Bersama Rainbow Warrior, Warga Celukan Bawang Kritik Keberadaan PLTU

17 April 2018 20:49 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Puluhan warga berkumpul di bibir pantai sebelah timur PLTU Batu Bara Celukan Bawang, tepatnya di Dusun Berongbong, Desa Celukan Bawang, Gerokgak Buleleng, Bali Utara, Selasa (17/4). Sore itu mereka menunggu kedatangan kapal Rainbow Warrior Greenpeace yang melintasi perairan utara Bali sebelum bertolak ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Puluhan kapal nelayan bergerak dari bibir pantai dan berlayar bersama Rainbow Warrior dari timur ke Barat, hingga tepat berada di depan PLTU Celukan Bawang, sambil mengibarkan spanduk bertuliskan kritik mereka dengan adanya PLTU batu bara di desanya. Dalam aksinya, para warga termasuk para nelayan mengkritisi PLTU yang sudah ada dan beroperasi sejak tahun 2015 lalu dan PLTU Celukan Bawang 2x330 MW yang akan dibangun dan kasusnya masih diproses dalam persidangan di PTUN Denpasar.
Baidi Suparlan, salah satu nelayan dari Kelompok Nelayan Bakti Kosgoro, menyampaikan kondisi para nelayan pasca kehadiran PLTU di Desa Celukan Bawang, Gerokgak, Buleleng. Di mana dulu, Ia dan para nelayan dari 5 kelompok nelayan yang ada di Desa Celukan Bawang mengalami dampak siginifkan terhadap kehidupan perekonomian mereka.
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Sebelum adanya PLTU, para nelayan dengan mudah menangkap ikan hanya dengan jarak 100 meter dari bibir pantai. Namun sekarang Ia harus berlayar jauh ke tengah untuk memperoleh ikan. Hal tersebut jelas menambah biaya operasional para nelayan.
ADVERTISEMENT
“Kalau dulu hanya 100 meter saja sudah bisa dapat ikan. Sekarang harus bermil-mil ke tengah. Menambah biaya operasional hingga Rp 200 ribu sekali jalan,” ujar ayah 4 anak ini.
Sementara hasil tangkapan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Ia menyampaikan terjadi penurunan signifikan terkait tangkapan. Sebelum ada PLTU, Ia menyampaikan tangkapan bisa mencapai 50 kilogram per hari, namun kondisi saat ini hanya rata-rata 10 kilogram per hari.
Menghadapi itu, Ia bersama para nelayan bahkan pernah beralih pekerjaan menjadi buruh bangunan. Namun karena sudah dari dulunya bekerja sebagai nelayan, maka mereka memutuskan kembali melaut.
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Sehari-hari Ia bersama sang keluarga yang tinggal berjarak kurang lebih 400 meter dari PLTU saat ini, harus menghadapi udara kotor dari pembakaran batu bara. Ia menyampaikan tidak bisa membayangkan jika kemudian PLTU akan kembali dibangun di sana.
ADVERTISEMENT
“Dulu 50 kilogram per hari, setelah ada PLTU ini hanya 10 kilogram per hari. Belum lagi udara yang kami hirup di sini. Debunya setiap hari harus kami hadapi. Saya tidak bisa membayangkan, kalau nanti akan dibangun lagi yang kedua,” ujarnya.
"Karena itu kami sempat beralih jadi buruh bangunan, tapi tidak lama. Karena ya dari dulunya kami ini nelayan ya kami kembali lagi," tambah Baidi.
Sementara I Ketut Mangku Wijana, satu di antara para penggugat pembangunan PLTU Celukan Bawang 2x330 MW menyampaikan yang menjadi tuntutan para warga bukan hanya penolakan akan oembangunan terbaru juga pada PLTU yang sudah berdiri untuk mengurangi aktivitasnya.
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Celukan Bawang Kritisi PLTU Batubara (Foto: Cisilia Agustina Siahaan/kumparan)
Ia menegaskan pihaknya tidak menolak pembangkit listrik dengan tenaga apapun asal tidak menggunakan batu bara. Karena dampaknya sudah Ia rasakan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
“Kami bukan menolak PLTU nya tapi pada penggunaan batu baranya. Karena itu sudah saya rasakan sendiri. Kami menolak untuk pembagunan yang kedua, dan mohon untuk yang sudah berdiri sekarang untuk mengurangi penggunaan batu baranya,” ujar Mangku.
Sementara dari pihak Greenpeace Indonesia menyampaikan bahwa PLTU juga menimbulkan risiko bagi Taman Nasional Bali Barat, rumah bagi satwa langka dan dilindungi termasuk macan tutul Jawa, trenggiling, dan jalak Bali yang semuanya sangat terancam. Tidak dapat dipungkiri bahwa emisi dari PLTU akan mencemari daerah yang indah ini.
“Pengembangan energi terbarukan perlu adalah masa depan kita. Bali hanya akan bertahan hidup dan berkembang sebagai tujuan wisata jika memiliki energi yang bersih dan berkelanjutan, bukan dengan emisi polusi dari pembangkit batubara seperti di Celukan Bawang”, jelas Didit.
ADVERTISEMENT