Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Benang Kusut Kemacetan di Sawangan Depok
31 Agustus 2024 19:08 WIB
·
waktu baca 10 menitDiperbarui 31 Oktober 2024 11:29 WIB
Nugroho (30 tahun) sudah menetap di Sawangan , Depok, sejak 2020. Pria asal Magelang, Jawa Tengah, itu memang memutuskan tinggal di Sawangan lantaran tak begitu jauh dengan kantornya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dengan budget sekitar Rp 400 juta, ia akhirnya menemukan sebuah perumahan di sekitar Bedahan, Sawangan, dengan luas rumah sekitar 45 meter persegi dan luas tanah 84 meter persegi.
Kala itu, kata dia, Sawangan menjadi opsi yang paling realistis lantaran ada pembangunan tol Depok-Antasari (Tol Desari). Selain itu, dirinya juga tergiur dengan "angin surga" soal jarak tempuh ke lokasi-lokasi strategis.
Di brosur, misalnya, jarak dari rumahnya ke pintu Tol Desari tertulis cuma 10 menit. Sementara jarak dari rumahnya ke Stasiun Depok Baru tertulis cuma 15 menit.
“Sayangnya, setelah pandemi usai, jalanan di Sawangan itu benar-benar chaos macetnya. Parah. Apalagi saat weekend, khususnya di Sabtu,” kata Nugroho kepada kumparan, Selasa (13/8).
Saat berangkat kerja, misalnya, Nugroho membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari rumahnya ke pintu Tol Desari. Ini tiga kali lipat lebih lama daripada yang dijanjikan orang marketing perumahan tersebut.
“10 menit kalau kosong banget,” katanya.
Mengukur Kemacetan di Sawangan
Sawangan merupakan sebuah kecamatan di Depok yang luasnya 26,19 kilometer persegi. Ada tiga jalan nasional yang membentang di kecamatan tersebut. Yakni, Jalan Sawangan Raya, Jalan Muchtar Raya, dan Jalan Raya Sawangan. Jalan tersebut menghubungkan Sawangan dengan Ciputat/Parung serta akses menuju jalan Margonda.
Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) khusus untuk kumparan, kecepatan rata-rata kendaraan ke arah Depok pada pagi hari mencapai 16,9 km/jam. Bahkan di Jalan Muchtar Raya, kecepatan rata-rata cuma mencapai 7,83 km/jam.
Sementara itu, kendaraan yang melaju ke arah Bogor saat pagi memiliki kecepatan di angka 22,7 km/jam. Namun lagi-lagi, kecepatan terendah ada di jalan Muchtar Raya yaitu di angka 14,36 km/jam.
“Sore hari dia [macetnya] drop. Tapi ada beberapa tempat [macetnya] juga tinggi ya. Tapi ini [datanya] karena spot speed ya, bukan continue kita survei sepanjang hari. Dia [kecepatan] average tapi kecepatan pada saat survei. Jadi paling enggak punya profil macro-lah,” kata Direktur Lalu Lintas BPTJ, Sigit Irfansyah, saat berbincang dengan kumparan di Gedung Karya Kemenhub, Selasa (9/8).
Survei itu menurutnya dilakukan pada Senin (5/8) dengan menggunakan speed gun. Data pagi hari diambil pada pukul 6.30-7.30 WIB, data siang hari diambil pada pukul 11.00-13.00 WIB, dan data sore hari diambil pada pukul 16.30-17.30 WIB.
Menurut analisis Sigit, pagi hari lebih macet lantaran orang-orang berangkat di waktu yang sama. Sementara itu, kata dia, orang-orang akan split ketika sore hari. Ada yang pulang cepat, ada yang pulang malam dan ada pula yang pulang malam sekali.
“Jadi kalau pagi hari berangkat relatif orang yang sama, anak sekolah, orang kerja. Jadi ini fast line-nya luar biasa ini,” ungkapnya.
Berdasarkan data BPTJ yang dipresentasikan Sigit, volume kendaraan rata-rata di Jalan Raya Sawangan pada 2024 mencapai 2.350 satuan mobil penumpang per jam (SMP/Jam). Jumlah ini meningkat 2,65 persen dari data 2023 yang ada di angka 2.288 SMP/Jam.
SMP merupakan satuan yang lazim digunakan untuk mengukur kepadatan lalu lintas. Tiga sepeda motor setara dengan kendaraan ringan atau mobil penumpang. Sayangnya, BPTJ tak memiliki data volume kendaraan di bawah tahun 2023.
Tingginya Migrasi ke Sawangan
Tingginya volume kendaraan yang berujung pada kemacetan tak lepas dari migrasi yang masif di Sawangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah kumparan, laju pertambahan penduduk di Sawangan dalam 10 tahun terakhir ada di angka 36,42 persen. Ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan 10 kecamatan lain yang ada di Depok.
Di beberapa kecamatan, laju pertumbuhan justru ada yang minus. Di Cinere, misalnya, laju pertumbuhan penduduk dalam 10 tahun terakhir justru merosot ke angka -19,17 persen. Adapun faktor yang memengaruhi laju pertumbuhan penduduk adalah kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan migrasi (imigrasi/emigrasi).
Menurut Sigit, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di Sawangan tak lepas dari masifnya perumahan baru yang ditawarkan di daerah tersebut. Harga tanah yang relatif lebih murah pun menjadi pemicu tingginya migrasi ke Sawangan.
"Depok juga harus bisa mengendalikan bangunan-bangunan baru. Yang memang kalau jalannya sudah enggak mampu, dibuka terus ya, repot, tumpah. Mau dialihkan ke mana lagi?" ujar Sigit.
Di atas kertas, kata sigit, pembangunan perumahan baru memerlukan Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin). Persoalannya, kata dia, kadang-kadang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bisa saja keluar tanpa adanya Andalalin.
Padahal, lanjutnya, Andalalin ini salah satunya diperlukan untuk melakukan mitigasi kemacetan. Apalagi jalan Sawangan sudah membeludak akibat tingginya volume kendaraan.
"Kecuali Depok buka pelayanan baru, jalan baru untuk akses ke perumahan itu yang tidak melewati Sawangan, kira-kira seperti itu. Tapi lewat mana pertanyaannya? Makanya kalau enggak bisa lewat mana ya sudah selesai gitu. Depok itu sudah jenuh kalau jalannya cuma Sawangan saja. Sawangannya tanpa bangunan baru sudah macet, dikasih terus, mau diapain sekarang?" ungkapnya.
Sementara itu, Pemerintah Kota Depok menilai pembangunan perumahan di Depok tak terelakkan. Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Depok, Wahid Suryono, menyebut semua kota di Indonesia menghadapi tantangan urban sprawl (perluasan perkotaan).
"Kota itu akhirnya tumbuhnya meluas, itu yang bagi Indonesia, kecepatan penyediaan infrastruktur kita enggak seimbang dengan perkembangan dan perluasan kota," ungkap Wahid saat ditemui di Kantor Wali Kota Depok, Kamis (15/8).
Terlebih, kata dia, Depok sejak zaman Hindia Belanda tidak didesain sebagai kota. Menurutnya, dari segi alam, suhu, hingga lingkungan pun Depok lebih terpengaruh oleh Kabupaten Bogor. Itulah mengapa dulu Hindia Belanda menjadikan Depok sebagai daerah pertanian.
"Nah ketika kemudian Depok menjadi kota, kemudian jadi penyangga Jakarta, di mana kemudian penduduk untuk memperoleh tempat tinggal dan lain-lain itu bergeser ke pinggir karena Jakarta mahal. Ya akhirnya pilihan paling bagus Depok. Jadi pertumbuhan Depok luar biasa untuk residen," ungkap dia.
Menurut Wahid, tingginya migrasi ke Depok juga memberikan dampak positif terhadap APBD Depok. Wahid menyebut, Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Depok terbilang mengesankan.
"Tahun depan PAD kita sudah tembus Rp 2 triliun. Kita memproyeksikan PAD kita sudah hampir 2,3 triliun. Faktor pertama perumahan perannya besar. Karena transaksi jual beli tanah tinggi. Jadi BPHTB perputaran jual beli menyumbang. Kemudian yang kedua PBB kepatuhannya tinggi. Yang ketiga, kita bukan tujuan wisata, tapi masyarakat kita senang jajan. Jadi pajak restoran kita bagus," ujar dia.
Berdasarkan data yang dibagikan Wahid, perumahan di Depok memang paling banyak di Sawangan. Jumlahnya mencapai 152 perumahan per 2023. Meski begitu, Wahid tak merinci sebaran 152 perumahan tersebut.
Melalui teknik scrapping di Google Maps, kumparan kemudian melacak sebaran 152 perumahan tersebut. Lengkap dengan memetakan titik koordinatnya. Hasilnya, rumah-rumah di Sawangan paling banyak berada di Kelurahan Bedahan, Kelurahan Pasir Putih, dan Kelurahan Pengasinan.
Dengan bantuan visualisasi kepler.gl, terlihat bahwa rumah-rumah itu mayoritas berada di selatan Sawangan. Ini sekaligus menjadi jawaban mengapa Jalan Raya Muchtar jadi paling macet. Sebab, jalan tersebut menjadi satu-satunya akses untuk menuju Tol Desari.
Sementara itu, Kepala Bidang Perumahan Disrumkim Kota Depok, Reflianto Solan, menyebut pembangunan residen di Sawangan paling masif karena minat yang besar dari para pengembang.
"Pengembangnya kebetulan maunya di Sawangan. Yang satu, lahannya masih ada, harganya enggak semahal di wilayah timur," ungkap Reflianto.
Reflianto menilai, wilayah Depok Timur seperti Cimanggis hingga Sukmajaya sudah padat penduduk. Selain itu, lahan di sana pun sudah sangat terbatas. Tidak seperti di Sawangan yang lahannya masih sangat luas.
Reflianto lalu mencontohkan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebuah perumahan di Kelurahan Pengasinan, Sawangan, yang harganya di angka Rp 3 juta per meter persegi. Menurutnya, harga di luar perumahan bisa jauh lebih murah di angka Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per meter persegi.
Menurut Reflianto, pengembang pada dasarnya tidak berkewajiban membuat jalan sendiri. Namun, dia memastikan bahwa pengembang di Depok berkewajiban memiliki dokumen Andalalin.
"Tapi dia [Andalalin] kan secara global saja. Mereka [pengembang] kan kalau enggak ada itu, wah ternyata bikin crowded, siapa yang mau beli? Kan mikir juga. Cuma ya pas-pas bangetlah, misalnya, koefisiennya 0,5 dia kok 0,45 kan udah dempet bangetlah. Memang bikin macet juga nanti ke depannya. Tapi kalau masih dalam taraf perhitungan ya bisa," katanya.
Pelebaran Jalan atau Transportasi Umum
Tiga jalan di Sawangan lebarnya tujuh meter. Dengan kondisi kemacetan seperti saat ini, banyak orang yang kemudian bertanya soal agenda pelebaran jalan tersebut. Terlebih, tidak pernah ada pelebaran jalan di Sawangan. Munculnya pintu Tol Desari justru menjadi titik kemacetan baru di Jalan Raya Sawangan.
Terkait wacana tersebut, Sigit menilai pelebaran jalan bukanlah solusi. Apalagi, kata dia, pemerintah pusat tidak bisa mengucurkan dana untuk Sawangan. Sebab, menurutnya ada juga beberapa daerah yang juga infrastrukturnya prioritas.
“Dikasih berapa [meter pelebaran] juga macet. Sama saja. Jadi, yang kita pikir bukan konsep pelebaran jalan yang banyak itu, bukan itu. Kalau konsep lalu lintasnya, bagaimana kita mengontrol demand-nya,” kata dia.
Menurutnya, transportasi umum yang baik justru menjadi kunci untuk mengurai kemacetan di Sawangan. Meski begitu, ia mempersilakan jika Pemkot Depok berinisiatif membangun jalannya sendiri layaknya Pemprov DKI Jakarta yang seluruh jalannya didanai oleh APBD, bukan APBN.
“Artinya kalau ada daerah berkomitmen melebarkan jalan dengan senang hati. Tapi kalau namanya usul, juga boleh. Tapi dikabulkannya kapan ya belum tahu. Itu konsepnya ya,” ungkapnya.
Sementara itu, Pemerintah Kota Depok masih berharap adanya intervensi Pemerintah Pusat terhadap wacana pelebaran jalan di Sawangan. Wahid Suryono menyebut pihaknya siap apabila ada dorongan dari pusat.
“Kalau misalnya nanti [pelebaran] bisa didorong pemerintah pusat dengan skema kolaborasi pemerintah pusat apanya, provinsi apa, kabupaten/kota apa, saya kira itu salah satu solusi,” kata Wahid.
Menurut Wahid, pihaknya tak mungkin mengelola jalan Sawangan sendirian. Terlebih, kata dia, status jalan Sawangan adalah jalan nasional yang dimiliki pemerintah pusat.
Meski begitu, kata dia, Pemkot Depok sudah melakukan intervensi untuk mengurai kemacetan seperti membangun Jembatan Mampang. Menurutnya, itu merupakan inisiatif Pemkot dengan meminta izin ke Kementerian Perumahan Umum (PU) selalu pengelola jalan nasional.
Selain itu, ia juga mencontohkan bagaimana Pemkot Depok berkolaborasi dengan Pemprov Jawa Barat membangun underpass Dewi Sartika untuk mengurai kemacetan.
"Kalau misalnya kita dibebanin [sendiri], ya, berat juga. Karena kan kita urusannya banyak," ungkapnya
"Memang kita berharap [intervensi pusat] sebenarnya. Artinya, memang perlu dukungan dari pemerintah pusat juga. Apalagi ada DKJ (Daerah Khusus Jakarta) di mana ada aglomerasi ya. Saya kira mau enggak mau ya. Karena kan jadi pusat ekonomi Jakarta," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Dedy Herlambang, menilai solusi untuk mengatasi kemacetan di Sawangan adalah adanya transportasi publik yang memadai. Menurutnya, Pemkot Depok perlu berbenah untuk berinvestasi ke angkutan umum.
"Pemerintah Kota Depok itu sepertinya masih kurang semangat untuk shifting ke angkutan umumnya. Ya, jadi hanya senang ngurusin macet tetapi tidak menambah angkutan umumnya," kata Dedy saat dihubungi, Senin (19/8).
Saat ini, angkutan umum yang tersedia di Sawangan adalah angkutan kota (Angkot) 03. Nah, menurut Dedy, Pemkot Depok perlu menghadirkan bus-bus yang dapat mengangkut lebih banyak orang.
Di sisi lain, kata dia, Pemkot Depok perlu mencontoh Pemprov DKI Jakarta yang menjadikan angkot-angkot tersebut sebagai feeder. Oleh sebab itu, perlu ada kajian lagi berupa perubahan rute angkot.
"Makanya harus ada rerouting. Kalau ada bus-bus, angkot-angkot itu sebagai feeder-nya bus-bus tersebut. Angkot-angkot itu mengantar ke halte bus terdekat," kata dia.
"Jadi kalau mau membenahi angkutan umum di Depok harus serius. Jangan setengah hati. [Idealnya] setiap 10 menit atau 20 menit ada bus yang lewat. Memang dananya besar, tapi enggak masalah. Kalau dana besar kan ada benefitnya, jalan di Depok bebas macet," ujar dia.