Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
ADVERTISEMENT

Jam kerja Riko (20) setiap Senin sampai Jumat adalah sejak pukul 7 pagi hingga 5 sore. Riko bekerja di Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, sedangkan rumahnya berada di Citayam, Bogor.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari parahnya kemacetan ibu kota, Riko mengendarai sepeda motor sendiri. Ia terbiasa berangkat dari rumah sejak pukul 5 subuh. Adapun alasannya memilih mengendarai sepeda motor adalah agar ia bisa menyalip dan menyelip di antara kendaraan-kendaraan besar di jalanan.
Namun meski sudah mengendarai sepeda motor, Riko tetap saja kerap terjebak macet di jalan. Pada Kamis (6/4), Riko menceritakan pengalamannya terjebak macet ibu kota kepada kumparan (kumparan.com). “Paling parah dua jam setengah, sih,” kata Riko mengenai waktu tempuh antara rumah dan kantornya.

Pengalaman yang lebih parah dirasakan oleh Deanda (22). Ia pernah terlambat tiba di kantor lantaran terjebak macet ibu kota. Saat itu Deanda menaiki mobil pribadi dari rumahnya di kawasan Bekasi Utara menuju kantornya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Deanda yang sudah berangkat dari rumah sejak pukul 5 subuh, baru tiba di kantor pukul 08.30 pagi, telat setengah jam dari jam masuk kantornya, yakni pukul 8 pagi. “Macetnya dari tol Bekasi Barat sampai Kalibata,” ujar Deanda, kepada kumparan, Kamis (6/4).

Deanda sudah terbiasa pulang saat hari telah gelap. Begitu pula Riko. Meski jam pulang kantornya pukul 5 sore, Riko terbiasa baru tiba di rumah pukul 8 malam. Kemacetan di Jakarta membuat lelaki pengendara roda dua maupun perempuan yang menaiki kendaraan roda empat itu kesal.
Riko dan Deanda hanyalah dua dari ribuan atau bahkan jutaan orang yang terjebak dalam rutinitas berangkat gelap pulang gelap. Maksudnya, berangkat dari rumah ke kantor saat hari masih gelap dan tiba di rumah dari kantor saat hari telah gelap pula.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta melansir ada 5 juta orang yang bekerja di provinsi DKI Jakarta pada Februari 2016. Dari jumlah itu, sebanyak 4,5 juta orang (89,83%) bekerja 35 jam atau lebih per minggu. Dan tentu saja, tidak semua dari 4,5 juta orang itu berdomisili di Jakarta. Sebagaimana Riko dan Deanda, sebagian dari 4,5 juta orang itu tinggal di kota-kota luar Jakarta seperti Bogor, Bekasi, Tangerang dan Depok.
Seandainya jalanan tak macet, Riko, Deanda dan banyak orang lainnya bisa memanfaatkan waktu yang terbuang percuma akibat terjebak macet dengan kegiatan-kegiatan yang produktif. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves menuturkan waktu yang terbuang itu bisa digunakan untuk melakukan kegiatan produktif yang bila diakumulasi dalam setahun bisa mendatangkan pendapatan kota hingga 3 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 40 triliun.
ADVERTISEMENT
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) juga pernah menaksir kerugian akibat kemacetan lalu-lintas di DKI Jakarta, yakni mencapai 9 triliun rupiah per tahun. BPTJ menyebut, jika polusi udara dan dampak lingkungan lainnya turut diperhitungkan, kerugian akibat kemacetan lalu-lintas di DKI Jakarta bisa mencapai sekitar 26,5 triliun per tahun.
Kerugian ekonomi itu tidak termasuk dengan kerugian psikologi berupa stres akibat berlama-lama di atas kendaraan. Rodrigo Chaves mengatakan, masyarakat DKI Jakarta umumnya menghabiskan waktu minimal 3,5 jam per hari dalam kemacetan.
Dengan nada menyindir, sastrawan Seno Gumira Ajidarma pernah menulis, “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
ADVERTISEMENT
Terlepas Anda setuju atau tidak dengan kalimat utuh Seno di atas, ungkapan khusus terkait kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan nyatanya memang mengerikan.
