Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dulu, sebelum teknologi belum secanggih saat ini, orang-orang pun sudah menunjukkan gelagat ingin diperhatikan. Sah-sah saja sebab itu adalah naluri alamiah manusia.
Kini saat media sosial marak bermunculan, perlahan tapi pasti orang-orang seolah meninggalkan dunia nyata sebagai tempat mencari perhatian. Kebanyakan orang merasa media sosial adalah tempat paling tepat mencurahkan segala pikiran dan perasaan.
Apakah kamu seringkali mendapati isi timeline media sosial (medsos) berupa curahan perasaan, kalimat perovokasi dan sebagainya.
Hal ini dibenarkan oleh Bona Sardo Hutahaean, M.Psi. Dosen dan psikolog dari Fakultas Psikologi UI, menurutnya semenjak media sosial mulai menjamur di Indonesia, orang-orang cenderung berperilaku pamer dan mudah mengeluh di media sosial mereka. Menurutnya hal ini wajar saja karena pada dasarnya merupakan kebutuhan manusia.
ADVERTISEMENT
Bona menjelaskan ada pergeseran media penyaluran dari keinginan tersebut, jika dulu orang-orang cenderung langsung menunjukkan keingininannya untuk diperhatikan. Saat ini, media sosial menjadi pilihan favorit kebanyakan orang untuk mencurahkan keinginannya.
Bona mengatakan kecenderungan orang-orang yang sering mengunggah keluhan dan terkesan pamer bukanlah suatu gangguan.
“Tidak ada gangguan kejiwaan, meskipun dengan frekuensi yang berlebihan itu bisa membuat orang lain yang melihat menjadi tidak nyaman,” kata Bona saat dihubingi kumparan (10/45).
Menurut Bona, sejatinya media sosial diciptakan untuk menjalin hubungan yang lebih baik dan dekat. Namun akhirnya perkembangan yang ada membuat medsos menjadi wadah untuk melakukan hal yang tidak baik bahkan berbahaya.
“Sekarang ini di media sosial yang namanya like, followers bisa dibeli. Memungkinkan oknum tertentu untuk memanfaatkan untuk hal tidak baik,” katanya.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ada oknum yang coba memanfaatkan medsos untuk membuat provokasi dan membuat orang lain terpengaruh.
“Bisa saja ada yang coba memasukkan nilai kebencian, meskipun kita awalnya tidak mempeduliklan nilai itu tapi akhirnya terpengaruh karena hal itu ramai diperbincangkan. Jadi pemikiran kita sedikit bergeser, misalnya ada kebencian yang disebarkan, kita pun jadi ikut membencinya. Itulah kekuatan media sosial,” tutur Bona.
Selain bisa menjadi media penyebar kebencian, media sosial berefek banyak hal bagi manusia. Bahkan budaya suatu bangsa, bisa terlihat dari kalimat dan konten yang diunggah oleh seseorang.
Lebih jauh Bona menjelaskan, sering kali orang yang mengunggah keluhan atau sikap pamer tidak menyadari apa yang sudah dia lakukan. Dia tidak menyadari tindakannya itu merupakan caranya untuk mendapatkan kepuasaan dan perhatian dari apa yang ia lakukan.
ADVERTISEMENT
“Banyak orang yang merasa bukan maksud mereka melakukan itu untuk pamer dan mengeluh. Tapi secara jelas postingan dia bersifat keluhan dan ingin mendapat respon dari orang-orang. Sehingga keluhannya itu dirasa harus dihargai,” kata Bona.
Dengan mudahnya mengakses media sosial saat ini, bukan hanya orang-orang dewasa saja yang bisa menggunakan medsos, anak-anak di bawah umur pun sudah sangat mahir memainkan jarinya di atas layar gadget. Sehingga apa-apa yang mereka terima di media sosial bisa sangat besar mempengaruhi pola pikir.
Soal kebutuhan dasar manusia yang ingin diperhatikan, disayangi, dikenali, dan dihargai, menurut Bona, hal ini erat kaitannya dengan peran orang tua pada anak-anak. Dengan munculnya fenomena postingan yang bersifat keluhan atau pamer, sangat memungkinkan orang-orang tersebut kekurangan kebutuhan dasar mereka bahkan dari orang terdekat.
ADVERTISEMENT
Bona mencontohkan sebuah riset tentang kurangnya peran asuh ayah dalam keluarga di Indonesia dengan fenomena medsos pada remaja.
“Di Indonesia, peran ayah masih sangat kurang dalam pola asuh. Padahal menurut penelitian, ayah dan ibu harus memberikan pengasuhan yang sama dan berimbang. Sehingga mungkin dengan kondisi ini, remaja-remaja sekarang ketika ada media sosial merasa ada tempat lain untuk memnuhi kebutuhan perhatiannya,” jelas Bona.
Menutup perbincangan, menurut Bona ada bebrapa cara bijak bagi kita untuk menggunakan media sosial agar semakin bermanfaat. Karena sejatinya media sosial juga membantu kehidupan manusia.
“Pertama, jika memang membutuhkan untuk berkomunikasi maka gunakan, kedua jika menurut kita hal itu sudah sangat menganggu dan tidak produktif lagj, silahkan hapus, tinggalkan. Tidak perlu ragu, karena kita tidak akan mati meski tanpa media sosial semacam instagram, Facebook dan lainnya. Ketiga, ketika melihat postingan orang lain coba cerna dulu apa yang tersirat dari posting tersebut. Jangan hanya menelannya mentah-mentah dan ini harus sering dilatih,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sering kali kita terbawa suasana dan arus pada situasi yang sedang ramai di media sosial dan menelan mentah-mentah informasi yang ada dan malah bisa memperburuk situasi karena menyebarkan hoax.
Bona menyarankan agar bisa lebih bijak menggunakan media sosial. Meminimalisir kabar hoax dengan cara berpikir kritis dengan cara mencari sumber dari banyak tempat dan coba mengklarifikasi kepada yang bersangkutan.
Jadi, bijaklah mempergunakan media sosialmu. Karena apa yang kamu utarakan bisa memperlihatkan karaktermu dan bisa mempengaruhi banyak orang.
Yuk, lebih bijak bersosial media.