Benarkah Survei Bisa Dipakai Untuk Giring Opini Publik? ini Kata CSIS

4 Januari 2024 20:00 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Senior Fellow CSIS, Philips J Vermonte, di program Info A1 kumparan. Foto: Melly Meiliani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Senior Fellow CSIS, Philips J Vermonte, di program Info A1 kumparan. Foto: Melly Meiliani/kumparan
ADVERTISEMENT
Senior Fellow CSIS, Philips J Vermonte, buka-bukaan soal biaya survei di Indonesia. Menurut Philips, untuk bisa menggelar satu kali survei nasional dengan metode face to face, dibutuhkan biaya hingga ratusan juga.
ADVERTISEMENT
"Face to face itu menurut saya kebutuhannya itu sekitar Rp 700 juta ya [dengan] 1.000-1.200 responden. Kita ini wilayah kita ini begitu luasnya, itu kalau kita melakukan random yang benar," kata Philips dalam talkshow kumparan, Info A1, yang tayang Rabu (3/1).
Dalam sebuah survei, kata Philips, bisa saja responden yang terpilih berada di wilayah yang jauh dan sulit dijangkau. Sehingga untuk bisa ke sana, surveyor butuh usaha dan dana yang lebih besar.
"[Mayoritas pengeluaran untuk] logistik operasional. Mahal sekali untuk mengirim orang-orang ini, dan juga kita harus men-training si surveyor ini. Kalau survei yang benar ya, surveyor-nya harus di-training," lanjutnya.
Direktur CSIS, Philips J Vermonte, di program Info A1 kumparan. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Philips juga menjelaskan, sebenarnya mungkin saja survei digunakan sebagai alat untuk menggiring opini publik. Namun hal tersebut relatif sulit dilakukan karena masyarakat saat ini sudah terinformasi tentang survei.
ADVERTISEMENT
"Kalau dia digunakan sebagai alat mobilisasi untuk memperkuat sebuah narasi, ini bisa kontraproduktif. Sehingga pada ujungnya, masyarakat merasa, 'Nanti pada akhirnya saya yang menentukan sendiri'. Tapi bahwa dia bisa, secara kajian akademik yang pernah saya baca ya, ada yang bilang iya, ada yang bilang enggak," tutur Philips.
Ia lalu memberikan contoh, pada awal Pilpres 2004 lalu, suara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang baru pertama maju sebagai capres masih sekitar 6%. Namun setelah ada sebuah peristiwa, tiba-tiba saja suara SBY melesat naik hingga akhirnya memenangkan pilpres.
"Itu berarti artinya apa? Bukan surveinya yang mempengaruhi tapi ada event-event di luar survei, kemudian survei menangkap. Atau memang bisa juga," jelasnya.
Direktur CSIS, Philips J Vermonte, di program Info A1 kumparan. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Philips mengakui, hasil dari berbagai lembaga survei bisa jadi berbeda meski temanya serupa. Menurutnya hal itu disebabkan oleh beberapa kemungkinan, salah satunya adalah karena memang responden yang terjaring dalam sampling menunjukkan hasil yang demikian.
ADVERTISEMENT
"Karena kadang-kadang bisa gini juga, walaupun kalau prinsipnya random sampling itu harusnya semua hasilnya relatif sama. Tapi bisa aja kalau dalam masyarakat yang sedang fragmanted, atau yang sedang debate-nya tinggi gitu ya. Bisa aja kemudian yang keambil itu survei itu orang-orang yang punya pandangan yang kurang lebih demikian," ucap Philips.
Sedangkan kemungkinan kedua adalah karena memang ada instruksi yang diberikan kepada para pengumpul data untuk melakukan probing. Misalnya saja, dengan mengulang pertanyaan yang sama hingga responden menjawab, atau malah dengan hanya diam dan membiarkan kolom "tidak tahu/tidak menjawab" terisi.
"Yang ketiga, bisa aja sequence pertanyaan, bisa mempengaruhi juga. Kalau pertanyaannya, misalnya, yang di depan ini misalnya ya, tentang prestasi-prestasi gubernur gitu, lalu ditanya, kalau pilgub hari ini anda pilih siapa?" jelasnya.
ADVERTISEMENT
Hal-hal seperti ini, menurut Philips masih diperbolehkan sebagai bagian dari learning process lembaga survei di Indonesia. Apalagi survei di Indonesia terbilang masih muda dan baru ada pada 2004 lalu, saat pemilu langsung pertama kali digelar di Indonesia.
Tonton video lengkap Philips tentang pentingnya capres-cawapres memahami isu internasional, survei di Indonesia, hingga kekuatan dan kelemahan masing-masing kandidat di Pilpres 2024 versi CSIS di video berikut ini: