Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Menaiki kapal feri dari Batam, Citra Korina bersama suami bergegas menuju Johor Bahru, Malaysia , pada Minggu (26/1) pagi. Bukan untuk berlibur di momen long weekend Imlek 2025, tujuan Citra dan suami justru ke rumah sakit. Ia hendak melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau medical check-up (MCU) secara menyeluruh (full body) untuk pertama kalinya.
Rencana Citra melakukan MCU sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Apalagi ia bekerja sebagai Recruitment Consultant di Batam yang biasa menangani pre-MCU bagi calon karyawan. Citra pun makin menyadari pentingnya cek kesehatan.
Citra memilih MCU di Malaysia selain karena harganya lebih murah sekitar 20% dibanding dengan harga MCU full body di Batam, pengalaman dari rekan-rekannya selama berobat ke Malaysia membuatnya makin yakin. Apalagi jarak Batam ke Johor Bahru tak begitu jauh.
“Jadi aku mikir, ya sudah dengar [testimoni baik] dari orang-orang sekitar, aku cek [kesehatan] saja ke Johor Bahru,” cerita Citra kepada kumparan, Sabtu (1/2).
Kisah Citra yang memilih berobat ke negeri orang dibanding di negeri sendiri merupakan cerita yang jamak terjadi beberapa tahun terakhir. Data pemerintah pada 2023 mencatat sebanyak 2 juta WNI berobat ke luar negeri.
Dari 2 juta WNI itu, sebanyak 1 juta di antaranya memilih Malaysia sebagai tujuan berobat dan sekitar 750 ribu WNI ke Singapura. Sisanya tersebar ke Jepang, Amerika Serikat (AS), hingga Jerman.
Para WNI yang berobat ke luar negeri mayoritas atau 60% dari Jakarta, 15% dari Surabaya, lalu sisanya dari Medan, Batam dan kota-kota lain. Fakta ironi ini membuat Indonesia kehilangan devisa sekitar Rp 170 triliun per tahun.
Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, fakta ini cukup mengejutkan karena dahulu banyak orang dari negeri jiran yang ke Indonesia untuk belajar menjadi dokter.
“Tapi kenyataannya 1 juta orang Indonesia pergi ke Malaysia dan mereka bilang di sana lebih bagus, tapi kita [tetap] bilang kita lebih bagus,” kata Budi Gunadi.
Menkes yang berlatar belakang bankir itu meminta para pemangku kesehatan di Indonesia tak tutup mata dengan data itu. Sebab kenyataannya kini kualitas pelayanan kesehatan di luar negeri, khususnya Malaysia, sedang banyak dilirik.
"Dokter-dokter kita [Indonesia] yang lebih bagus pasti ada. Tapi try to listen, coba tanya ke masyarakat kenapa mereka ke sana (luar negeri)?. Kalau mereka bilang di sana lebih bagus, lebih cepat sembuh, obatnya gak mahal, jangan feel offended, feel defensive, denial, 'gak, kita lebih bagus'. That can't improve our quality," kata Budi.
Kepercayaan diri Malaysia terhadap industri kesehatannya sempat ditampilkan melalui poster persuasif pada Oktober 2024. Poster berlatar warna putih itu terpasang di pagar Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta Selatan, yang hanya berjarak 650 meter dari kantor Kementerian Kesehatan.
“Mau Berobat? Ke Malaysia aja! Lebih Dekat, Lebih Terjangkau," tulis poster tersebut secara lugas.
Mengapa Berobat ke Negeri Jiran Jadi Idaman?
Pelayanan kesehatan di negeri sendiri yang tak sesuai harapan membuat warga Indonesia berbondong-bondong berobat ke negeri jiran. Pengalaman Citra menunjukkan bahwa biaya menjadi salah satu faktornya.
Citra yang melakukan MCU lengkap meliputi elektrokardiogram (EKG), darah, rontgen dada, telinga, mata hingga pernapasan, hanya perlu membayar Rp 2,7 juta per orang. Hasil MCU pun keluar sehari setelahnya dan dilanjutkan dengan konsultasi dokter. Sedangkan dari hasil surveinya ke beberapa RS di Batam, MCU lengkap di sana dikenakan biaya Rp 3,5 juta.
Faktor biaya murah itu juga terekam dalam Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada 2023 terhadap WNI yang berobat ke luar negeri. Data SKI menunjukkan 1 dari 1.000 rumah tangga di Indonesia pernah berobat ke luar negeri. Malaysia menjadi negara tujuan yang paling banyak didatangi, diikuti Singapura, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Korea Selatan.
Alasan para WNI berduyun-duyun berobat ke luar negeri karena fasilitas yang lebih lengkap; layanan yang diberikan sesuai harapan serta cepat, akurat dan tepat; biayanya yang murah; hingga petugas yang komunikatif.
Data SKI juga memotret bahwa MCU adalah pelayanan kesehatan yang paling banyak diminati WNI di luar negeri. Selain itu, tujuan WNI berobat ke luar negeri untuk pengobatan kanker; bedah atau operasi; kesehatan ibu anak hingga kesehatan reproduksi.
Murahnya biaya pelayanan kesehatan di Malaysia itu juga dikonfirmasi Malaysia Healthcare Tourism Council (MHTC). MHTC merupakan lembaga resmi di bawah Kementerian Kesehatan Malaysia yang berfungsi memfasilitasi dan mempromosikan pariwisata berbasis kesehatan di sana.
MHTC membandingkan biaya berobat di negaranya dengan sejumlah negara di Asia seperti Singapura, Thailand, dan Korea Selatan. Hasilnya biaya berobat di Malaysia lebih rendah 60%-80% dibanding tiga negara itu.
Director Marketing MHTC, Farah Delah Suhaimi, mengatakan salah satu yang membuat biaya berobat di Malaysia lebih terjangkau karena ada regulasi yang telah ditetapkan pemerintah Malaysia. Regulasi ini memberikan rentang biaya minimal dan maksimal.
“Jadi pasien yang berobat ke sini [Malaysia] mereka sudah tahu perkiraan biaya yang akan dikeluarkan. Selain itu biaya tidak mungkin bengkak, karena pemerintah sudah mengatur mengenai harga berobat,” kata Farah kepada kumparan di Penang, Malaysia, Oktober 2023 lalu. Penang merupakan salah satu negara bagian di Malaysia yang menjadi tujuan berobat para WNI.
Alasan para WNI menjadikan Malaysia sebagai tujuan berobat favorit juga termuat dalam jurnal berjudul ‘Mengapa Warga Indonesia Berobat di Malaysia’ (2021) yang ditulis Nurul Komari dari Universitas Tanjungpura. Dalam penelitiannya, Nurul mengambil sampel 100 orang di Kalimantan Barat yang pernah berobat ke Kuching, Malaysia.
Hasilnya, pertimbangan para WNI berobat ke Malaysia antara lain karena biaya yang relatif murah; fasilitas kesehatan yang lengkap; diagnosa penyakit yang transparan, lebih jelas dan akurat; serta keyakinan terhadap kemampuan dokter dalam menyembuhkan penyakit.
Mengenai faktor biaya murah, Nurul mencantumkan salah satu kasus yang dialami seorang ibu yang tinggal di Pontianak. Ibu tersebut telah mengeluarkan Rp 9 juta untuk penyembuhan katarak, di luar obat, di salah satu RS di Pontianak. Sedangkan ketika dibawa ke Kuching, ia hanya perlu membayar Rp 1,5 juta termasuk obat.
Jurnal lain yang mengulas mengapa warga Indonesia ingin berobat ke Malaysia ditulis oleh Michael Laksmono Kwary dari Universitas Kristen Petra Surabaya. Jurnal berjudul ‘Pengaruh Faktor Motivasi dan Reputasi Rumah Sakit Terhadap Behavioral Intention Kunjungan Medis ke Malaysia’ (2019) itu berisi data kuesioner 96 warga Surabaya yang berminat berobat ke Malaysia.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor biaya yang hemat dan banyaknya informasi mengenai pengobatan di Malaysia berpengaruh terhadap minat para responden untuk berobat ke sana.
Menurut 77% responden, keberadaan jasa tour & travel memudahkan mereka mendapat informasi pengobatan di Malaysia. Sehingga mereka memilih memakai jasa tour and travel jika ingin berobat ke sana. Adapun tujuan mayoritas mereka adalah Penang (63%).
Banyaknya minat WNI berobat ke luar negeri memang memunculkan jasa agen yang menawarkan kemudahan. Citra pun menggunakan jasa agen saaat MCU di Johor. Dia tak perlu lagi repot-repot mendaftarkan jadwal MCU karena sudah diurus agen. Citra hanya perlu mengisi form konfirmasi.
“Gak ada ambil nomor antri. Bener-bener secepat itu. Dan smooth itu sih prosesnya,” ucap Citra.
Elyse, salah satu agen, mengaku sudah banyak membantu WNI untuk berobat ke Malaysia dan Singapura. Rata-rata setiap bulannya Elyse membantu menghubungkan sekitar 20 calon pasien WNI dengan pihak RS di Malaysia.
“Paling banyak keluhannya penyakit jantung,” ucapnya.
Mayoritas calon pasien mengetahui jasanya melalui media sosial. Mereka rata-rata berasal dari Sumatera, Sulawesi, hingga Kalimantan. Menurut Elyse, biaya transportasi para klien dari daerah asal memang lebih murah ke Malaysia dan Singapura, ketimbang ke Jakarta.
Menurut dia, banyaknya WNI yang tertarik berobat keluar negeri bukan karena tidak percaya dokter di Indonesia. Elyse menyebut, selain faktor transportasi, biaya pengobatan yang tinggi dan rumitnya birokrasi BPJS Kesehatan membuat mereka lebih memilih berobat ke Malaysia jika punya uang berlebih.
“Misalkan untuk operasi di Malaysia, kebanyakan setelah operasi kalau memang nggak perlu beli obat ya nggak usah beli, nggak ada kewajiban [beli obat]. Kalau di sini [Indonesia] harus beli obat ini itu, harus kontrol. Di sana [Malaysia] kontrol kalau memang ada keluhan,” ucapnya.
Di samping itu, kata Elyse, paket biaya pengobatan yang ditawarkan RS-RS di Malaysia begitu transparan tanpa biaya tambahan. Bahkan dalam paket pengobatannya, sejumlah RS memberikan fasilitas yang memikat hati warga Indonesia seperti antar jemput gratis dari dan ke bandara, penerjemah, hingga penginapan gratis bagi keluarga pasien.
“Yang membedakan antara [pengobatan] di Indonesia sama Malaysia untuk pembiayaan itu mereka [RS Malaysia] clear di awal. Misal Rp 7 juta di awal untuk operasi ini, ya sudah bayarnya Rp 7 juta, nggak akan ada tambahan lagi. Kalau di Indonesia Rp 7 juta nanti belum obatnya, belum [jasa] dokternya,” kata Elyse.
Obat Bikin Harga Pengobatan di Malaysia Murah?
Murahnya biaya pengobatan di Malaysia disinyalir salah satunya karena harga obat. Menkes Budi Gunadi menyebut harga obat di Indonesia lebih mahal 1,5-5 kali lipat dibanding Malaysia. Obat-obat yang dimaksud adalah obat generik branded dan obat inovatif/paten.
“Pajak bukan isu utama dari tingginya harga obat, tapi biaya marketing dan distribusi yang mahal. Untuk mengatasinya, pemerintah akan membuat sistem yang lebih baik guna mengatasi persoalan ini,” ucap Budi Gunadi.
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengamini kondisi tersebut. Menurut IAI, obat-obat yang lebih mahal di Indonesia mayoritas buatan perusahaan multinasional (asing), baik obat generik bermerek maupun obat inovatif yang masih memiliki paten.
Namun bukan berarti harga seluruh obat di Indonesia mahal. Sebab obat generik buatan perusahaan Indonesia, baik bermerek maupun tanpa merek, lebih murah dibanding obat bikinan perusahaan multinasional. Apalagi obat generik yang sudah masuk daftar obat bagi pasien BPJS Kesehatan. Pangsa pasar obat generik buatan perusahaan Indonesia di dalam negeri mencapai 90%.
“Jadi kalau dikatakan [obat di Indonesia] mahal betul, tapi khusus untuk obat-obat tadi [paten dan generik produksi perusahaan multinasional]. Tapi sisanya 90% sebetulnya kita sudah murah karena produknya generik, yang bikin industri obat dalam negeri,” ujar anggota Dewan Pakar IAI, Pre Agusta Siswantoro, pada kumparan, Jumat (31/1).
Ketum IAI, Noffendri Roestam, menilai anggapan harga obat di Indonesia lebih mahal dari Malaysia tidaklah adil. Sebab obat yang mahal hanya dari dua kategori tersebut: generik bermerek dan obat inovatif buatan perusahaan multinasional.
Apalagi mereka yang berobat ke Malaysia merupakan orang berpunya, yang jumlahnya kecil jika dibandingkan pasien BPJS Kesehatan. Ia menilai para WNI yang berobat ke Malaysia lebih mempertimbangkan faktor layanan dan kepastian biaya yang tak bisa didapat di Indonesia.
“Di Malaysia berobat sudah dijadikan paket wisata. Sampai di Malaysia dijemput-antar, disediakan penginapan, dll. Jadi itu yang bikin orang Indonesia betah. Nah sewaktu balik ke Indonesia, dia hanya beli obatnya saja, kaget kok harga di Indonesia lebih mahal,” ucap Noffendri.
Sehingga menurut Noffendri, masyarakat yang merasa harga obat buatan perusahaan multinasional mahal, bisa membeli obat generik buatan perusahaan Indonesia. Ia menjamin kualitasnya sama karena telah diuji BPOM dan melewati uji bioekivalensi.
Medical Tourism Perlu Digenjot
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi, menilai berhasilnya Malaysia mengembangkan wisata medis karena ada badan khusus pemerintah yang menanganinya yakni Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC). Sehingga ketika pasien luar negeri tiba di Malaysia, mereka langsung dijemput dari bandara sebagai bagian dari fasilitas MHTC. Malaysia juga sering mengundang pekerja medis dari negara lain untuk melakukan studi banding.
“Itu adalah satu upaya marketing yang mereka lakukan untuk menarik pasien-pasien Indonesia ke Malaysia, sambil juga jual medical tourism-nya. Itu yang mereka jual,” kata Adib.
Adib menuturkan, marketing medical tourism juga sudah diterapkan di banyak negara ASEAN seperti Thailand. Menurutnya, konsep medical tourism perlu ditingkatkan di Indonesia. Sehingga bisa berdampak terhadap keterjangkauan biaya pelayanan hingga obat.
Sejauh ini pemerintah menargetkan Bali menjadi destinasi utama wisata kesehatan kelas dunia di Indonesia. Demi mencapai target itu, dibangunlah Bali International Hospital (BIH) di bawah naungan PT Pertamina Bina Medika IHC. Rumah sakit yang berada di kawasan Sanur ini ditargetkan beroperasi pada pertengahan tahun 2025.