Berkurban di Kawasan 3T, Menjangkau yang Tidak Terjangkau

8 Agustus 2017 16:01 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pulau Haruku (Foto: LAZISMU)
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Haruku (Foto: LAZISMU)
ADVERTISEMENT
Berbagi tak mengenal jarak dan waktu. Semua berhak, termasuk bagi mereka yang hidup di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dibanding dengan kawasan lain yang banyak akses tentu warga di kawasan 3T pasti secara kehidupan tak seberuntung kita. Kendati telah dihitung dalam capaian pembangunan nasional oleh pemerintah, maka mereka yang hidup di wilayah ini perlu mendapat perhatian tersendiri. Salah satunya, melalui suatu program yang mendorong kepedulian sosial.
Untuk itu, dengan lebih menekankan pada spirit berbagi dan kebersamaan (filantropi). Idul Adha tahun ini, kepulauan Haruku dan kepulauan Saparua akan menjadi bagian dari kegiatan kurban yang bertajuk Nusantara Berkurban untuk Indonesia Berkemajuan (NBIB). Program ini digagas oleh dua lembaga amil zakat dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah. NU dengan NU Carenya dan Muhammadiyah dengan Lazismunya.
ADVERTISEMENT
"Tak dipungkiri masih ada kawasan lain yang sepadan. Karena itu, upaya kontribusi di kantong-kantong kemiskinan tersebut bagian dari wujud menguatkan persoalan ketahanan pangan agar mereka dapat hidup tanpa kemiskinan, kelaparan dan hidup sehat serta sejahtera," tulis keterangan resmi dari panitia NBIB, Selasa (8/8).
Program ini diharap dapat menjangkau kawasan yang tidak terjangkau selama ini. Dengan demikian, sinergi dan kolaborasi adalah cara untuk menyasar masyarakat agar hewan kurban yang selama ini disembelih tidak terkonsentrasi di wilayah kota dan tertentu saja.
Mengapa Kepulauan Haruku menjadi target?
Adalah Iin Inayah, 45 tahun, seorang dokter dari RSIJ Cempaka Putih, Jakarta yang memiliki pengalaman berada di desa tertinggal di wilayah Maluku. Ia merasa wilayah ini perlu dibantu.
ADVERTISEMENT
Ia mengawali perjalanannya pada 25 Februari lalu. Saat sampai di tanah Maluku ia kemudian menuju desa terluar itu lewat laut. Ia menikmati perjalanannya dengan rasa takjub karena berada di perairan kepulauan Malukuv yang begitu indah.
Pulau Haruku (Foto: LAZISMU)
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Haruku (Foto: LAZISMU)
Empasan angin laut menerpa wajahnya saat kapal motor cepat berjenis Yacht, melaju kencang. Rasa takutnya pergi, ia tidak sendiri karena ditemani Crew Klinik Apung Said Tuhuleley menuju Desa Pelauw, sebuah desa teringgal di Maluku tepatnya di Pulau Haruku.
Jelang maghrib kapal bersandar di pelabuhan kecil itu. Tak satupun dari para crew mendapati telepon selularnya berdering.
Dokter Iin mengatakan baru menyadari wilayahnya tak dilewati sinyal telekomunikasi. Sama sekali.
“Saya sadar bahwa kakinya berada di atas tanah yang tidak dibayangkan sebelumnya,” kata IIn.
ADVERTISEMENT
Tangan kanannya mengelap kacamatanya yang basah. Sayup-sayup terdengar azan maghrib di sebuah dusun yang masuk dalam kategori kawasan 3T (terluar, terdepan dan tertinggal). Di dusun ini pula dokter Iin dan crew klinik apung memberikan layanan kesehatan gratis. Keterbatasan akses membuat warga di dusun ini sulit untuk menikmati layanan kesehatan.
"Padahal siang harinya, bakti sosial baru saja digelar dan crew di Pulau Saparua yang jarak tempuhnya 30 menit dari Pulau Haruku. Melihat kondisi itu, sudah sepantasnya kawasan ini jadi pusat perhatian. Tertinggal, terluar dan terdepan. Sebuah kategori yang lamat-lamat akan banyak didengar orang," urai dia.
Bayangkan saja, dalam statistik kesehatan BPS Kabupaten Maluku (2016), di kecamatan Saparua hanya ada 3 dokter, 12 bidan dan 16 perawat. Itu pun tersebar di beberapa puskesmas yang jaraknya harus ditempuh 14 km melalui jalur darat dengan ongkos ojek Rp 50 ribu.
ADVERTISEMENT
------
Anda bisa membantu para warga di 3T dengan berdonasi kurban di laman berikut: