Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Belajar dari Kasus PPDS dr Aulia, Semua Harus Lapor Bila Dibully Senior
2 September 2024 16:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Seorang calon dokter spesialis yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro meninggal dunia diduga bunuh diri akibat depresi usai lama alami perundungan dari seniornya.
ADVERTISEMENT
Praktisi Kesehatan Masyarakat, Ngabila Salama sesali hal ini terjadi.
“Sangat tidak dibenarkan dan sangat disesalkan ada praktik seperti itu,” tulisnya saat dihubungi kumparan pada Senin (2/9).
“Karena tidak ada hubungannya dengan akademik dan pendidikan. Perundungan pada pendidikan kesehatan utamanya kedokteran perlu tegas dihapuskan,” sambungnya.
Ia pun meminta bagi calon dokter yang mengalami hal yang sama untuk melaporkan perundungan yang dialami.
“Laporkan ke kanal pengaduan inspektorat jenderal Kemenkes RI atau whistle blowing system di perundungan.kemkes.go.id atau whatsapp 081299799777,” tulisnya.
Menurutnya, terdapat dua alasan yang mendasari praktik perundungan di PPDS; abuse of power dan balas dendam.
“Perundungan terjadi akibat power berlebih dari senior yang besar perannya dalam menentukan nasib pendidikan junior, mayoritas ada unsur balas dendam terhadap perlakukan yang sebelumnya juga dialami,” tulisnya.
ADVERTISEMENT
Ia lanjut menjelaskan bahwa Kemenkes telah membuat aturan yang harus ditaati setiap lembaga pendidikan kedokteran atau kesehatan.
Aturan tersebut adalah instruksi menkes RI tahun 2023 untuk mencegah perundungan pendidikan kesehatan di RS pendidikan. Aturan ini menjamin setidaknya 5 hal:
1. Identitas korban/pelapor dirahasiakan;
2. Jaminan kesehatan fisik;
3. Jaminan kesehatan mental;
4. Jaminan keamanan; dan
5. Jaminan agar tidak lagi terjadi hal serupa di kemudian hari.
Dari hasil investigasi, sang korban, Dokter Aulia kerap dimintai uang Rp 20-40 juta per bulan oleh para seniornya. Lagi-lagi Ngabila sesali hal ini terjadi.
“PPDS yang dipalak hingga 40juta per bulan oleh senior sangat tidak dibenarkan dan sangat disesalkan ada praktik seperti itu. Harus diputus dan tidak ada lagi tindakan serupa di kemudian hari karena tidak ada hubungannya dengan akademik dan pendidikan,” tulis Ngabila.
ADVERTISEMENT
Ngabila pun meminta agar para calon dokter untuk jangan takut melaporkan kasus perundungan sekecil apa pun perbuatannya.
“Jangan pernah takut melaporkan kejadian bullying sekecil apa pun agar segera dihentikan, laporkan ke kanal yang sudah disiapkan Kemenkes RI,” pungkasnya.
Sedihnya, Ngabila mengungkap survei yang membuktikan bahwa peserta PPDS banyak yang ingin bunuh diri akibat perundungan.
“Kemenkes RI tahun 2024 telah membuat survei PPDS yang banyak mengaku ingin bunuh diri, hasil survei ini perlu ditindaklanjuti case by case terutama yang sudah mengisi depresi berat,” tulisnya.
Ia juga berharap, Kemenkes mencarikan solusi untuk para korban.
“Agar segera dicarikan jalan keluar terbaik dengan tetap menjaga privasi dan memastikan 5 jaminan untuk korban bullying yang melapor,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
“Perlu di follow up case by case sampai permasalahan benar tuntas dan tidak terjadi kembali,” tutupnya.
Kasus Perundungan Dokter Aulia
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah melakukan investigasi kasus kematian dokter Aulia Risma Lestari. Aulia merupakan dokter yang sedang mengikuti Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) Prodi Anestesi FK Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Dr Kariadi Semarang.
Aulia diduga bunuh diri karena tak tahan menjadi korban bullying senior PPDS.
Hasil penyelidikan sementara Kemenkes terungkap bahwa almarhumah dokter Aulia kerap dipalak oleh seniornya. Pemalakan ini terjadi sejak semester pertama dari rentang waktu Juli-November 2022.
"Uang ini berkisar antara Rp 20-40 juta per bulan," kata Juru Bicara Kemenkes dr Mohammad Syahril saat dikonfirmasi, Minggu (1/9).
ADVERTISEMENT
Permintaan dana ini, kata Syahril, karena dokter Aulia ditunjuk sebagai bendahara angkatan. Dia bertugas untuk mengumpulkan pungutan dari teman-teman angkatan.
Namun, uang hasil pungutan ini digunakan untuk kebutuhan non-akademik seperti membiayai kebutuhan senior hingga menggaji OB. Hal ini diduga menjadi salah satu pemicu dokter Aulia mengalami tekanan saat menempuh program spesialis di Undip.
Untuk mengungkap kasus ini Kemenkes bekerja sama dengan Kepolisian. Bukti-bukti yang ditemukan Kemenkes, soal pemalakan ini, juga diary hingga rekaman voice note dokter Aulia sudah diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut.
"Bukti dan kesaksian akan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan ini sudah diserahkan ke pihak kepolisian," ucap Syahril.
Aulia merupakan dokter RSUD Kardinah Tegal yang juga mahasiswa PPDS program studi anestesi Universitas Diponegoro. Ia ditemukan meninggal dunia pada Senin (12/8) di kamar kosnya.
ADVERTISEMENT
Kemenkes kemudian menghentikan PPDS program studi anestesi di RSUP Dr. Kariadi Semarang tempat korban menempuh pendidikan spesialis karena ada dugaan perundungan.
Namun, UNDIP sudah membantah soal isu perundungan yang diduga dialami Dokter Aulia.