Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Bila Bukan Karst Ditambang untuk Bahan Semen, Lalu Apa?
8 Mei 2017 9:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Permasalahannya berpangkal pada ketidaksetujuan banyak warga Kendeng atas pembangunan proyek triliunan rupiah itu. Bagi mereka, pembangunan pabrik yang berlokasi di atas Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih tersebut akan berdampak negatif pada lingkungan.
Dan memang betul demikian. Kawasan itu, yang merupakan bagian dari pegunungan karst, ditambang. Sebab karst atau batu gamping merupakan bahan baku utama pembuat semen.
Masalahnya, sumber air di CAT itulah yang mengaliri desa-desa di sekitarnya. Ini memperkuat dalil bahwa kegiatan manusia menambang alam pada akhirnya hanya akan menyisakan yang buruk bagi bumi itu sendiri.
Padahal, ada alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan fungsi semen sebagai perekat material bangunan selain bebatuan karst atau batu gamping.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja: geopolimer. Penggunaan polimer, berdasarkan sejumlah penelitian, lebih murah dan lebih ramah lingkungan ketimbang semen yang berbahan dasar gamping.
Ketika semen tradisional memerlukan energi yang luar biasa besar (baru lumer di suhu 1.450 derajat Celcius) serta menghasilkan limbah gas yang juga sangat besar (satu ton karbondioksida per satu ton semen) untuk mengubah bahan mentah menjadi semen, geopolimer tak menghasilkan dampak sebesar itu.
Geopolimer berasal dari abu terbang, sisa hasil proses penggunaan batu bara yang banyak ditemukan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Abu itu direaksikan dengan aktivator alkali yang berasal dari campuran sodium silikat (Na2SiO3 berisi silikon, oksigen, dan beberapa logam) dan sodium hidroksida (NaOH berisi logam dan air).
ADVERTISEMENT
Geopolimer sebagai metode alternatif semen telah banyak diteliti di dunia akademis, bahkan di Indonesia, misalnya saja oleh Universitas Hasanuddin , Universitas Sam Ratulangi , dan Universitas Indonesia .
Beton, yang berbahan dasar semen, merupakan substansi yang paling banyak dikonsumsi manusia setelah air. Ia digunakan untuk membuat bangunan, jembatan, bendungan, hingga jalan raya. Penggunaannya terus meningkat 2,5 persen setiap tahunnya, dan diperkirakan terus naik dari 2,5 miliar ton semen pada 2006 hingga menjadi 4,4 miliar ton di tahun 2050.
Namun persoalan tak hanya terletak pada semen.
Dalam pembangunan jalan, misalnya, aspal --atau disebut juga bitumen, merupakan bahan pengikat material bahan jalan yang bersifat adhesif (melekat), berwarna hitam kecokelatan, dan tahan terhadap air. Bitumen yang kandungan utamanya adalah senyawa karbon jenuh, alifatik, dan aromatik itu merupakan hasil emulsi (campuran) olahan minyak bumi.
ADVERTISEMENT
Namun saat ini, beberapa perusahaan di Eropa seperti MacRebur dari Skotlandia dan VolkerWessels dari Belanda telah memproduksi alternatif aspal yang dibuat dari limbah plastik.
Betul, limbah botol-botol air mineral itu.
MacRebur dan VolkerWessels bahkan berani mengklaim bahwa aspal dari limbah plastik tersebut lebih tahan lama ketimbang jalan aspal biasa.
MacRebur, dikutip dari situs resminya, menyatakan bahwa bahan jalan tersebut akan membuat hambatan di jalan lebih minimal, yang artinya membuat bahan bakar kendaraan Anda menjadi lebih hemat.
Bahan alternatif aspal itu sekarang telah digunakan di berbagai daerah seperti di Cumbria County sebelah barat laut Inggris.
Sedangkan VolkerWessels mengklaim desain produknya lebih ringan, membuat pengerjaan proyek lebih cepat, dan tiga kali lebih tahan lama ketimbang aspal biasa.
ADVERTISEMENT
PlasticRoad, nama produk VolkerWessels tersebut, terbuat dari 100 persen bahan daur ulang yang bisa dibentuk menjadi banyak detail produk.
Produk akhirnya adalah lempengan jalan yang memiliki rongga di tengahnya. Rongga tersebut, klaim VolkerWessels, dapat digunakan sebagai tempat kabel, pipa, dan saluran air.
Lalu, mengingat Presiden Joko Widodo yang berjanji membangun 47 jalan tol baru --dan berbagai proyek infrastruktur lainnya-- di seluruh Indonesia, mengapa tak kita bisikkan saja inovasi-inovasi ramah lingkungan ini ke telinganya?
Ah, jangan berharap banyak.