Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Belajar dari Konstruksi Bangunan Adat yang Lebih Tahan Gempa
12 Oktober 2018 13:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Dari puluhan ribu bangunan yang luluh lantak akibat gempa diikuti tsunami di Palu dan sekitarnya, ada 4 masjid dan 1 gereja yang masih tegak berdiri. Kelima tempat ibadah beda bentuk ini dibangun dengan material berbeda dan usia yang terpaut jauh.
ADVERTISEMENT
Tiga dari lima tempat ibadah tersebut berlokasi di Donggala, yakni masjid Ar-Rahman, masjid Babul Jannah, dan masjid Al-Amin. Sedangkan dua lainnya berlokasi di Palu yakni Gereja International Full Gospel Fellowship (IFGF) dan masjid terapung Arwam Bab Al-Rahman yang menjadi ikon kota Palu. Posisi kelima bangunan itu sama-sama di tepi pantai.
Masjid Al-Amin yang juga merupakan salah satu cagar budaya, dibangun tahun 1906 dan sudah mengalami beberapa kali pemugaran. Namun bangunan utamanya yakni pondasi masjid yang berupa kayu, masih asli. Masjid ini juga sudah 3 kali dihantam tsunami yakni tahun 1927, 1938, dan 2018. Hebatnya, masjid Al-Amin masih berdiri kokoh hingga kini.
Sedangkan masjid Ar-Rahman, Babul Jannah, Arwam Bab Al-Rahman, serta Gereja IFGF belum genap berusia 10 tahun. Kelima tempat ibadah itu kokoh berdiri meski bangunan di sekitarnya luluh lantak. Bahkan Hotel Roa Roa yang posisinya tepat di samping Gereja IFGF, menjadi salah satu bangunan yang paling banyak memakan korban.
Menurut arkeolog sekaligus arsitektur tradisional Iksam Djorimi, ada beberapa hal yang menyebabkan masjid-masjid dan gereja itu kokoh berdiri. Salah satunya adalah sistem konstruksi bangunan.
ADVERTISEMENT
“Saya lihat sistem konstruksinya itu dirancang untuk saling mengikat. Antar tiang rapat, misalnya saya lihat jarak antar tiang ada yang 2 meter. Di beberapa masjid yang roboh jarak antar tiang lebih dari 3 meter,” kata Iksam saat ditemui kumparan di kediamannya, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (9/10) malam.
Saat itu Iksam baru saja berkeliling memeriksa kondisi bangunan-bangunan di Palu dan Donggala usai dihantam tsunami pada Jumat (28/9) petang. Iksam menyebut, selain sistem ikat, pondasi Masjid Al-Amin yang didominasi kayu memang cenderung lebih aman dari gempa ketimbang batako.
“Kita lihat dari sistem konstruksi yang sudah lama ratusan tahun itu sistem pasaknya yang kelihatan memang bisa kita gunakan untuk bangunan masjid-masjid ke depan. Begitu juga pemilihan material, saya melihat masjid yang rusak kebanyakan terbuat dari dinding batako,” urainya.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, Palu dan sekitarnya terletak di atas patahan sesar Palu-Koro yang masih sangat aktif, bahkan diperkirakan pergerakannya mencapai 7 cm per tahun. Sesar ini membentang sejauh 500 km dari Teluk Palu hingga Lembah Koro.
Gempa diikuti tsunami yang terjadi pada Jumat (28/9), sebenarnya sudah diperkirakan oleh Iksam dan teman-temannya, para anggota Tim Ekspedisi Sesar Palu-Koro, yang penelitiannya berakhir pada Agustus lalu. Hanya saja mereka tidak dapat memastikan kapan gempa yang diperkirakan sebagai bagian dari siklus 100 tahunan tersebut akan terulang.
Konstruksi Bangunan Adat Lebih Tahan Gempa
Melihat rawannya Palu dan sekitarnya karena terletak di atas sesar aktif, Iksam mengimbau agar pembangunan di kawasan tersebut lebih memperhatikan aspek keamanan. Dia justru meminta semua pihak belajar dari nenek moyang yang mampu membangun bangunan tahan gempa.
ADVERTISEMENT
“Ya sebenarnya itu teknik pembuatan bangunan di masa lampau karena orang tua kita sudah belajar dari pengalaman bencana alam yang mereka hadapi. Kita yang sekarang membangunnya selalu praktis sehingga melupakan keamanannya,” kata Iksam.Dia memberi saran desain konstruksi bangunan aman dengan memadukan teknik modern dan tradisional. Pembuatan pondasi, tiang, atap, dan dinding dipadukan dengan memanfaatkan teknologi namun juga tidak meninggalkan sistem tradisional tahan gempa.
Tak hanya di Palu, Iksam menyebut sistem tradisional juga cocok diterapkan di daerah lain. Seperti teknik ikat dari Maluku dan sekitarnya, kemudian model Joglo dari Jawa, juga sistem pondasi bata seperti di Bali. Selain itu rumah adat Toraja, Kalimantan, hingga Sumatera, juga bisa diadaptasi sebagai bangunan tahan gempa.
ADVERTISEMENT
Iksam mengingatkan, sesar aktif ini berpotensi menimbulkan efek domino bencana. Sehingga daerah-daerah yang sebelumnya relatif aman, bukan tidak mungkin akan mengalami gempa di kemudian hari. Maka dari itu, sebagai negara yang dilintasi berbagai sesar aktif dan beragam potensi bencana lainnya, masyarakat Indonesia harus lebih aware terhadap kondisi tersebut.
“Dengan pelajaran gempa besar dalam kurun waktu hanya beberapa bulan Lombok dan Sulteng, daerah Indonesia lain harus siap-siap karena kalau kita lihat keseluruhan wilayah Indonesia kan hidup di atas gempa dan gunung api,” tuturnya.
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Yang Kokoh Diterjang Tsunami .