Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Bernadya hingga Raisa Minta MK Ubah Aturan Pembayaran Royalti di UU Hak Cipta
12 Maret 2025 19:34 WIB
·
waktu baca 8 menit
ADVERTISEMENT
Sebanyak 29 musisi Indonesia menggugat UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK agar mengubah aturan soal pembayaran royalti.
ADVERTISEMENT
Para musisi itu termasuk Bernadya, Nadin Amizah, hingga Raisa Andriana. Gugatan mereka didaftarkan sejak Jumat (7/3) lalu dan teregister dengan nomor akta pengajuan permohonan elektronik (AP3) nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.
Berdasarkan salinan permohonan yang diunggah di situs MK, para musisi tersebut meminta MK untuk mengubah sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta. Sebab, dinilai merugikan mereka, khususnya dalam hal royalti.
Contoh Kasus: Agnezmo hingga Once
Dalam permohonannya, mereka menyinggung sejumlah kasus musisi yang kemudian bermasalah dengan pencipta lagu. Mulai dari Once hingga Agnes Monica. Berikut beberapa contoh yang disampaikan
Kasus yang dialami oleh grup band The Groove, di mana Rieka Roeslan (salah satu mantan personel band The Groove) mengirimkan somasi kepada The Groove dan melarang The Groove untuk menyanyikan lagu karya ciptaan Rieka Roslan. Tindakan itu dilakukan tidak lama setelah Rieka Roslan keluar dari grup band The Groove. Adapun Rieka melarang grup band The Groove menyanyikan lagu ciptaannya karena menurut Rieka, terdapat kata-kata yang membuat dirinya tersinggung dan tidak suka atas sikap yang diambil oleh manajemen.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dialami oleh Sammy Simorangkir, di mana Doadibadai Hollo atau (atau yang dikenal dengan Badai) mengirimkan somasi yang pada pokoknya melarang dan tidak mengizinkan Sammy Simorangkir untuk menyanyikan lagu-lagu grup band Kerispatih ciptaan Badal. Badai melarang Sammy karena menurut Badal, Sammy akan membawakan lagu-lagu ciptaan Badai tersebut pada suatu acara tanpa meminta izin secara langsung kepada Badai.
Kasus yang dialami oleh Agnes Monica (atau dikenal dengan Agnezmo) digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, Pencipta dari lagu "Bilang Saja", karena Agnezmo dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias. Adapun dalam gugatan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memutus gugatan dengan menghukum Agnezmo ganti rugi sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) kepada Ari Bias, dan bahkan Agnezmo dilaporkan secara pidana ke Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan dasar laporan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
ADVERTISEMENT
Kasus yang dialami oleh Once Mekel, seorang Pelaku Pertunjukan di Indonesia yang dilarang oleh Ahmad Dhani, pencipta lagu-lagu grup band Dewa, untuk menyanyikan lagu-lagu Dewa dalam berbagai pertunjukan solo Once Mekel. Adapun alasan Ahmad Dhani melarang adalah karena Ahmad Dhani sebagai pencipta merasa berhak untuk melarang Once Mekel sebagai pelaku pertunjukan untuk membawakan lagu-lagu yang diciptakannya.
"Bahwa Para Pemohon sebagai Pelaku Pertunjukan berpotensi mengalami masalah hukum serupa seperti yang dialami grup band The Groove, Sammy Simorangkir, dan Agnezmo yang harus meminta izin secara langsung dan membayar royalti yang tidak berdasarkan pada ketentuan yang berlaku," bunyi permohonan dikutip dari situs MK, Rabu (12/3).
Hal ini menjadi isu hukum dalam praktik penggunaan karya cipta. Sebab ketentuan Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dinilai kerap digunakan oleh pihak-pihak lain dengan penafsiran yang berbeda, sehingga mengakibatkan ketidakpastian dalam praktiknya.
ADVERTISEMENT
Kerugian Konstitusional
Berbagai contoh kasus di atas membuat para pemohon menjadi gelisah. Tidak hanya membuat bingung, melainkan juga ketakutan. Dua hal yang menjadi pertanyaan besar bagi para pemohon adalah:
a. Apakah Pelaku Pertunjukan wajib untuk meminta izin secara langsung kepada Pencipta lagu, untuk menampilkan ciptaan lagu tersebut dalam suatu pertunjukan (performing)?
b. Para Pemohon memahami adanya kewajiban untuk membayar royalti atas penggunaan ciptaan secara komersial di suatu pertunjukan. Namun, siapa yang memiliki kewajiban untuk membayar royalti tersebut? Pelaku pertunjukan-kah atau penyelenggara?
Sejumlah musisi tersebut beranggapan UU Hak Cipta telah menimbulkan kerugian konstitusional. Misalnya ketidakpastian hukum dalam memperoleh izin dan pembayaran royalti.
Berikut kerugian konstitusional para musisi tersebut:
1. Ketidakpastian hukum dalam memperoleh izin dan membayar royalti, baik sebagai Pencipta maupun sebagai Pelaku Pertunjukan. Para Pemohon tidak memiliki kejelasan mengenai apakah izin harus dimintakan secara langsung kepada Pencipta atau cukup melalui mekanisme LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), terlebih dengan adanya fakta bahwa kecenderungan pemberian izin dari Pencipta yang diberikan secara subjektif (like and dislike) dan tidak semua Pelaku Pertunjukan memiliki kedekatan atau bahkan akses kepada Pencipta untuk meminta izin.
ADVERTISEMENT
2. Potensi beban administrasi dan finansial yang berlebihan, karena ketidakpastian mengenai siapa yang berkewajiban membayar royalti, apakah Pelaku Pertunjukan atau penyelenggara acara.
3. Potensi penyalahgunaan hak oleh Pencipta lagu, jika Pencipta lagu dapat menentukan tarif royalti secara sepihak tanpa merujuk pada peraturan yang berlaku.
4. Ancaman pidana akibat ketidakjelasan hukum, karena tidak ada batasan yang jelas mengenai aspek perdata dan pidana dalam konteks pembayaran royalti menimbulkan ketakutan bagi Para Pemohon yang dapat saja menghadapi tuntutan hukum secara sewenang-wenang.
5. Pembatasan terhadap kebebasan berkarya dan berekspresi. Jika aturan yang ada tidak memberikan jaminan hukum yang jelas, maka Pelaku Pertunjukan akan selalu berada dalam posisi rentan terhadap gugatan dan ancaman pidana.
Minta Ubah Pasal di UU Hak Cipta
Berdasarkan sejumlah kerugian konstitusional tersebut, para musisi itu meminta agar sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta diubah oleh MK. Adapun pasal-pasal tersebut, yakni Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
ADVERTISEMENT
Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta berbunyi "Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan."
Para musisi tersebut menilai pasal ini kerap kali menimbulkan kekeliruan seorang pelaku pertunjukan tidak dapat menyanyikan atau membawakan suatu karya tanpa ada izin langsung dari penciptanya.
Kekeliruan ini dinilai telah menimbulkan diskriminasi berupa larangan bagi pelaku pertunjukan tertentu untuk membawakan lagu ciptaannya. Misalnya kasus antara Rieka Roeslan dengan band The Groove dan Sammy Simorangkir dengan Badai.
Untuknya, mereka meminta MK agar menyatakan Pasal 9 ayat (3) UU Hak Cipta konstitusional menjadi dimaknai bahwa "penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tidak memerlukan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan kewajiban untuk tetap membayar royalti atas penggunaan secara komersial ciptaan tersebut".
ADVERTISEMENT
Pasal 23 ayat 5
Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta berbunyi, "Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."
Mereka menilai frasa "setiap orang" dalam pasal tersebut seringkali dimaknai secara keliru dengan merujuk hanya pada orang perorangan saja dan oleh karenanya disimpulkan secara salah sebagai pelaku pertunjukan. Contohnya terjadi pada permasalahan antara Agnez Mo dengan Ari Bias.
Selain itu, aturan tersebut juga kerap kali disalahartikan bahwa pembayaran royalti harus dilakukan di awal sebelum musisi tampil. Pembayaran royalti juga didasarkan dengan penghitungan jumlah tiket terjual.
Karena itu, mereka meminta MK agar menyatakan Pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang frasa "Setiap Orang" dimaknai sebagai "Orang atau badan hukum sebagai Penyelenggara Acara Pertunjukan". Kecuali apabila diperjanjikan berbeda oleh pihak terkait mengenai ketentuan pembayaran royalti. Serta dimaknai bahwa "pembayaran royalti dapat dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya penggunaan komersial suatu ciptaan dalam suatu pertunjukan."
ADVERTISEMENT
3. Pasal 81
Pasal 81 UU Hak Cipta berbunyi, "Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat(2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (21)."
Aturan ini dinilai telah ditafsirkan oleh sekelompok masyarakat secara tidak berkeadilan. Salah satunya digunakan untuk mengakomodasi direct license (lisensi langsung) untuk lisensi performing rights (hak pertunjukan).
Padahal penerapan direct licensing dipandang akan menyulitkan bagi pelaku pertunjukan yang baru berkembang untuk dapat mengakses lisensi performing rights.
Kesulitan akses tersebut diakibatkan penentuan tarif royalti direct licensing yang dilakukan berdasarkan hasil negosiasi perjanjian yang acuannya adalah kehendak subjektif pencipta.
ADVERTISEMENT
Mereka meminta MK menyatakan bahwa Pasal 81 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai "Untuk Penggunaan Secara Komersial dalam suatu Pertunjukan tidak diperlukan lisensi dari Pencipta dengan kewajiban untuk membayar royalti untuk Pencipta melalui LMK."
4. Pasal 87 ayat 1
Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta berbunyi, "Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan, Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial."
Para musisi tersebut berpendapat bahwa penentuan tarif royalti secara non-kolektif bagi pelaku dan penyelenggara pertunjukan yang dilakukan hanya berdasarkan penentuan tarif yang subjektif per lagu dari pencipta adalah tidak adil.
ADVERTISEMENT
Sebab, hal itu dianggap membebani penyelenggara dan pelaku pertunjukan yang lemah secara ekonomi untuk berkembang. Ini juga dinilai akan menghambat ekosistem industri musik tanah air karena tidak tercipta keadaan industri pertunjukan yang kompetitif.
Mereka meminta MK menyatakan Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta konstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa "Pencipta, Pemegang Hak Cipta ataupun Pemilik Hak Terkait juga dapat melakukan mekanisme lain untuk memungut royalti secara non-kolektif dan/atau memungut secara diskriminatif".
5. Pasal 113 ayat 2
Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta berbunyi, "Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
ADVERTISEMENT
Para musisi ini beranggapan dengan adanya ancaman pidana seperti ini akan menimbulkan kekacauan hukum. Serta mengurangi adanya motivasi Pelaku Pertunjukan untuk menggunakan ciptaan pencipta lainnya.
Oleh karenanya, meminta agar MK menyatakan bahwa ketentuan huruf f dalam Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dihapus.