 7 tahun. Dari 92% anak yang datang dari keluarga berpenghasilan rendah, 54% di antaranya diperkenalkan ke medsos sebelum mereka berusia 6 tahun.
Mengacu pada data tersebut, pengawasan di media sosial menjadi suatu hal yang krusial.
"Sekarang memang di era digitalisasi, salah satu dampaknya cepatnya penyebaran informasi, siapa pun di mana saja itu bisa menyebarkan segala macam informasi," kata Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono.
Anggota Komisi I DPR Golkar, Dave Laksono. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Dave menilai pengawasan tersebut bukan hanya menjadi peran dari lingkungan terdekat, tetapi juga dari pemerintah. Konten-konten LGBT yang saat ini banyak beredar di medsos pun, dinilai oleh Dave perlu untuk ditindak. Dia mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk bisa dengan ketat mengawasi hal tersebut.
ADVERTISEMENT
"Ini memang tidak bisa dibendung dengan mudah, di era keterbukaan informasi memang keras, informasi dari mana-mana. Untuk anak-anak muda dan anak-anak kecil di bawah umur, yang sudah bisa main gadget," ucap Dave.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kominfo Usman Kansong menyebut pengawasan terhadap konten negatif, termasuk soal pornografi dan LGBT sudah dilakukan pihaknya. Bahkan Kominfo pada akhir 2017 sudah memiliki alat canggih untuk menyaring konten-konten macam itu. Namanya AIS.
"Memang kita kan punya standar ya, punya standar untuk konten-konten yang katakanlah konten negatif secara umum," kata Usman Kansong.
Dikutip dari laman Kominfo, mesin AIS mulai digunakan sejak Desember 2017. Kominfo mengoperasikan mesin pengais konten negatif sebagai langkah untuk menangkal konten-konten negatif di internet.
ADVERTISEMENT
Mesin sensor internet senilai Rp 200 miliar ini dipergunakan untuk menghalau konten-konten seperti pornografi yang menyebar luas di dunia maya. Dalam tiga hari ini, mesin ini mampu mendeteksi sekitar 120 ribu situs porno dari Indonesia.
Namun demikian, mesin tersebut tak selalu bisa mendeteksi konten yang berbau negatif seperti LGBT. Sebab algoritma standar yang sudah pasti dipakai, kata Usman, yakni unsur pornografi.
Jika dalam konten tersebut bebas unsur pornografi dan faktor lainnya maka tak akan terdeteksi oleh mesin tersebut. Contohnya seperti tayangan podcast YouTube Deddy Corbuzier yang mengundang pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederick Vollert. Meski belakangan video tersebut sudah di-takedown oleh Deddy Corbuzier sendiri.
"Iya, ini tidak ter-detect, kami jadi harus diskusikan dulu ini kan kita sepakati dulu, kan ada tim kan, tim AIS di kita," kata Usman.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, konten tersebut masih bisa masuk dalam pengawasan Kominfo. Sebab, Usman menyebut ada tiga lapis pengawasan konten yang dilakukan oleh Kominfo. Selain dengan AIS, terdapat juga tim yang ditugaskan untuk menganalisis konten.
Jika konten tersebut lolos dari saringan AIS, maka tim ini yang akan mendiskusikan apakah konten tersebut negatif atau tidak. Tim tersebut terdiri dari tim AIS di bawah komando Ditjen Aplikasi Informatika (APTIKA) Kominfo.
"Di AIS juga punya tim, artinya punya orang yang memantau, seperti siber patrol," ucap Usman.
Jika dua 'saringan' tersebut masih tembus, maka ada lapisan terakhir yakni pengaduan masyarakat. Usman menyebut masyarakat bisa melaporkan konten yang dirasa negatif kepada Kominfo. Nantinya laporan tersebut akan diproses.
Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Usman Kansong. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
Usman sendiri mengakui bahwa konten berbau LGBT menjadi salah satu fokus Kominfo saat ini. Di samping konten-konten pornografi dan kekerasan lain yang juga menjadi perhatian.
ADVERTISEMENT
"Terkait dengan LGBT tentu saja kita sangat concern dengan persoalan itu, kita sudah banyak misalnya men-takedown konten-konten LGBT," kata Usman.
Dia mencontohkan ada satu iklan yang pernah di-takedown oleh Kominfo karena berbau LGBT. Iklan yang dimaksud pernah viral pada September 2021 lalu. Iklan itu yakni 'aku bukan homo' yang bernuansa LGBT yang muncul di konten YouTube untuk program anak-anak. Video yang diprotes yakni video musikal animasi berjudul 'Sindu - Aku Bukan Homo Official Music Video (18+)'.
"Konten LGBT atau konten lainnya yang termasuk pornografi, karena yang sudah jelas aturannya tentang pornografi gitu ya. Kalau kontennya tidak mengandung pornografi memang kita harus diskusikan betul-betul ya apa ini. Dalam kasus konten Deddy Corbuzier kita juga menganggap ini sensitif," kata Usman.
ADVERTISEMENT
Selain itu, banyak juga konten lainnya yang sudah di-takedown oleh Kominfo. Sebagai contoh, pada akhir 2020 sampai akhir 2021 (1 tahun), Kominfo telah men-takedown sekitar 2 juta konten di medsos. Alasannya beragam, tetapi yang paling banyak terkait pornografi.
"Konten negatif 2 jutaan, kemudian yang terbanyak lebih dari separuhnya itu terkait pornografi. 1 Juta lebih terkait pornografi," kata Usman. LGBT masuk dalam kategori konten pornografi.
Meski demikian, Dave Laksono menilai kinerja Kominfo belum maksimal. Sebab masih ada juga konten-konten berbau LGBT yang lolos dan masih beredar di medsos.
"Ya, kalau misalnya dibilang maksimal tapi masih kebobolan, masih banyak. Kalau dibilang tidak, ya ada. Cuma memang masih perlu banyak peningkatan," kata Dave.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, dia menilai perlu juga ada pendekatan lain semisal budaya, agama, dan pendidikan kepada masyarakat khususnya anak-anak agar bisa bijak dalam bermedsos. Kominfo pun dinilai harus punya aturan main yang jelas dalam menindak konten-konten berbau LGBT yang dia nilai harus ditertibkan.
"Ada baiknya (konten) ditertibkan tentunya. Tapi kan itu, harus jelas aturan mainnya, baik dari Kominfo kemudian Kemdikbud, kemudian kementerian lainnya, agar jelas mana yang batasan-batasan yang boleh dimasukkan," ucap Dave.
Masih dalam Survei NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids, terdapat juga riset pada perasaan orangtua mengenai keeratan anak dengan media sosial. Salah satu hasilnya, ada 98 persen orang tua yang lebih khawatir terhadap tontonan negatif yang berdampak terhadap anak-anak mereka.
Apa yang orang tua posting di medsos bisa membuat anak merasa cemburu dan kecewa Foto: Shutterstock
Usman mengatakan selain menindak konten-konten negatif, Kominfo juga memiliki tiga strategi pendekatan. Mulai dari hulu, tengah hingga hilir.
ADVERTISEMENT
"Kita lakukan literasi digital kan dalam literasi, ini kan pencegahan sifatnya di hulu. Kita ini punya tindakan dari hulu sampai hilir. Apa istilahnya itu, upstream, middlesteam, dan downstream. Kita melakukan literasi digital, kita ada 4 materi di situ. Materi pertama digital skill, kedua digital etik, nah di sini gitu loh, jadi pentingnya etika berdigital, dan digital culture, budaya berdigital, ketika berdigital kita harus pikirkan juga budaya apa yang dianut masyarakat kita," kata Usman.
"Terakhir digital safety, ini terkait aturan, ada aturan soal pornografi, UU ITE, UU Perjudian, KUHP dan lain-lain. Lewat literasi digital. Kita juga imbau lah, kepada masyarakat untuk sensitif dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kita. Jadi dengan sensitivitas itu, hal-hal yang kita diskusikan ini tidak terjadi begitu," tutupnya.
ADVERTISEMENT