Lipsus Lebaran yang Tak Biasa-Panti Sosial Tresna Werdha

Berkunjung ke Dua Panti Beda Generasi (3)

9 Mei 2022 11:46 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua Lebaran ditahan pandemi membuat semarak hari raya Idul Fitri terdengar nyaring di tahun ini. Mereka yang sudah tak sabar ketemu keluarga dan sanak-saudara di kampung sudah sibuk menggaungkan rencana mudik jauh-jauh hari.
Terkecuali mungkin para wartawan yang masih kebagian piket untuk memproduksi berita di hari-hari besar ini. Mereka tak ikut semarak-semarak macam itu karena ada atau tidak hari raya, tetap saja sebagian di antaranya mesti tenggelam dalam hiruk pikuk mewarta.
Termasuk saya, wartawan liputan khusus kumparanplus yang memproduksi pewartaan khas sepekan sekali. Libur dan cuti Lebaran pada 29 April hingga 8 Mei 2022 tak terlalu berpengaruh pada jadwal publikasi. Meski libur, liputan khusus tetap tayang demi pembaca tercinta.
Sebagai wartawan—dan juga manusia—kami tentu ingin liputan tetap disuguhkan ke pembaca sekaligus merasakan semarak Lebaran. Cara yang acap dilakukan wartawan untuk situasi macam ini ialah 'menyetok' konten.
Ilustrasi wartawan menulis berita. Foto: Shutterstock
Liputan dilaksanakan jauh-jauh hari, sebelum nantinya ditulis dan dipublikasikan di kemudian hari. Namun, tantangan liputan macam ini adalah soal relevansi. Bisa jadi berita yang diliput jauh-jauh hari itu sudah basi alias tak layak tayang jika tak disuguhkan saat itu juga.
Majalah pekanan atau bulanan biasa menggunakan strategi penulisan feature atau karangan khas untuk tetap menjaga relevansi pewartaan. Tema liputan yang dipilih juga sebisa mungkin tak terkait waktu atau timeless.
Setelah brainstorming dan diskusi dengan tim, pilihan tema jatuh kepada Lebaran di panti asuhan dan panti werdha (lansia). Ide utamanya: nyaring mudik hanya terdengar dari mereka yang punya kampung halaman dan keluarga, lantas bagaimana dengan yang tak punya keduanya?
Suasana Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Panti asuhan dan panti werdha adalah jawaban pertanyaan tersebut. Kami juga ingin mendengar bagaimana suara semarak Lebaran di tempat yang hening dari wacana mudik itu.
Saya antusias dengan liputan ini. Alasannya, selain karena jarang ke panti, agaknya saya bisa refleksi dengan keadaan para penghuninya yang kurang beruntung tak bisa mudik seperti saya.
‘Menghadapi’ Anak-anak di Panti Asuhan
Saat mendatangi Panti Sosial Asuhan Anak dan Balita Tunas Bangsa di Ciracas, Jakarta Timur, pertama kali pada Jumat (22/4) untuk izin liputan, saya sudah diwanti-wanti bahwa penghuni di sana masih anak-anak. Satpel Pembinaan Panti Tunas Bangsa Dainel Rusdi menjelaskan bahwa anak-anak di sana masih berusia 0-7 tahun.
"Mas mau liputannya arahnya ke anak-anak yang seperti apa? Soalnya anak-anak di sini masih kecil-kecil," kata Dainel. Ia agak sanksi anak-anak itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan yang spesifik.
Karena waktu sudah sore, hujan pula, dan memang panti itu yang direkomendasikan oleh editor kami, akhirnya saya dengan percaya diri menjawab, "Yang kecil-kecil umur segitu juga tidak masalah, Pak."
Sejumlah anak swafoto di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Setelah mengurus surat izin, saya datang lagi ke sana pada Selasa (26/4). Kali ini—atas nama konvergensi media—lengkap dengan alat-alat lighting, kamera video, beserta tim yang membidanginya.
Pekerja sosial di sana, Mas Angger, begitu saya memanggilnya, mengarahkan kami ke ruangan anak-anak seusia TK besar antara 6-7 tahun. Di sana ada sekitar 10 anak yang sudah dikondisikan duduk sebagai latar wawancara. Dipilihkanlah saya 2-3 anak paling pintar dan agaknya cukup kesadaran bicara dengan orang dewasa untuk diwawancara.
Namun yang saya lupa, ini adalah pengalaman pertama saya mewawancarai anak kecil yang hampir berusia balita. Menteri, pejabat pemerintahan atau parlemen, akademisi, hingga sekjen ormas sudah pernah saya wawancarai. Akan tetapi kali ini, narasumber saya adalah anak berusia 7 tahun bernama Samudra dan Hanif.
Sejumlah anak saat bermain musik di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sedari perkenalan saja, pembicaraan saya dengan Samudra sudah tidak berjalan mulus. Biasanya saya mengawali wawancara disorot kamera dengan ngobrol-ngobrol untuk membangun rapport dan mencairkan suasana. Tapi saat saya tanya nama saja, Samudra sempat ogah menjawab. Untuk beberapa pertanyaan, saya betul-betul dicuekin.
"Wah mas, yang ini gue nyerah mas, yang kayak begini bagian lu, mas, punten," tutur tim kreatif video kami, Adrian, yang kala itu turut mengatur pemosisian latar dan kamera. Mendengar itu, saya hanya bisa pasrah sembari tetap meneruskan wawancara ini.
Bagi sebagian orang dewasa, wawancara dengan kamera memang kadang membuat gugup. Apalagi ini anak-anak. Ditambah, rapport kurang terbangun dengan baik di awal. Akibatnya, jawaban atas suatu pertanyaan hanya terdiri dari sepatah atau dua patah kata saja saat wawancara.
Misal saya bertanya, “Kalau Lebaran biasanya kegiatan ngapain saja?” Dia menjawab main kembang api. Lalu, saya lanjutkan, “Selain main kembang api apalagi?” Ia bilang, makan ketupat. “Lalu apalagi?” Kata Samudra, “Opor ayam.”
Suasana di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dari wawancara dengan anak-anak tersebut saya belajar dua hal. Pertama, anak-anak tidak akan terlalu terbuka, bahkan cenderung diam, kepada orang yang belum ia kenal dekat. Perkenalan dan first impression adalah kunci. Kedua, pertanyaan harus dibahasakan dengan bahasa anak-anak yang mudah dipahami dan dimengerti.
Padahal menurut guru pembina di panti tersebut, anak-anak cenderung berisik dan tak bisa diam saat sedang bermain dengan teman sebayanya sebelum ada sesi wawancara ini. Beberapa guru heran, saat wawancara dihelat dan kamera menyala tiba-tiba suasana hening.
Saya menduga, kamera dan lighting memang berpengaruh karena memang ini pengalaman pertama mereka bertemu benda-benda macam ini. Untuk mendudukan konteks, kami membahasakan kegiatan wawancara tersebut sebagai “ngobrol-ngobrol biar masuk TV”. Saya jelaskan apa itu wartawan, apa itu media, dan hasil wawancara ini akan tayang di mana.
Wawancara dengan Samudra, dan juga Hanif setelahnya, masing-masing tak berjalan lebih dari 20 menit. Padahal, untuk menggali berita liputan khusus, berdasarkan pengalaman saya setidaknya menghabiskan 30 menit sesi wawancara untuk setiap narasumber.
Karena saya kehabisan tenaga, dan juga kesabaran, untuk wawancara narasumber anak-anak panti lainnya saya serahkan ke Abdul Latif, reporter liputan khusus lainnya yang juga ikut dalam tim liputan ini. Dia mewawancarai 3 anak perempuan sekaligus. Sebagian anak tersebut cenderung diam, ada juga yang beberapa kali menjawab pertanyaan.
Sejumlah anak saat bermain di Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Saat wawancara usai dan videografer kami bilang bahwa kamera sudah dimatikan, anak-anak kembali riuh seperti sediakala. Di antaranya ada yang melanjutkan menggambar dan bermain.
Saya kurang begitu memahami anak-anak, apalagi anak yang tinggal di panti asuhan. Akan tetapi, setelah saya datang ke sana, saya menangkap bahwa anak-anak ini sebenarnya nyaman dengan guru-guru pembina di panti tersebut serta akrab dengan para pekerja sosialnya, termasuk Mas Angger yang mendampingi saya.
Meski demikian, guru pembina dan pekerja sosial di panti asuhan memang tidak bisa 100 persen menggantikan orang tua. Mas Angger cerita, anak-anak acapkali menanyakan di mana orang tuanya dan alasan kenapa sang anak tak pernah bertemu atau dijenguk orang tuanya.
Di balik riuh, riang, dan tawa anak-anak panti asuhan itu, saya tersadar rupanya ada rindu dan luka yang dipendam.
Di Panti Werdha yang Penuh Cerita
Berbeda 180 derajat dengan Panti Asuhan Tunas Bangsa, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 yang menangani warga binaan sosial lanjut usia (lansia) justru dipenuhi dengan segudang cerita yang menunggu dibuncahkan.
Kalau anak-anak cenderung diam dan takut pada orang yang tak mereka kenal, para lansia di sini justru melihat kami, para wartawan yang rata-rata berumur di bawah 30 tahun seperti anak-anak mereka.
Suasana di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
“Panggilnya apa ini, Oma, Nenek, atau Emak?” tanya saya kepada lansia bernama Nelly (73) sesaat sebelum wawancara.
“Mamah aja, karena kan mamah enggak punya anak,” jawabnya ramah.
Saya semringah melanjutkan obrolan dengan Mamah Nelly dan kemudian mewawancarainya. Tak seperti dengan anak-anak yang tidak biasa saya hadapi, bicara dengan lansia adalah hal yang acap saya lakukan ketika ngobrol dengan nenek atau kakek di kampung.
Para lansia suka bercerita. Terlebih cerita masa lalunya. Entah itu cerita lucu, sedih, cerita kebanggaannya pada masa mudanya dan lain-lain. Tetapi menggali kisah suram kenapa para lansia itu bisa berujung tinggal di panti werdha binaan pemerintah atau negara adalah hal lain.
Sebagian di antara para lansia tersebut terjaring mengemis atau memulung di jalanan, atau memang sudah tidak punya keluarga sehingga telantar sebatang kara. Mamah Nelly adalah salah satu yang tak lagi punya saudara kandung seibu-seayah. Ia menyebut memiliki lima adik perempuan yang satu ibu berbeda bapak.
Penghuni Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Nelly Ruslina. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Mamah Nelly kemudian memilih tinggal di panti werdha lantaran tak mau merepotkan adik-adiknya yang masing-masing berkeluarga itu. Perempuan asal Kuningan, Jawa Barat, tersebut mengaku bahagia tinggal dengan para lansia lain, ia bahkan sudah menganggap mereka sebagai saudara.
Di panti werdha, sarana kehidupan lansia seperti makan, minum, dan tempat tinggal sudah dijamin. Makanya, sebagian bersyukur karena sudah tak perlu repot-repot memikirkan persiapan menjelang Lebaran tiba. Ketupat, opor ayam, kue-kue, hingga baju Lebaran sudah tersedia.
Namun, yang kerap tiada ialah keluarga. Mamah Nelly menyebut ia tak pernah menarget kapan adik-adiknya mesti menengoknya. Sebab, ia sendiri maklum saudaranya sudah punya keluarga. Bahkan, ia pernah baru ditengok setelah 1 tahun lamanya, itu pun bukan pada momentum Lebaran.
Ada juga lansia lain yang hidup kesusahan sendirian karena anaknya terlibat kasus kriminal. Lansia tersebut akhirnya tinggal di panti, sementara anaknya menjalani hukuman tahanan. Ditanya apakah setelah anaknya keluar penjara, dia akan keluar dari panti lalu ikut hidup dengan sang anak, ia justru menjawab enggan.
Lagi-lagi, alasan lansia tersebut adalah tidak ingin menyusahkan anak yang merupakan keluarga satu-satunya itu.
Sebagian lain sudah merasa bahagia tinggal di panti werdha lantaran banyak teman sebaya. Mereka bisa curhat masalah hidup satu sama lain. Pihak panti juga sudah mengadakan kegiatan agar pikiran dan raga para lansia tetap terjaga, seperti keterampilan dan bernyanyi bersama.
Saat saya mendatangi Panti Werdha Budi Mulia 1 pada Rabu (27/4), saya berkesempatan melihat para lansia berkumpul dan bernyanyi bersama di aula panti. Event itu dinamai dengan Panggung Gembira yang dihelat tiap Rabu pagi jelang siang.
Siti Rokhayati, lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia satu menyanyikan 'Prau Layar' di pentas Panggung Gembira. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Kegiatan dibuka dengan menyanyikan Mars Lansia. Selanjutnya para lansia bisa mengajukan diri untuk menyanyi lagu yang ia suka dan berjoget bersama. Salah seorang lansia bahkan menyanyi sambil duduk memegangi tongkat yang membantunya berjalan.
Lansia perempuan bernama Siti Rokhayati itu lantas menyanyikan lagu “Prau Layar” (Perahu Layar), tembang ciptaan seniman Ki Nartosabdo tahun 90-an:
Yo konco ning nggisik gembiro (Mari kawan, kita pergi ke lautan untuk bergembira) Anglerap-lerap banyune segoro (Berkilau-kilau air lautnya) Angliyak numpak prau layar (Hendak menaiki perahu layar) ….
Sebagian lansia lain ikut joget dan mengangkat serta menggerak-gerakan tangannya mengikuti alunan tembang. Saya yang larut dengan lantunan suara nyanyian lansia itu, sedikit-sedikit turut menyanyi.
“Emang tahu lagunya, Mas,” colek Adrian, tim kreatif video kami.
“Tahulah.” Tentu saja saya tahu, karena saya besar di Jawa Tengah dan lagu ini sesekali diputar di acara-acara besar seperti hajatan pernikahan. Penyanyi campursari mendiang Didi Kempot juga turut mempopulerkan lagu ini.
Saya sebenarnya punya niatan ikut menyanyi atau merikues lagu-lagu playlist anak-anak Jakarta Selatan, seperti “Hati-hati di Jalan” (Tulus) atau “Berharap Tak Berpisah” (Reza Artamevia). Namun niatan itu saya urungkan, selain karena beda generasi-beda selera, posisi panti terletak di Jakarta Timur, saya kira lagunya kurang cocok.
Di panti werdha saya belajar, usia senja tak menjadi halangan untuk tetap berkarya dan menikmati hidup. Karena sebelum nafas berhenti, cerita hidup masih terus berlanjut. Semoga para lansia di Indonesia selalu sejahtera dan bahagia di mana pun mereka berada.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten