news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Belajar dari Bung Karno dan Soeharto, Tunda Pemilu Mengandung Bom Waktu

6 Maret 2022 18:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden kedua RI, Soeharto didampingi Wiranto di belakangnya. Foto: Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Presiden kedua RI, Soeharto didampingi Wiranto di belakangnya. Foto: Reuters
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengingatkan dampak dari penundaan Pemilu 2024 yang akhir-akhir ini semakin kencang menjadi diskursus publik.
ADVERTISEMENT
Bivitri menjelaskan, sejarah Indonesia sudah mencatatnya.
“Sejarah di Indonesia juga sudah menunjukkan bahwa penundaan Pemilu itu mengandung bom waktu tentang kekuasaan yang terlalu berlebihan sehingga akhirnya Pemilu tidak pernah dilaksanakan, pemimpinnya jatuh, negaranya kacau,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi daring dapur KedaiKopi, Minggu (6/3)
“Itu perlu dicatat sebagai catatan sejarah jangan sampai terulang lagi,” tambah Bivitri.
Bivitri mengulas sejarah, setelah Pemilu pertama yaitu pada 1955 yang seharusnya ada Pemilu di 1959.
Namun Bung Karno saat itu memutuskan Pemilu diundur dengan berbagai alasan. Mulai dari instabilitas politik, biaya Pemilu dan sebagainya.
Bung Karno lalu membentuk DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) hingga ia lengser yaitu di Tahun 1967.
Presiden ke-1 RI Soekarno. Foto: AFP
Lalu di era kepemimpinan Soeharto, seharusnya juga ada Pemilu pada 1968. Namun baru dilaksanakan Soeharto pada 1971. Kemudian oleh Soeharto Pemilu 1976 juga ditunda menjadi 1977.
ADVERTISEMENT
Menurut Bivitri, yang terjadi sesungguhnya di balik penundaan Pemilu itu adalah rekayasa soal kepesertaan Pemilu.
Bivitri menekankan, mengubah konstitusi memang mudah. Namun ia mengingatkan ada semangat pembatasan kekuasaan dalam konstitusi tersebut.
“Jadi poin saya yang utama adalah mengubah teks kontitusi itu mudah. Tetapi, konstitusi itu bukan sekadar teks dan juga matematika kursi MPR. Tetapi, kita berbicara soal pembatasan kekuasaan. Sekali itu dilanggar, maka akan runtuh bangunan demokrasi kita,” pungkas Bivitri.
Mahasiswa berunjuk rasa terkait reformasi, di Gedung DPR RI pada Tahun 1998. Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah
Hadir juga dalam diskusi tersebut analis Politik Hendri Satrio, Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said dan sebagainya.