Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Billy Sindoro dan Rumitnya Mengurai Kasus Suap Meikarta
11 Februari 2019 20:04 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sorotan tajam salah satu JPU KPK, Yadyn, tertuju pada Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro . Yadyn mengingatkan bahwa Billy ahli dalam kasus suap-menyuap. Pernyataan Yadyn tak lepas dari rekam jejak kasus suap yang sempat membelit Billy.
"Ia itu residivis dalam kasus suap, makanya punya keahlian dalam penyuapan," ucap Yadyn kepada pewarta usai persidangan kasus dugaan suap Meikarta, di Pengadilan Negeri Tipikor Bandung, Senin (11/2).
Pernyataan Yadyn merujuk pada kasus Billy sebelumnya. Pada 2008, Billy menjadi terpidana kasus suap Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Iqbal. Billy yang saat itu merupakan Komisaris PT. Bank Lippo terbukti menyuap Rp 500 juta kepada Iqbal agar hak siar Premier League (Liga Inggris) tak berpindah ke Aora TV.
ADVERTISEMENT
Meikarta merupakan proyek garapan Lippo Cikarang, anak perusahaan Lippo Group. Oleh karena itu, kata Yadyn, KPK harus lebih dulu mengkaji kasus tersebut sebelum menelusuri suap proyek Meikarta. Saat ini, KPK tengah meninjau pola penyuapan yang pernah Billy lakukan.
“Sepertinya Billy belajar dari kasus sebelumnya. Ia itu sangat teliti untuk melibatkan dirinya dalam kasus ini," lanjut Yadyn.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah pun mengakui betapa rumitnya mengurai aliran suap Meikarta. Sebab, ditemukan beragam metode yang dilakukan sejumlah pihak untuk membuat bias tindak suap agar izin Meikarta mulus.
Menurut Febri, rumitnya aliran suap dalam kasus Meikarta ini berawal dari sandi-sandi yang digunakan pihak tertentu saat berkomunikasi, seperti 'Tina Toon', 'Windu', hingga 'Babe'. Selain itu, perantara yang dilibatkan baik dalam menyampaikan pesan dan mengirim uang yang dijanjikan, dirancang dengan sebaik-baiknya.
ADVERTISEMENT
"Baik dari banyak perantara seperti yang muncul di sidang hari ini ataupun penggunaan sandi-sandi yang cukup kompleks, baik sandi nama, tempat, ataupun nama orang," kata Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (23/1).
Teraktual, sopir pribadi terdakwa Henry Jasmen P. Sitohang, Achmad Bahrul Ulum, menyebut sandi 'indomie'. Kode tersebut muncul karena uang yang dikirimkan kepada sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi dimasukkan ke dalam kotak dus salah satu merek mie instan tersebut.
Di persidangan, jaksa juga mencecar Achmad dengan sederet pertanyaan soal kode-kode diduga suap yang bertebaran. Saat 'Babe' dilontarkan jaksa, Achmad mengaku tahu bahwa sandi itu untuk Billy. Ketika pengacara Billy bertanya dari mana Achmad mengetahui Babe adalah nama samaran Billy, Achmad menjawab hanya dari penalarannya saja.
ADVERTISEMENT
Hal itulah yang kini tengah menjadi pekerjaan rumah KPK. Berbekal penyelidikan selama hampir satu tahun, surat dakwaan, hingga keterangan saksi, penyidik tengah berupaya mengungkap satu per satu peran serta keterkaitan satu pihak dengan pihak lainnya dalam perkara ini.
KPK kini telah menetapkan 9 orang sebagai tersangka. Sebagai pihak diduga pemberi suap, yaitu Billy selaku Direktur Operasional Lippo Group, Taryudi selaku konsultan Lippo Group, Fitra Djaja Purnama selaku konsultan Lippo Group, dan Henry Jasmen selaku pegawai Lippo Group.
Sementara sebagai pihak diduga penerima, yaitu Neneng Hasanah Yasin selaku Bupati Bekasi, Jamaludin selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Sahat MBJ Nahor selaku Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi, Dewi Tisnawati selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPM-PPT) Kabupaten Bekasi, dan Neneng Rahmi selaku Kepala Bidang tata ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
ADVERTISEMENT
Billy dan tiga orang lainnya didakwa memberikan suap belasan miliar rupiah kepada Neneng Hasanah dan sejumlah pejabat Pemkab Bekasi untuk melicinkan perizinan Meikarta. Total suap yang diberikan adalah sebesar Rp 16.182.020.000 dan SGD 270.000 atau sekitar Rp 2.174.949.000 (Kurs Rp 10.507). Khusus untuk Neneng Hasanah, ia disebut menerima suap sejumlah Rp 10.830.000.000.