Berkemah di Masjid Habiburrahman, Ibadah Menjemput Keutamaan Malam Seribu Bulan

27 Maret 2025 19:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana itikaf di Habiburrahman Bandung. Ratusan tenda jamaah terlihat di area masjid. Foto: Robby Bouceu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana itikaf di Habiburrahman Bandung. Ratusan tenda jamaah terlihat di area masjid. Foto: Robby Bouceu/kumparan
ADVERTISEMENT
Air wudu belum kering betul di wajah Sintawaty. Wanita dengan satu cucu itu melangkah setengah tergesa menuju tenda yang ia pesan bersama keluarganya di pelataran Masjid Habiburrahman, Bandung.
ADVERTISEMENT
Sembari menenteng kantong mukena, wanita usia 55 itu melewati celah jalan di antara tenda-tenda aneka warna dan ukuran.
Seperti sekitar 2000-an orang lainnya, niat Sintawaty dan keluarga berkemah di Habiburrahman tak lain untuk beritikaf—menghabiskan 10 malam terakhir Ramadan dengan ibadah, disertai harap memperoleh lailatul qadar yang keutamaannya lebih unggul ketimbang beribadah seribu bulan.
Iktikaf di Habiburrahman sendiri diisi dengan menggelar qiyamullail atau salat malam. Jemaah yang berkemah dibangunkan menjelang pukul satu dini hari untuk melakukan salat malam yang berlangsung hingga jelang waktu subuh.
Salat dilaksanakan dengan salam per 2 rakaat. Ada jeda yang diberikan untuk istirahat sebelum takbiratul ihram berikutnya dimulai.
Di sela waktu istirahat itulah, kumparan berkesempatan berbincang dengan Sintawaty. Rupanya, dia telah beriktikaf rutin di Masjid Habiburrahman dalam kurun 8 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Dia bilang, alasannya karena di masjid ini amalan iktikaf bisa dilakukan bersama-sama keluarga.
“Sebelum nyaman di sini, kami pernah iktikaf di beberapa masjid. Namun, kan ada yang terpisah. Buat laki-laki dan perempuan, sehingga sulit ya untuk kita keluarga berkumpul,” demikian ungkapnya.
“Kalau di sini, kita ada ruang, buat misal sekadar istirahat sebentar, lalu nanti dibangunkan lagi. Mulai setengah satu malam qiyamulllail, lalu setengah empat subuh salat witir. Alhamdulillah istikamah. Ini tahun ke 8,” kata dia.
Suasana itikaf di Habiburrahman Bandung. Ratusan tenda jamaah terlihat di area masjid. Foto: Robby Bouceu/kumparan
Meski begitu, ibadah yang kini bisa dilakoni Sintawaty dan keluarga sebagai amalan tahunan di Habiburrahman, diakuinya butuh perjuangan.
Pada malam 21 Ramadan 1438 hijriah, atau kali pertama keluarga Sintawaty iktikaf di sana, mereka sempat memutuskan pulang ke kediamannya di Soreang, Kabupaten Bandung. Tidak full bermalam di masjid. Padahal sudah memesan tenda.
ADVERTISEMENT
Alasannya, amalan utama yang digelar pihak masjid, yakni menyelesaikan 3 juz dalam sehari agar khatam di akhir Ramadan, itu terasa berat.
“Nah pas awal kami mengikuti di sini, terasanya lama banget ya. Karena kan amalan utama iktikaf di sini dalam 10 malam terakhir Ramadan itu mengkhatamkan Alquran. Jadi seharinya 3 juz, dibagi-bagi, termasuk dalam salat. Bacaannya pas salat itu jadi panjang-panjang. Ya, terasa pegal dan lain sebagainya,” ungkap dia.
“Lalu, suami saya coba evaluasi. Jadi tetangga (tenda) kita itu tidak hanya dari orang Bandung. Mereka sampai harus cuti dulu, perjuangannya luar biasa, belum lagi ada yang lansia. Nah kenapa kita masih muda, kemudian masih dekat dengan Bandung, kok enggak bisa? Berarti apa nih yang salah,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
“Kita sadar itu. Kita sempat pulang dulu, enggak bisa menginap. Tapi malam keduanya udah coba lanjut, alhamdulillah sampai bertahun-tahun, sampai saya sekarang punya cucu,” kata dia.
Suasana itikaf di Habiburrahman Bandung. Ratusan tenda jamaah terlihat di area masjid. Foto: Robby Bouceu/kumparan
Saban tahun, Sintawaty mengaku memesan 8 lapak untuk tempat tenda keluarganya di Masjid Habiburrahman. Lantaran kini telah memiliki cucu, salah satu lapak itu pun diperuntukkan buat menggelar Baby Playpen buat cucunya.
Adapun soal urusan memesan lapak, kata dia itu juga tidak mudah. Karena banyak orang yang berminat beriktikaf di sana. Sintawaty mengaku memesan lapak tersebut sekitar 2 bulan sebelum musim iktikaf.
“2 bulan sebelum. Pokoknya pas ada dibuka, langsung pesan,” ujar dia.
Selama 10 hari terakhir Ramadan, Sintawaty mulai berkumpul di Habiburrahman dengan keluarga menjelang waktu berbuka. Adapun pada jam-jam sebelumnya, mereka isi dengan aktivitas masing-masing.
ADVERTISEMENT
Momen beritikaf memburu fadilah lailatul qadar juga tak dilewatkan oleh warga sekitar Masjid Habiburrahman. Seperti Iwan (47) misalnya. Dia juga mengajak istri dan ketiga anaknya.
Meski tak berkemah seperti jemaah-jemaah yang berasal dari jauh, dia mengaku nyaman dengan pelaksanaan ibadah di sana.
“Iya setiap hari saya ke sini dengan istri, anak-anak ikut juga. Alasannya ya karena di sini (iktikafnya) nyaman. Lalu dekat juga. Kalau mau makan atau butuh apa tinggal pulang dulu ke rumah,” ucap dia.
Bagi yang tidak membawa bekal makanan, di masjid ini juga tersedia lapak pedagang yang menjual aneka santapan. Mulai makanan berat seperti nasi dengan lauk ikan atau ayam dan sayur, hingga beragam jajanan umpama seblak, sosis, mie instan, gorengan, lumpia basah, dan aneka minuman di antaranya es teh.
Suasana itikaf di Habiburrahman Bandung. Ratusan tenda jamaah terlihat di area masjid. Foto: Robby Bouceu/kumparan

Jadi Tradisi

Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Habiburrahman, Ibnu Bintarto mengatakan, konsep beriktikaf bersama keluarga ini dibuat agar ibadah bisa melibatkan semua anggota keluarga. Dia mengungkapkan konsep ini telah berlangsung sekitar 27 tahun, dan seiring waktu menjadi tradisi di Masjid Habiburrahman.
ADVERTISEMENT
“Jadi kegiatan ini berlangsung kurang lebih sejak tahun 1998. Penggagasnya Ustadz Abdul Aziz, beliau salah satu pencetak para penghafal Qur'an di Bandung,” ucap dia saat berbincang dengan kumparan.
Soal jumlah tenda buat jemaah tahun ini, dia bilang pihak masjid menyediakan 500 lapak. Dari 6.000 meter persegi luas total bangunan masjid, sekitar 4.000 dialokasikan buat area tenda. Adapun sisanya, ialah bagian utama masjid, yang diperuntukkan buat pelaksanaan ibadah.
“Tahun ini kebanyakan dari Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Cimahi, Sumedang, Tasik, cukup banyak juga dari Jakarta, Bogor, Tangerang. Tahun-tahun sebelumnya dari Jogja, Kalimantan, bahkan orang dari Malaysia malahan ada,” katanya terkait asal jemaah yang beriktikaf di Habiburrahman.
Suasana itikaf di Habiburrahman Bandung. Ratusan tenda jamaah terlihat di area masjid. Foto: Robby Bouceu/kumparan
Dia bercerita bahwa dulu fasilitas yang tersedia buat jemaah iktikaf belum selengkap sekarang. Malahan, perkara krusial seperti ketersediaan air sempat terkendala.
ADVERTISEMENT
Seiring perjalanannya, bertahap, pihak masjid dapat mengakomodir urusan itu. Dia mengatakan sekarang, di Habiburrahman tersedia juga pos medis buat jemaah mengecek kondisi kesehatannya, juga ada laundry.
“Kalau zaman dulu itu, banyak sekali yang cuci pakaian di toilet area wudu, lalu menjemur juga di area sini. Tapi sekarang ada laundry, ada pos kesehatan juga,” tuturnya.
Adapun saat disinggung tentang kapan lailatul qadar sendiri terjadi, Ibnu bilang tak ada yang mengetahui persisnya kecuali Allah Taala. Namun, kata dia, Nabi Muhammad SAW telah mengisyaratkan dalam hadisnya lailatul qadar jatuh di antara malam-malam ganjil pada akhir Ramadan.
"Kapan lailatul qadar itu rahasia Allah. Tapi Rasulullah itu mengindikasikan bahwa lailatul qadar jatuh pada malam-malam ganjil di akhir Ramadan," tuturnya.
ADVERTISEMENT