Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Bisakah Kita Menyebut Pembantaian di Las Vegas Sebagai Terorisme?
6 Oktober 2017 13:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB

ADVERTISEMENT
Stephen Craig Paddock berusia 64 tahun ketika ia menghabisi hidup 59 orang lain, Minggu (1/10) lalu. Ia menghujani para penonton konser musik country Route 91 Harvest Festival dengan ratusan peluru dari sebuah kamar di lantai 32 hotel-kasino Mandalay Bay.
ADVERTISEMENT
Jarak yang mencapai 300-an meter tak menjadi masalah bagi aksi Paddock. Ia punya 23 senjata api, dari yang berjenis revolver hingga senjata laras panjang semi-otomatis AR-15.
Dan tak hanya satu: ia punya tiga AR-15, sebuah AK-47, dan sebuah senapan lain dengan kaliber 0.038. Belum lagi teleskop yang terpasang pada senapan AR-15, dan duopod yang menyangga senapan tersebut di sisi jendela, membuat Paddock mudah saja mengenai sasaran meski jaraknya terbentang jauh dari posisinya berlindung.
Recoil yang muncul juga tertahan oleh “bump stock”, alat yang justru memanfaatkan recoil senapan itu dan membuatnya mampu menembakkan peluru layaknya senjata fully-automatic. Belum lagi, target pembantaian yang bergerak secara bergerombol, awalnya tak sadar bahwa suara letupan yang berentet adalah suara tembakan: mereka mengira suara tersebut dihasilkan oleh kembang api.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun puluhan orang tak berdosa tewas. Paddock, yang disebut pihak kepolisian hendak melarikan diri setelah melakukan penembakan, memilih untuk bunuh diri saat hendak digerebek kamar persembunyiannya. Kabar baik datang dari mereka yang terluka: 317 dari 489 korban luka sudah bisa meninggalkan rumah sakit.

Namun kegeraman masyarakat tak berhenti hanya soal banyaknya korban tewas. Mereka tak terima saat banyak media luar memberitakan peristiwa ini dengan hanya sebatas “massacre” yang artinya pembantaian, atau bahkan hanya dengan kata “attack”.
Publik menilai, media mainstream ini telah melakukan bias dalam pemberitaan mereka: hanya karena pelaku adalah kulit putih, maka serangan itu tak disebut dengan serangan teror?
Mereka lantas membandingkan, bahwa apabila yang melakukannya adalah seorang Muslim, pemerintah akan langsung menyebutnya teror. Namun, apabila yang melakukannya adalah kulit putih, mereka akan disebut “mentally ill”.
ADVERTISEMENT
Tapi, apakah sudah tepat apabila kita menyebut pembantaian di Las Vegas ini sebuah aksi terorisme?

Namun sebelumnya, untuk menyebut sebuah peristiwa adalah sebuah kejadian terorisme atau bukan, kita harus kembali ke definisi terorisme itu sendiri. Masalahnya, menyepakati satu definisi apa itu terorisme saja susahnya bukan main.
Sebagai perspektif, berbagai cabang di pemerintahan federal AS --dari Homeland Security, FBI sampai Kementerian Pertahanan-- semuanya memiliki definisi terorisme yang berbeda. Karut-marut itu berlanjut hingga CIA, NATO, sampai PBB yang juga tak sepakat dengan satu definisi yang sama soal terorisme.
Definisi Terorisme oleh Central Intelligence Agency (CIA)
Pada Title 22 of the US Code, Section 2656f(d)
ADVERTISEMENT
Definisi Terorisme oleh Department of Homeland Security (DHS)
Pada Bagian 2 dari Homeland Security Act 2002:
The term ‘‘terrorism’’ means any activity that— (A) involves an act that— (i) is dangerous to human life or potentially destructive of critical infrastructure or key resources; and (ii) is a violation of the criminal laws of the United States or of any State or other subdivision of the United States; and (B) appears to be intended— (i) to intimidate or coerce a civilian population; (ii) to influence the policy of a government by intimidation or coercion; or (iii) to affect the conduct of a government by mass destruction, assassination, or kidnapping.
Definisi Terorisme oleh Federal Bureau of Investigation (FBI)
ADVERTISEMENT
The unlawful use of force or violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives.
Definisi Terorisme oleh North Atlantic Treaty Organization (NATO)
The unlawful use or threatened use of force or violence against individuals or property in an attempt to coerce or intimidate governments or societies to achieve political, religious or ideological objectives.
Definisi Terorisme oleh PBB
Negara baru sebatas menyetujui bahwa definisi tunggal adalah kebutuhan penting bagi negara-negara. Namun definisi itu sendiri belum ada.
Definisi Terorisme oleh Patriot ACT
SEC. 802. DEFINITION OF DOMESTIC TERRORISM. DOMESTIC TERRORISM DEFINED.—Section 2331 of title 18, United States Code, is amended— (1) in paragraph (1)(B)(iii), by striking ‘‘by assassination or kidnapping’’ and inserting ‘‘by mass destruction, assassination, or kidnapping’’; (2) in paragraph (3), by striking ‘‘and’’; (3) in paragraph (4), by striking the period at the end and inserting ‘‘; and’’; and (4) by adding at the end the following: ‘‘(5) the term ‘domestic terrorism’ means activities that— (A) ‘involve acts dangerous to human life that are a violation of the criminal laws of the United States or of any State; (B) ‘‘appear to be intended— (i) ‘‘to intimidate or coerce a civilian population; (ii) ‘‘to influence the policy of a government by intimidation or coercion; or (iii) ‘‘to affect the conduct of a government by mass destruction, assassination, or kidnapping; and (A) ‘‘occur primarily within the territorial jurisdiction of the United States.’’. (a) CONFORMING AMENDMENT.—Section 3077(1) of title 18, United States Code, is amended to read as follows: (1) ‘‘‘act of terrorism’ means an act of domestic or international terrorism as defined in section 2331;’’.
ADVERTISEMENT
Pada intinya, seperti yang disebut oleh Randall Law, penulis Terrorism: A History (2009), “...adalah benar bahwa tak ada yang benar-benar sepakat tentang bagaimana mendefinisikan terorisme.”
Namun begitu, bukan berarti sama sekali tak ada usaha untuk menuju ke arah kesatuan definisi bagi terorisme. Dan salah satu yang paling komprehensif dalam menentukan definisi yang susah bukan main tersebut adalah Boaz Ganor, dekan Lauder School of Government and Diplomacy at the Interdisciplinary Center, sekaligus penulis The Counter-Terrorism Puzzle: A Guide for Decision Makers (2005).
Ganor menyebut, bahwa terorisme adalah “...a form of violent struggle in which violence is deliberately used against civilians in order to achieve political goals (nationalistic, socioeconomic, ideological, religious, etc.)."
ADVERTISEMENT
Terorisme, berdasarkan definisi yang diajukan Ganor, adalah “bentuk perjuangan yang kasar, di mana kekerasan dengan sengaja digunakan terhadap pihak sipil untuk mencapai tujuan politis (baik tujuan nasionalistik, sosioekonomi, ideologis, relijius, dan lainnya).”
Lalu berdasarkan definisi tersebut, apakah pembantaian yang dilakukan Paddock masuk dalam kerangka terorisme?
Meskipun dari beberapa definisi yang dijajarkan selalu berbeda-beda, satu elemen yang sama dan selalu ada adalah “motif politik di belakang setiap aksi”. Kata-kata “politically motivated”, “influence the policy of a government”, “political or social objectives”, “political, religious or ideological objectives”, dan “to influence the policy of a government” selalu hadir dalam definisi tersebut. Pertanyaannya, apakah Paddock punya tujuan politik, sosial, ataupun tujuan mempengaruhi kebijakan pemerintah tertentu?
ADVERTISEMENT
Pembantaian Paddock adalah Enigma
Masalahnya, Stephen Paddock adalah enigma. Ia adalah teka-teki, tidak jelas, dan misterius pada saat yang bersamaan. Sebelum polisi bisa menangkap dan menginterogasinya, ia memilih untuk meledakkan kepalanya sendiri.
Sampai saat ini, penyelidikan polisi tak menemukan kaitan Paddock dengan organisasi terorisme --baik di dalam maupun di luar AS. Paddock, seperti yang diucapkan adiknya, Eric Paddock, maupun yang disebutkan kekasihnya, Marilou Danley, adalah laki-laki yang hidup dalam damai.
Erick dan Marilou mengakui bahwa kerabat mereka itu adalah orang yang berkecukupan. Eric berujar kakaknya merupakan seorang miliuner, dan bahkan memiliki dua buah pesawat dengan mesin tunggal. Ia tinggal di Nevada di sebuah komunitas mereka yang telah pensiun. Sebelumnya ia tinggal di Texas, namun, kecintaannya terhadap judi mendorongnya pindah ke pinggiran Nevada yang hanya satu jam berkendara mobil ke Las Vegas.

Kecintaannya terhadap judi ini menjadi kegiatan satu-satunya setelah pensiun. Pada tetangga-tetangganya, ia mengatakan memiliki pekerjaan sebagai “pemain poker profesional”.
ADVERTISEMENT
“Tidak ada yang terlihat marah di lingkungan ini. Semua orang terlihat bahagia, semua orang menyapa satu sama lain,” ucap salah satu tetangganya di Mesquite, Nevada, seperti dikutip dari The Nevada Independent. “Hidup di komunitas seperti ini, Anda tak akan memikirkan kemungkinan itu. Ini benar-benar tak bisa dipercaya.”
“Dia sama sekali tak terlibat dengan organisasi politik ataupun organisasi keagamaan,” ucap Eric Paddock, seperti dilansir ABC. Eric sadar kakaknya memang memiliki beberapa senjata. “Laras panjang, memang, tapi bukan yang otomatis,” sebut Eric.
Pertanyaan soal motif ini semakin merumit ketika ISIS mengklaim berada di belakang serangan Paddock tersebut. ISIS mengatakan, Paddock telah menjadi mualaf enam bulan sebelum peristiwa itu terjadi.
Ini jelas aneh, mengingat, apabila benar Paddock adalah rekrutan baru ISIS, ia akan menjadi rekrutan tertua dalam 10 tahun terakhir --aksi yang tak pernah dilakukan dan melawan logika tren rekrutmen ISIS.
ADVERTISEMENT
FBI pun langsung menolak anggapan tersebut. "Seiring terungkapnya masalah ini, sampai titik ini tidak ada hubungannya (pelaku) dengan kelompok teroris internasional," sebut FBI.
Pelacakan latar belakang Paddock juga tak menemukan afiliasi dengan kelompok ekstrem, baik kanan maupun kiri. Selain itu, ia juga tak pernah tergabung dengan kelompok kebencian yang menyasar etnis maupun ras.
Target pembantaiannya pun random, tak seperti serangan ke masjid-masjid oleh kelompok White Supremacist yang jumlahnya lebih sering terjadi ketimbang serangan teror mereka yang muslim ke AS. Serangan tersebut, yang kerap didorong ketergabungan kelompok kebencian dan membuat banyak pihak di AS kelu untuk menyebutnya sebagai serangan teroris, lebih banyak menarget kelompok, etnis, atau ras tertentu.
Tergabung ke dalam kelompok-kelompok tersebut kerap mampu mendorong orang untuk melakukan hal-hal tak terbayangkan. Namun dalam kasus ini, mencoba menghubungkan pembantaian yang dilakukannya dengan keterlibatan salah satu kelompok maupun motif rasis dan xenophobic adalah usaha yang sia-sia.

Teka-teki terkait motif Paddock ini terus berlanjut. Menimbang tren dari mereka yang kerap melakukan penembakan massal, Paddock menjadi luaran di antara kecenderungan ratusan pelaku yang pernah melakukan pembantaian. Umurnya sudah 64 tahun, tak seperti mereka yang masih muda ketika melakukan pembantaian massal dengan senjata api.
ADVERTISEMENT
Beberapa kriminalitas berprofil tinggi lain juga kerap berlatar belakang oleh penderitaan di sepanjang hidup yang mendorong seseorang melakukan satu aksi kriminal final yang menjadi pembalasan dendam. Masalahnya, tak tampak ada masalah dalam kehidupan Paddock. Ia kaya, hidup damai, dan tak punya riwayat kriminal. Saat membeli beberapa senjata di awal tahun ini, Paddock lolos cek riwayat kriminal. Beberapa orang yang frustrasi juga kerap melakukan kriminalitas untuk menarik perhatian. Namun, Paddock tak masuk dalam kelompok tersebut.
Lalu, usaha paling mudah dalam memahami kejadian yang sulit untuk dinalar alasannya, orang-orang biasa melabeli tindakan seseorang dengan label “gila”. Ia disebut “mentally ill”. Seperti yang dilakukan Donald Trump dalam komentarnya Selasa (3/10).
“Dia orang yang sakit, seseorang yang gila,” ucap Trump. Namun, apakah anggapan ini benar untuk menjelaskan pembantaian yang dilakukan Paddock?
ADVERTISEMENT
Jawabannya adalah tidak. Tak ada sama sekali bukti yang menyebut Paddock punya riwayat atau keluhan penyakit kejiwaan. Bahkan, kalau iya pun, kaitan antara kesehatan mental dan kekerasan dengan senjata api sangat kecil korelasinya.
Menurut American Journal of Public Health di 2015, tak ada bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa orang dengan penyakit jiwa akan lebih cenderung melakukan kejahatan dengan senjata api. “Kurang dari 3 persen kriminalitas di AS melibatkan orang-orang dengan penyakit jiwa. Dan dalam kriminalitas yang menggunakan senjata api pun, persentase jumlah orang yang sakit jiwa juga lebih rendah ketimbang yang tidak,” jelas jurnal tersebut.

Media AS kerap bias dalam memberitakan serangan yang dilakukan orang kulit putih mungkin memang benar adanya. Peristiwa seperti Jeremy Christian yang menusuk dua Muslim di kereta di Oregon Mei lalu jelas aksi terorisme dengan motif agama dan ras yang ia serukan. Juga dengan Dylann Roof yang membunuh sembilan orang kulit hitam di South Carolina, 2015, yang juga jelas merupakan aksi terorisme.
ADVERTISEMENT
Namun, untuk menyebut Paddock yang tak punya pesan, motif politik, keterlibatan kelompok kepentingan sebagai aksi terorisme? Suatu saat nanti, ketika penyelidikan lebih lanjut menemukan bukti yang sahih, mungkin iya. Tapi tidak untuk saat ini.