Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bertaruh Nyawa Demi Harta Karun Sungai Musi
20 September 2018 10:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Di tengah terik mentari siang itu, Senin (17/9), belasan perahu lego jangkar di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Perahu aneka warna atau yang kerap disebut ketek oleh warga setempat, bersandar di area yang saling berdekatan.
ADVERTISEMENT
Dari kejauhan, mereka tampak sedang mencari ikan. Namun sebetulnya ketek-ketek itu sedang menunggu penumpangnya menyelam mencari harta karun di dasar sungai terpanjang di Sumatera itu.
Bukan perkara mudah mendapatkan harta karun di Sungai Musi. Dengan peralatan seadanya, para penyelam meluncur ke dasar sungai dan mempertaruhkan nyawanya.
Mereka hanya memakai kompresor tanpa alat pelindung lainnya. Dengan kondisi Sungai Musi yang semakin ke bawah semakin keruh, penglihatan penyelam semakin terbatas.
Seperti Asmadi, penyelam Sungai Musi yang baru meraih titel sarjananya. Ia menjadikan penyelam sebagai pekerjaan sampingan. Lagi pula di tempat tinggalnya, hampir semua orang bekerja sebagai penyelam.
Sambil menunggu pendaftaran CPNS, Asmadi rajin menyelam di Sungai Musi. Mulanya dia penasaran saat melihat penyelam lain mendapatkan barang kuno dan mahal.
ADVERTISEMENT
“Awalnya penasaran lihat orang-orang itu banyak dapat barang jadi pengin, lumayan enggak terlalu sulit (caranya), tapi risikonya lumayan (bahaya),” ucap Asmadi saat dijumpai kumparan di keteknya.
Saat itu perahu ketek Asmadi berhenti di titik I Ilir. Titik itu adalah bekas Keraton Kuto Gawang yang kini sudah jadi pabrik.
Walaupun sempat dilarang oleh orang tuanya, Asmadi tetap berkukuh menyelam. Sebab baginya, mencari benda peninggalan Sriwijaya bukan hanya soal menemukan harta karun, namun juga mempelajari sejarah.
Ketika mendapatkan barang temuan, biasanya Asmadi mencari tahu dengan membaca buku sejarah dan berkonsultasi dengan arkeolog serta kolektor benda antik.
“Biasanya cari-cari dulu, ini barangnya dari mana, baca buku. Sambil belajar sejarah, sudah dari dulu. Jadi gini kita orang Palembang, ada Kerajaan Sriwijaya tapi kita enggak tahu masa lalu kita. Enggak tahu asal kita gimana, orang dulu seperti apa, ibaratnya missing link gitu,” jelas Asmadi.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, Asmadi harus merasakan gelap gulitanya dasar laut Sungai Musi. Cahaya lampu tak dapat menembus keruhnya air sungai. Takut sudah tidak lagi dirasakannya saat di kedalaman 15 sampai 30 meter Sungai Musi. Di sana Asmadi hanya menggunakan indra peraba.
“Enggak bisa ngelihat, gelap, jadi cuma ibaratnya kaya buta, cuma merasakan pakai tangan aja,” kata Asmadi.
Ia terus meluncur dengan mengikuti jangkar yang sudah ditancapkan dari ketek, dan membawa pipa untuk menyedot pasir di titik dasar Sungai Musi. Hingga mentok dasar laut, di situ dia akan mendapat serbuk emas bila sedang bernasib baik.
“Itu disedot sampai dasar, sampai tidak bisa disedot lagi baru ada emasnya, kan pasir di atas, nanti di bawah sekali ada tanah yang enggak bisa disedot lagi,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Demi mendapatkan emas dan barang kuno bersejarah, tidak hanya medan dasar Sungai Musi saja yang harus dihadapi Asmadi. Dengan peralatan selam seadanya, tak heran jika kompresor oksigen pernah mati saat Asmadi sedang berada di dasar sungai.
“Kalau kompresornya mati, mesinnya mati, sering lah, masih di bawah, tinggal langsung naik aja. Itu oksigennya langsung kecil, jadi masih ada kesempatan untuk naik,” terang Asmadi.
Selama hampir 2 tahun menyelam, Asmadi pernah mendapat temuan termahalnya yang berkisar Rp 25 juta. Ia menemukan piring celadong dengan corak timbul ikan emas di tengahnya.
“Mahal itu dapat lirik celadon harganya sekitar Rp 26 juta, itu piring yang warnanya hijau, terus di dalamnya ada ikan dua, ikan mas di dalam piring,” imbuhnya.
Barang-barang yang ditemukan Asmadi biasanya akan disetor ke kolektor, setiap harinya akan ada kolektor yang datang. Ada juga kolektor asing yang mendatangi, namun tak begitu sering.
ADVERTISEMENT
“Kita nih setiap pulang langsung ada kolektor yang datang, jadi mereka ambil antik, emas, langsung ke rumah, jadi enggak perlu cari-cari orang yang dateng lagi,” kata Asmadi.
Menyinggung soal peraturan pemerintah untuk mendaftarkan barang sejarah yang ditemukan. Asmadi pernah mengetahui hal itu, namun ia takut nanti barangnya jadi sulit terjual bila dilaporkan ke pemerintah.
“Itu sudah pernah dengar sih, dulu kan kalau kita daftarkan pemerintah ibaratnya susah dijual, takutnya nanti ibaratnya tidak sesuai (perjanjian),” pungkasnya.
Asmadi dan kawan-kawannya juga mempertaruhkan nyawa untuk menyelam ke dasar sungai yang gelap demi mendapatkan emas dan benda antik bersejarah. Aksi Asmadi dan kawan-kawannya juga perlu diperhatikan. Sebab dari merekalah benda-benda antik bersejarah terungkap.
ADVERTISEMENT
Sayangnya saat ini banyak benda-benda bersejarah yang seharusnya dikelola pemerintah justru jatuh ke tangan individu, bahkan tak sedikit yang dimiliki asing. Lalu bagaimana seharusnya pemerintah mengelola benda-benda bersejarah itu? Apakah benar benda-benda bersejarah yang ditemukan di Sungai Musi berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya? Mengapa banyak warga yang bertaruh nyawa demi menemukan harta karun yang mengendap di Sungai Musi?
----------------------------------------------
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Harta Karun Sungai Musi.