Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Angin sepoi berhembus membelah ranting-ranting dedaunan di hutan Wanagama, Kabupaten Gunungkidul , DI Yogyakarta, Jumat (19/6) siang. Tukiyat (51), seorang penjaga hutan di hutan yang dikelola UGM, tengah duduk istirahat di rumah dinas salah seorang penjaga hutan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Bapak satu anak ini tengah mengisi tenaga. Dia masih harus bertugas sampai pukul 16.00 WIB, sebelum bisa pulang ke rumah dinasnya yang berada di dalam hutan Wanagama. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari petak pembibitan, tempat Tukiyat bertugas.
Kalau boleh mengira-ngira, hari-hari ini jauh lebih cerah bagi Tukiyat. Perasaannya lega, Sawitri putri semata wayang yang lahir 26 Juni 1994 silam sebentar lagi akan bergelar doktor. Studi S3 yang dijalani Sawitri di Universitas Tsukuba, Jepang, akan rampung pada akhir September mendatang.
Anugerah yang diterimanya saat ini jauh dari apa yang dibayangkan Tukiyat. Dia bercerita orang tuanya sama seperti dirinya, pas-pasan secara ekonomi.
Berijazah terkahir SMP Pembangunan Playen, hanya satu hal yang Tukiyat ajarkan ke Fitri sapaan akrab Sawitri, yaitu sopan santun. Namun takdir berkata lain, pendidikan anaknya kini unggul jauh darinya. Satu hal yang sangat disyukuri Tukiyat.
ADVERTISEMENT
Pria asli Gunungkidul ini bercerita kepada kumparan bagaimana perjalanan seorang pekerja penjaga hutan . Bertahan hidup dengan gaji pas-pasan, hingga mendidik keras buah hati tercinta.
"Awal mula tugas di Wanagama tahun 1987. Awal mulanya kan saya punya kakak ipar yang bertugas di Wanagama, namanya pak Kasan. Kakak ipar bilang sama almarhum Profesor Oemi Hani’in Suseno (Kehutanan UGM), terus saya ditawari untuk kerja di Wanagama," cerita Tukiyat kepada kumparan, Jumat (19/6).
Tahun 1987 itu, Tukiyat mendapat upah Rp 14 ribu per bulan ditambah 10 kg beras. Pada tahun 1990-an, setelah ia menikah upahnya naik menjadi Rp 27.500, ditambah 20 kg beras per bulan. Di tahun itulah dia mulai menghuni perumahan di dalam hutan Wanagama.
ADVERTISEMENT
"Awalnya saya mengurusi petak 14 yaitu tanaman kelor selama dua tahun. Setelah itu saya disuruh mengerjakan khusus pembibitan ada jati, ada kayu putih, mahoni, kayu keras itu ada eboni, hingga sekarang," ungkapnya.
Seiring waktu berjalan, upah Tukiyat naik pada tahun 2000-an sekitar Rp 200 ribu, hingga naik lagi menjadi Rp 400 ribu. Hingga akhirnya pada tahun 2007, Tukiyat diangkat menjadi CPNS dan resmi menyandang status PNS pada tahun 2008.
"Ketika diangkat CPNS gaji sudah standar," ujarnya. Tukiyat enggan menyebutkan secara pasti nominal gajinya.
Dengan kondisi itu, ia mendidik Sawitri dengan keras. Sopan santun, kemandirian, dan hidup sederhana menjadi ajaran yang ditanamkan Tukiyat kepada anaknya.
Tak Punya TV
Masa kecil Sawitri diisi dengan hiburan dari hutan dan buku ini benar adanya. Tukiyat memutuskan tidak membeli televisi. Bahkan, ketika menjadi PNS, Sukiyat tetap tak mau membeli TV karena menurutnya demi kebaikan buah hati.
ADVERTISEMENT
"Ya enggak punya tetangga, TV pun tidak ada. Bukan susah karena dari awal tidak punya TV dan saya pun dari awal mikirnya seperti ini. Waktu anak saya kecil kalau saya misal punya TV, pasti anak saya terganggu fokus belajarnya. Pasti pikir saya mesti nonton TV. Demi kebaikan ya karena ekonomi juga tadi," kata Tukiyat.
"Sampai sekarang pun saya belum pernah punya TV. Misalnya saya mau beli TV pun masih pikir-pikir. Ketinggalan zaman, tapi saya mengukur kekuatan saya sendiri," katanya.
Meski tidak memiliki TV di rumah, Sawitri tidak sekali pun memprotes itu pada bapaknya. Sawitri memilih membaca buku-buku yang ada di perpustakaan Wanagama.
Ada cerita menarik bagi Tukiyat ketika Sawitri hendak berangkat ke Jepang. Negeri Sakura itu selama ini memang dikenal dengan transportasi sepedanya. Namun Sawitri yang hendak ke sana justru sama sekali belum bisa sepeda. Tukiyat mengakui dirinya tak mengajari putrinya bersepeda.
ADVERTISEMENT
"Setelah diterima di Jepang jarak satu bulan sebelum berangkat pas masih di sini saya pinjamkan sepeda tetangga terus saya latih," kata Tukiyat.
Kini, Sawitri pun tinggal menunggu waktu untuk ujian gelar doktornya pada Juli mendatang. Tukiyat merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Meski begitu, ia mengaku tak akan menghadiri wisuda anaknya yang diperkirakan diselenggarakan pada September.
"Saya tidak akan datang wisuda di Jepang. Pertama saya takut pesawat, kedua juga soal biaya. Walaupun ada biaya saya enggak mau. Ini biaya (dikasih ongkos) saya enggak akan berangkat. Saya sudah merasa takut (naik pesawat)," kata pria tujuh bersaudara itu.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
*****
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.
ADVERTISEMENT