Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Rahardjo merupakan salah satu terdakwa di kasus dugaan korupsi proyek di Badan Keamanan Laut (Bakamla ) Tahun Anggaran 2016. Proyek yang dimaksud adalah pengadaan "Backbone Coastal Surveillance System" (BCSS) yang terintegrasi dengan "Bakamla Integrated Information System" (BIIS).
Korupsi itu telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 63,829 miliar.
"Setelah mempelajari putusan atas nama terdakwa Rahardjo Pratjihno, JPU KPK Tonny F Pangaribuan telah menyatakan upaya hukum kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta," kata plt juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (10/2).
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rahardjo dinilai hakim terbukti bersalah melakukan korupsi, Ia divonis 5 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Rahardjo juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti Rp 15,014 miliar sesuai dengan keuntungan yang ia terima.
ADVERTISEMENT
Pada tingkat banding, hukumannya diperberat menjadi 9 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta subsidair 6 bulan kurungan. Uang pengganti yang dibayarkan tetap sama yakni Rp 15,014 miliar.
Vonis terkait besaran uang pengganti inilah yang disoal oleh KPK . Sebab, dalam tuntutannya, JPU KPK meminta hakim memvonis Rahardjo membayar uang pengganti Rp 60,32 miliar. Sebab ia dinilai menikmati uang hasil korupsi sejumlah itu.
"Adapun alasan kasasi antara lain JPU memandang ada kekeliruan dalam pertimbangan putusan hakim tersebut terutama dalam hal jumlah nilai dari uang pengganti yang dibebankan kepada Terdakwa," kata Ali.
"Alasan dan dalil selengkapnya akan JPU uraikan dalam memori kasasi yang akan segera diserahkan kepada MA melalui PN Tipikor Jakarta Pusat," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Korupsi di Bakamla
Awalnya pada Maret 2016, Rahardjo mengusulkan kepada Kepala Bakamla saat itu Arie Soedewo dan Kepala Pengelolaan Informasi Marabahaya Laut (KPIML) Bakamla Arief Meidyanto agar Bakamla mempunyai jaringan backbone sendiri (independen) yang terhubung dengan satelit dalam upaya pengawasan keamanan laut atau "Backbone Surveillance" yang terintegrasi dengan BIIS.
Bakamla mengajukan RAPB-P 2016 senilai total Rp 400 miliar untuk pengadaan proyek tersebut. Ali Fahmi lalu berkoordinasi dengan pihak-pihak di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Direktorat Jenderal Anggaran dan Kementerian Keuangan sebelum pembahasan anggaran di Komisi I DPR.
PT CMI Teknologi lantas keluar sebagai pemenang lelang pekerjaan pengadaan "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" Bakamla TA 2016 dengan nilai penawaran Rp 397,006 miliar. Namun pada Oktober 2016, Kemenkeu hanya menyetujui anggaran BCSS tersebut sebesar Rp 170,579 miliar.
ADVERTISEMENT
PT CMI Teknologi lalu melakukan sub-kontrak dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan.
Hingga batas akhir 31 Desember 2016, Rahardjo tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, bahkan ada sejumlah alat yang baru dapat dikirim dan dilakukan instalasi pada pertengahan 2017.
Namun PT CMI Teknologi tetap dibayar yaitu sebesar Rp 134,416 miliar. Dari jumlah tersebut, ternyata biaya pelaksanaan hanya sebesar Rp 70,587 miliar sehingga terdapat selisih sebesar Rp 63,829 miliar sebagai yang merupakan keuntungan dari pengadaan "backbone" di Bakamla.
Nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada bekas staf khusus (narasumber) bidang perencanaan dan keuangan Bakamla Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp 3,5 miliar sehingga Rahardjo selaku pemilik PT CMI Teknologi disebut mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp 60,329 miliar.
ADVERTISEMENT
Pengadaan "backbone" yang dilaksanakan oleh PT CMI Teknologi tersebut pada akhirnya tidak dapat dipergunakan sesuai tujuan yang diharapkan karena kualitas sistemnya belum berfungsi dengan baik.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan fisik oleh Tim Ahli Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tanggal 29 Oktober 2019 yang menyatakan bahwa meskipun semua "Bill of Material" yang telah dijanjikan dalam kontrak dapat dipenuhi oleh kontraktor, namun secara fungsi tidak dapat didemonstrasikan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan.