Bentrokan Suporter Sepak Bola di Guinea: Stadion Dirusak, 56 Orang Tewas

3 Desember 2024 17:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bentrokan antar suporter selama pertandingan sepak bola di Nzerekore, Guinea. Foto: Media sosial/via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Bentrokan antar suporter selama pertandingan sepak bola di Nzerekore, Guinea. Foto: Media sosial/via REUTERS
ADVERTISEMENT
Sedikitnya 56 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam bentrokan suporter di Stade du 3 Avril, Nzerekore, Guinea selatan, Minggu (1/12).
ADVERTISEMENT
Tragedi ini terjadi saat final turnamen sepak bola yang diselenggarakan untuk menghormati pemimpin junta Guinea, Mamady Doumbouya.
Kericuhan yang berakibat pada hancurnya stadion itu bermula ketika wasit memberikan kartu merah kepada tim tuan rumah Nzerekore pada menit ke-82, yang berujung penalti.
Keputusan itu memicu kemarahan suporter tim tamu Labe, mereka menyerbu lapangan sambil melemparkan batu.
Situasi memburuk usai aparat keamanan menembakkan gas air mata, memicu kepanikan dan desak-desakan di antara ribuan penonton.
“Saya melihat orang-orang jatuh ke tanah, termasuk anak-anak yang terinjak-injak. Itu pemandangan yang mengerikan,” ujar seorang saksi mata, Amara Conde, kepada Reuters.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan penonton berusaha melarikan diri dengan memanjat tembok stadion.
Sementara itu, banyak korban—termasuk anak-anak—dilaporkan meninggal di lokasi sebelum sempat dievakuasi.
ADVERTISEMENT
Tragedi itu menuai kritik keras. Mantan Presiden Guinea, Alpha Conde, menyebut insiden sebagai akibat dari organisasi yang tidak bertanggung jawab, terutama di tengah ketegangan politik yang sedang berlangsung di negara itu.
“Dalam konteks ketika sebuah negara sudah diwarnai ketegangan dan pembatasan, tragedi ini menyoroti bahaya organisasi yang tidak bertanggung jawab,” tulis pernyataan Conde.
Kelompok oposisi Aliansi Nasional untuk Perubahan dan Demokrasi menuding turnamen tersebut sebagai alat politik junta untuk meningkatkan dukungan bagi Doumbouya menjelang pemilu yang belum terlaksana.
Mereka mendesak pemerintah untuk menggelar penyelidikan transparan atas insiden tersebut.
Warga bersorak pada tentara saat mereka merayakan pemberontakan di Conakry, Guinea 5 September 2021. Foto: REUTERS/Souleyman
Namun, sebenarnya insiden ini bukan tragedi stadion pertama di Guinea.
Pada 2009, lebih dari 150 orang tewas dan puluhan wanita diperkosa oleh militer saat aksi protes di sebuah stadion di ibu kota, Conakry.
ADVERTISEMENT
Kala itu, rakyat menentang rencana pemimpin militer Moussa Dadis Camara mencalonkan diri dalam pemilu.
Janji yang Belum Ditepati
Sejak merebut kekuasaan melalui kudeta pada 2021, Doumbouya belum memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan pemilu demokratis. Kelambanan ini memicu kekecewaan publik yang sering kali berujung protes mematikan.
Organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch, menuding junta Doumbouya menggunakan kekerasan untuk membungkam oposisi dan membatasi kebebasan berekspresi.
Mereka mendesak junta segera memulihkan pemerintahan sipil sesuai batas waktu yang dijanjikan, yaitu Desember 2024.
Laporan HRW juga menyebut pasukan keamanan telah menggunakan kekuatan secara sewenang-wenang, termasuk gas air mata dan tembakan, terhadap para pengunjuk rasa.
Belum ada tanggapan langsung dari junta atas tuduhan tersebut.
Konfederasi Sepak Bola Afrika telah bekerja sama dengan badan sepak bola dunia FIFA untuk mengatasi kepadatan penonton yang membahayakan dan masalah keselamatan lainnya di stadion-stadion Afrika.
ADVERTISEMENT