Pertemuan Megawati dan Prabowo

Bila Prabowo dan Megawati Bersepakat Bersama

7 Oktober 2024 18:44 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sembari bergegas meninggalkan Gedung DPR di kawasan Senayan, Jakarta, Prabowo Subianto berbicara singkat mengenai rencana pertemuannya dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Jika tak ada aral melintang, Ketua Umum Gerindra itu bakal bertemu Megawati sebelum pelantikannya sebagai Presiden RI terpilih pada 20 Oktober 2024.
“Insyaallah, mudah-mudahan sebelum pelantikan,” ucap Prabowo di balik pintu mobilnya usai menghadiri pelantikan anggota DPR-DPD, Selasa (1/10).
Sesaat sebelum naik kendaraannya, Prabowo yang didampingi anaknya, Didit Hediprasetyo, sempat berbincang hangat dengan Ketua DPR sekaligus putri Megawati, Puan Maharani.
Sumber-sumber kumparan di elite PDIP maupun Gerindra menyebut pertemuan Prabowo-Mega bakal digelar antara tanggal 17–19 Oktober. Jika pertemuan digelar 17 Oktober, itu hari yang istimewa lantaran Prabowo berulang tahun ke-73 pada tanggal tersebut.
Sementara mengenai tempat pertemuan, berbagai lokasi tengah dijajaki para elite kedua partai. Lokasi-lokasi yang mengemuka di antaranya kediaman Prabowo di Kertanegara, Jaksel, atau di Hambalang, Bogor. Bisa juga di kediaman Megawati di Teuku Umar, Jakpus, atau di Istana Batutulis, Bogor.
Pertemuan Puan Maharani dan Prabowo Subianto di Hambalang, Minggu (4/9/2022). Foto: Tim Media Prabowo Subianto
“Bisa juga [di Teuku Umar], bisa juga di Kertanegara, bisa juga di Hambalang,” kata Puan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (3/10).
Opsi lainnya, menurut sumber kumparan, ialah tempat yang netral bagi Prabowo dan Megawati, yakni di sebuah restoran di kawasan Menteng, Jakpus. Kemungkinan ini disampaikan antara lain oleh Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.
“Yang pasti soal makanan sudah ditentukan,” kata Dasco.
Megawati dan Prabowo bertemu sambil bersantap bersama, Juli 2019. Foto: Dok. Istimewa
Rencana pertemuan Prabowo dan Megawati menguatkan sinyal PDIP akan merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus besutan Prabowo. Padahal sebelumnya pada Pilpres 2024, PDIP menjadi rival Prabowo dengan mengusung pasangan calon Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai tanda-tanda bergabungnya PDIP ke koalisi Prabowo bisa dilihat dari mulusnya jalan Puan Maharani kembali menjadi Ketua DPR.
Padahal, kalau mau, koalisi Prabowo—yang menguasai 7 dari 8 parpol di parlemen—bisa dengan mudah merevisi UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) agar jabatan Ketua DPR tidak ditetapkan berdasarkan hasil pemenang pileg, melainkan melalui sistem paket pemilihan.
Kondisi ini pernah terjadi pada periode 2014-2019 di mana koalisi Prabowo—yang saat itu bernama Koalisi Merah Putih/KMP—yang dominan di parlemen, bisa menduduki kursi Ketua DPR walaupun pemenang Pileg 2014 adalah PDIP.
Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan pidato saat memimpin Rapat Paripurna DPR Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2024-2025 Keanggotaan DPR RI 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
“Sinyal kompromistis sudah mulai terlihat di pemilihan pimpinan DPR. Begitu mudahnya formasi pimpinan DPR tetap mempertahankan apa yang diatur oleh UU MD3. Padahal kuasa untuk mengubah UU MD3 dalam satu menit dimiliki oleh koalisi [Prabowo] kalau mereka mau menggeser Puan. Kalau ini bergerak seirama sampai ke pertemuan Megawati dan Prabowo, sepertinya hampir pasti PDIP juga akan bergabung di koalisi [Prabowo]” ucap Lucius, Kamis (3/10).
Sementara itu, pengamat politik UIN Jakarta Adi Prayitno memandang condongnya PDIP bergabung ke KIM Plus adalah sebagai upaya konsolidasi politik menatap Pemilu 2029, selain juga untuk memastikan agar janji-janji politik Prabowo bisa diwujudkan secara cepat.
Rencana Prabowo bertemu Megawati sedianya sudah digagas setelah gelaran Pilpres 2024. Saat itu, muncul wacana keduanya bakal bersilaturahmi di momen Idul Fitri, namun tak terlaksana.
Setelahnya, pertemuan disebut bakal digelar tak lama usai putusan MK soal sengketa pilpres pada 22 April 2024. Namun lagi-lagi rencana pertemuan itu menguap. Tatap muka Prabowo dan Megawati terakhir kali terjadi saat acara HUT TNI pada 5 Oktober 2023 di Monas, Jakpus.
Beberapa hari sebelumnya di acara Hari Nasional ke-93 Arab Saudi pada 25 September 2023, Prabowo dan Megawati juga bertatap muka. Keduanya bahkan duduk semeja mengapit Wapres Ma’ruf Amin dan Dubes Arab Saudi untuk Indonesia, Faisal bin Abdullah Al-Mudi.
Kini mendekati hari pelantikan presiden, rencana pertemuan itu kembali muncul dengan sinyal yang lebih kuat. Komunikasi antara utusan Prabowo dan Megawati semakin intens dengan beberapa kali pertemuan di sebuah restoran Jepang di bilangan Senayan.
"Beliau berdua sangat berkeinginan [bertemu],” ucap Puan.
Momen Prabowo Zubianto bersama Megawati Soekarnoputri. Foto: Instagram/@prabowo

Era Prabowo Tanpa Oposisi?

Di luar rencana pertemuan yang disinyalir membuat PDIP merapat ke pemerintahan Prabowo, sejauh ini KIM Plus telah menjadi mayoritas di parlemen. KIM Plus menggenggam 81% dari total 580 kursi DPR. Prabowo pun tak masalah partai penyokong pemerintahannya begitu gemuk.
“Ada yang mengatakan ‘Wah, ini gimana koalisi gemuk banget?’ Bangsa kita besar, sama dengan Eropa. Eropa itu berapa? 28 negara. Kita satu negara. Kita harus kerja sama, jangan kita mau ikut-ikut budaya Barat, [yang] mungkin suka oposisi, gontok-gontokan. Oposisi enggak mau kerja sama, itu mungkin budaya mereka…” kata Prabowo pada penutupan Kongres III Nasdem di Jakarta (27/8).
Apabila PDIP bergabung ke KIM Plus, otomatis tak ada oposisi di pemerintahan Prabowo. Jika benar-benar terjadi, ini merupakan pertama kali sejak pilpres digelar langsung pada 2004 di Indonesia, tak ada oposan di pemerintahan presiden terpilih.
Tercatat pada Pemilu 2004 usai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai presiden, PDIP menjadi satu-satunya partai yang berada di luar pemerintahan. Pada periode itu (2004-2009), posisi PDIP di parlemen hanya setara 19% atau 109 kursi DPR.
Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono berbincang dengan Menko Kemanusiaan dan Kebudayaan Puan Maharani saat menjenguk ibu Ani Yudhoyono di NUH Singapura. Foto: Dok. Parta Demokrat
Pada Pemilu 2009 saat SBY kembali terpilih menjadi presiden, PDIP lagi-lagi memilih menjadi oposisi. Bedanya, pada periode 2009-2014, PDIP berpartner dengan Gerindra—yang baru terbentuk tahun 2008—di luar pemerintahan. Kedua partai itu menggamit 21% atau 120 kursi dari total 560 kursi DPR.
Berikutnya pada Pemilu 2014 yang merupakan periode pertama pemerintahan Jokowi, barisan oposisi yang dikenal dengan sebutan Koalisi Merah Putih (KMP) sempat garang dengan menguasai kursi di DPR. Namun seiring berjalan waktu, kelompok oposisi hanya tersisa Gerindra dan PKS dengan persentase 20% atau 113 kursi dari 560 kursi DPR. Adapun Demokrat dengan 61 kursi DPR saat itu memilih bersikap netral.
Sementara pada Pemilu 2019 atau periode kedua Jokowi, barisan oposisi diisi PKS dan Demokrat dengan proporsi 18% atau 104 dari total 575 kursi di DPR. Belakangan, jelang akhir jabatan Jokowi, Demokrat bergabung ke pemerintah dan hanya menyisakan PKS (8,6%).
Kini jelang awal pemerintahannya, Prabowo hendak menyempurnakan apa yang dilakukan Jokowi pada periode kedua dengan ‘membajak’ seluruh parpol masuk ke dalam koalisinya. Padahal, peran oposisi begitu penting dalam mengawasi dan mengontrol (checks and balances) kebijakan pemerintah.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam memberikan pengarahan kepada para pejabat TNI-Polri di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Kamis (12/9/2024). Foto: Dok. Istimewa
Dalam sebuah jurnal yang terbit pada 2016, peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof. Firman Noor menyatakan, keberadaan oposisi memungkinkan munculnya lebih banyak alternatif penyempurnaan atas kebijakan pemerintah berdasarkan aspirasi dan kepentingan rakyat, sebab kenyataannya tidak ada satu pun pemerintahan yang tak luput dari kesalahan.
“Sebuah pemerintahan akan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran, bila tidak mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang kompeten…Oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda, melainkan sebuah eksistensi yang memberikan kritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan,” jelas Firman.
Wasekjen PDIP, Utut Adianto, menilai istilah checks and balances hanya sedap didengar, namun realitasnya tidak mengubah apa pun. Ia menilai dengan kondisi parlemen yang hampir seluruh partai bergabung ke koalisi Prabowo dan hanya tersisa PDIP, maka secara kekuatan politik jelas tidak seimbang.
“Ketika misalnya 7 [partai] lawan 1 [partai] itu bukan checks and balances, [tapi] hanya dissenting opinion [perbedaan pendapat]. Doesn't change anything,” ucap Utut pada Selasa (1/10).
Bagaimana pun, kata Utut, keputusan bergabung atau di luar pemerintahan Prabowo merupakan wewenang Megawati. Meski demikian, jika pada akhirnya PDIP bersikap oposisi, ia menilai sikap kritis PDIP terhadap pemerintahan Prabowo mungkin tak akan setajam di era SBY. Sebab menurutnya zaman sudah berbeda.
Wakil Ketua DPR Utut Adianto. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Utut merasa pemilih saat ini tak begitu menghargai partai yang bersikap oposisi. Menurut Utut, pemilih masa kini yang didominasi kelas menengah bawah lebih membutuhkan partai yang bisa membantu secara langsung, semisal dalam penciptaan lapangan kerja.
Sementara itu Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Hanteru Sitorus menganggap pemerintah Prabowo membutuhkan partainya untuk memperbaiki ekonomi. Ia mencontohkan deflasi yang berlangsung 5 bulan berturut-turut perlu diatasi karena merupakan alarm ancaman krisis moneter. Begitu pula gelombang PHK yang perlu segera dicari solusinya.
“Kita pasti akan berusaha mendukung pemerintah yang baru supaya dengan semua tantangan yang ada, baik internal maupun dari global, betul-betul kita bisa atasi,” ucap Deddy.
Analis komunikasi politik dari Universitas Brawijaya, Anang Sujoko, berpendapat peran suatu partai sebagai oposisi tidak bisa sekadar dihitung secara kuantitas. Walaupun realitasnya hanya tersisa satu partai di luar pemerintahan, keberadaan partai tersebut tetap penting untuk menyuarakan kepentingan kritis rakyat.
“Sekecil apa pun [oposisi] tetap punya kesempatan: pertama, menguji ideologi para kader yang beroposisi. Kedua, menunjukkan ke masyarakat bahwa apa pun kebijakan pemerintah harus didiskusikan di ruang publik, jangan serta merta kebijakan pemerintah yang berkuasa harus dilakukan tanpa pemikiran kritis,” kata Anang.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Adapun Lucius menilai anggapan oposisi tak berdaya jika hanya dilakukan 1-2 partai tidaklah benar. Sebab PDIP pernah membuktikannya ketika era SBY dua periode. Menurut Lucius, saat itu PDIP berhasil memainkan peran sebagai oposisi karena bermitra baik dengan publik. Sehingga setelah SBY lengser, PDIP dipercaya sebagai pemenang pemilu 3 kali berturut sejak 2014.
“Kalau berpikirnya kuantitatif soal jumlah kursi di DPR, satu partai melawan tujuh partai lain memang tidak akan seimbang. Tapi kenapa orang sangat berharap PDIP memilih sikap oposisi melawan tujuh partai lainnya? justru karena tahu PDIP cukup aspiratif, punya kemampuan bersama rakyat memperjuangkan sesuatu,” jelas Lucius.
Meski begitu, sebagai pimpinan KIM Plus, Prabowo berkeinginan seluruh partai berada di barisannya pada pemerintahan mendatang. Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, menyatakan upaya merangkul banyak parpol di koalisi bertujuan agar situasi politik berjalan kondusif.
"Supaya pemerintahannya lebih tenang, rakyatnya bisa lebih tenang sehingga pertumbuhan ekonomi lebih baik, pergerakan masyarakat yang lebih baik, lebih optimis, dan lebih yakin menatap masa depan," kata Muzani.
Para ketua umum partai koalisi Jokowi: Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Plt. Ketum PPP Mardiono. Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Anang Sujoko menyebut upaya sharing power memang biasa dipakai presiden terpilih untuk menghindari gangguan di pemerintahan dalam 5 tahun bahkan 10 tahun ke depan. Selain itu, Anang menilai potensi bergabungnya PDIP di koalisi Prabowo merupakan strategi untuk mengurangi pengaruh Jokowi melalui putra sulungnya sekaligus wapres terpilih, Gibran Rakabuming Raka.
“Ketika PDIP ada di dalam [pemerintahan], kemungkinan bisa lebih dekat dengan Prabowo untuk mengendalikan kekuatan Jokowi melalui anaknya. Kalau di luar akan relatif sulit. Bisa jadi ada misi terselubung terkait ‘kontrol’ yang ketat agar si wapres tidak semena-mena,” kata Anang.
Tetapi yang jelas, kata Anang, kemungkinan bergabungnya PDIP di koalisi Prabowo menandakan tidak ada lagi partai yang betul-betul ideologis. Menurutnya, seluruh parpol sudah cenderung mengedepankan pragmatisme transaksional, semisal soal jabatan menteri.
Lucius menilai parpol tergiur bergabung ke pemerintah karena tuntutan bertahan hidup. Sebab pemerintah yang mempunyai akses terhadap APBN. Sumber-sumber kumparan menyebut, PDIP bakal mendapat 2-3 posisi menteri yang akan diisi oleh orang dekat Megawati, Budi Gunawan, serta 2 kader PDIP Azwar Anas dan Olly Dondokambey.
Namun Ketua DPP PDIP Said Abdullah menampik rencana pertemuan Megawati dan Prabowo untuk bagi-bagi kursi menteri.
“Letakkan pertemuan ini untuk menunjukkan bahwa para pemimpin kita adem-adem saja, akur, baik-baik saja, silaturahmi terbangun. Tidak ada tempat bahwa pertemuan itu bagian dari bagi-bagi kursi kekuasaan,” ucap Said.
Prabowo Subianto saat silaturahmi ke rumah Megawati, Senin (2/5/2022). Foto: Dok. Istimewa

Ancaman Matinya Demokrasi

Potensi bergabungnya PDIP ke kabinet Prabowo yang otomatis meniadakan oposisi bisa berdampak tak ada lagi fungsi kontrol terhadap pemerintah. Kondisi ini merupakan ancaman bagi demokrasi.
“Ketika dalam perjalanan ada KIM Plus dan [kemungkinan] ada tambahan lagi PDIP, maka kita patut mengucapkan duka cita yang mendalam terhadap pelaksanaan pemerintahan yang demokratis,” ucap Anang.
Dalam sebuah jurnalnya, Firman Noor berujar, di kehidupan demokrasi, salah satu fungsi utama oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan. Tujuannya agar pemerintah tidak terlalu jauh dari kepentingan mayoritas rakyat. Sehingga menurutnya, mempertahankan oposisi sama seperti mempertahankan demokrasi.
“Makna utama penyeimbang ini mengingat ada kalanya pemerintah yang terpilih secara demokratis akhirnya jatuh menjadi pemerintahan yang melawan kehendak rakyat,” tulis Firman.
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi mogok makan untuk RUU PPRT di depan gedung DPR, Jakarta, Senin (14/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Jika tak ada oposisi, fungsi DPR yang seharusnya berwenang mengawasi kebijakan pemerintah, bisa-bisa hanya bertindak sebagai tukang stempel. Sebab segala kebijakan pemerintah sudah diselesaikan di internal koalisi dan hanya butuh pengesahan oleh DPR.
“Kemungkinan yang akan terjadi gedung dewan hanyalah sebagai rumah untuk tanda tangan. Tidak ada suasana diskusi, tidak ada suasana saling mengkritisi. Di sinilah demokrasi sudah tidak ada,” kata Anang.
“Banyak keputusan penting tidak dibicarakan di ruang rapat DPR, tapi di forum antar partai di koalisi. Ke DPR cuma pergi minta tanda tangan untuk mengesahkan apa yang sudah disetujui oleh koalisi,” timpal Lucius.
Lebih dari itu, menurut Lucius, jika parlemen dikuasai kelompok elite kekuasaan, bakal sulit untuk berharap RUU yang bermanfaat bagi publik, seperti RUU Perampasan Aset maupun RUU PPRT, bisa disahkan. Yang mungkin terjadi justru RUU yang bakal menguntungkan elite bisa mudah disahkan.
“Faktanya di 2019-2024 dengan koalisi yang hampir sama dengan yang akan terbentuk nanti, mereka selalu mendahulukan RUU yang memang untuk urusan atau kepentingan mereka. Untuk urusan yang terkait dengan kepentingan publik, yang baik-baik bagi bangsa, pasti hanya akan jadi janji setiap waktu,” kata Lucius.
Massa aksi makin memadati di depan gedung DPR saat berunjuk rasa menuntut RUU Pilkada, Kamis (22/8/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Jika seluruh parpol bergabung ke pemerintah, ke mana suara kritis rakyat bisa disalurkan?
Anang maupun Lucius memprediksi apabila seluruh saluran kritis ke DPR tertutup, rakyat bakal bergerak dengan caranya sendiri melalui oposisi jalanan.
Lucius menyebut, besarnya kekuatan oposisi jalanan bergantung pada ancaman yang dihadapi masyarakat. Jika koalisi pemerintah bertindak arogan dan sewenang-wenang layaknya Orde Baru, tidak terlalu sulit bagi masyarakat untuk mengkonsolidasi kekuatan.
Contoh terkini adalah aksi massa ‘Indonesia Darurat’ menolak revisi UU Pilkada oleh DPR pada Agustus lalu. Penolakan tersebut terjadi karena DPR berupaya mengakali putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah. Aksi massa di berbagai daerah itu terkonsolidasi secara cepat melalui media sosial.
“Walaupun sudah ada dalam satu koalisi, tapi mereka tidak boleh sangat arogan karena merasa negara ini sudah dalam genggaman, bisa suka-suka melakukan apa pun. Kalau ancamannya semakin nyata, saya kira parlemen jalanan akan muncul menunjukkan kekuatannya,” ucap Lucius.
Anang menyebut kalangan masyarakat sipil dan akademisi bakal terus memantau tindak tanduk pemerintah.
“Kalau misal tiadanya oposisi akan membuat mereka jemawa dengan kekuatannya, sehingga memproduksi kebijakan-kebijakan untuk kepentingan koalisi mereka, sangat mungkin akan terjadi gerakan-gerakan yang akan memunculkan eskalasi. Dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya people power,” tutup Anang.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten