Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
ADVERTISEMENT
Kamu pengguna setia kereta commuter line? Atau mungkin pernah sesekali menumpang moda transportasi favorit warga sekitar Jabodetabek ini?
ADVERTISEMENT
Pemandangan orang-orang saling beradu langkah menuju kereta, sesekali ada yang terjatuh, ada yang terpeleset bahkan tertatih karena mengejar waktu untuk masuk ke kereta mungkin sudah menjadi hal biasa.
Kondisi ini yang setiap hari terjadi di stasiun-stasiun Jabodetabek yang dilintasi kereta rel listrik Commuter Line, setidaknya di lintasan Jakarta-Bogor yang biasa saya tumpangi. Terlebih di stasiun Bogor dan Jakarta Kota yang merupakan stasiun besar.
Antrean menumpuk setiap pagi, khususnya hari-hari kerja, dari mereka yang berbusana rapi, beberapa lengkap dengan jas, sebagian lainnya berbatik cantik, sampai yang berpakaian kasual. Semuanya sekejap beringas begitu kereta tiba.
Mereka berubah dan menjelma sosok yang “mengerikan”. Siap bertempur demi mendapat satu tempat di gerbong kereta. Tak peduli apapun rintangannya, aku harus “menang”.
ADVERTISEMENT
Kira-kira begitulah gambarannya.
Selanjutnya, usai mereka memasuki arena perang. Tubuh-tubuh bagai berganti jadi mesin panser. Siap untuk sikut, dorong, semua demi berebut masuk. Siapa cepat, dia dapat. Sementara mereka yang telah lebih dulu berada dalam kereta harus siap bertahan. Terdorong, terimpit. Tulang beradu tulang.
Perang memperebutkan tempat duduk di dalam kereta pun tak serta merta usai begitu saja.Perjalanan melewati stasiun-stasiun lain pun butuh perjuangan keras.
Setiap kereta berhenti di satu stasiun, penumpang dan calon penumpang sama-sama mendorong.
Mereka yang hendak turun dari kereta, mendorong orang di depannya ke arah luar. Mereka yang akan naik, mendorong orang di pintu kereta –yang hendak turun– kembali ke dalam gerbong.
Gambaran yang cocok untuk sebuah peperangan, bukan?
ADVERTISEMENT
Aksi saling dorong itu barangkali tak terlalu bahaya jika jarak peron dengan pintu kereta tak jauh. Namun di beberapa stasiun, celah terlalu jauh, bahkan tinggi peron tak sejajar dengan lantai kereta.
Oke, mari sama-sama kita bayangkan, bagaimana bila ada orang malang terdorong lalu jatuh terperosok ke dalam celah itu sementara kereta bergerak maju?
Anjuran yang terpampang jelas di samping pintu kereta dan imbauan yang kerap kali dilontarkan oleh masinis atau mesin otomatis lewat pengeras suara di dalam kereta. Seolah hanya menjadi pajangan dan ritual wajib jika menumpang KRL.
Jika dirasa belum cukup dengan semua kekacuan itu, coba kita perhatikan kembali bagaimana para penumpang KRL menyikapi anjuran soal kursi prioritas. Kursi yang diperuntukan untuk orang-orang yang memang butuh untuk duduk, seperti orang lanjut usia (lansia), ibu hamil, penyadang disabilitas dan ibu yang membawa anak kecil.
ADVERTISEMENT
Kursi itu tak ubahnya seperti kursi yang diperuntukan untuk penumpang pada umunya, sehingga tak jarang didapati orang-orang yang bukan prioritas justru menempati kursi itu dengan “nyaman”.
Suka tidak suka, wajar tidak wajar semua itu memang terjadi di setiap perjalanan KRL di jam sibuk atau peak hour.
Waktu yang mengejar seolah berlomba dengan toleransi dan keselamatan.
Mari, jadi penumpang yang bijak dan bertanggung jawab.
Reporter: Aditia Rizki Nugraha