Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Setyo Eko bingung dengan dirinya sendiri. Aparat desa di Purworejo itu heran apakah dia telah dihipnotis atau dicuci otak, sehingga mau-maunya bergabung dengan Keraton Agung Sejagat yang membuatnya kehilangan duit Rp 8,5 juta. Ketika itu, narasi agung kerajaan bentukan Toto Santoso mengalahkan nalarnya.
Setyo Eko Pratolo betul-betul menyesali keputusannya. Lelaki 58 tahun itu malu dan merugi gara-gara bergabung dengan Keraton Agung Sejagat . Apalagi Eko merupakan Kepala Seksi Pemerintahan Desa Pogung Juru Tengah, Purworejo. Walhasil, dia mendapat sorotan lebih banyak dari masyarakat sekitar ketimbang anggota keraton yang lain.
Di desa Eko itulah Keraton Agung Sejagat berdiri. Eko lantas menceritakan pengalamannya menjadi pengikut Keraton. Berbicara lirih sembari duduk di kursi kayu halaman rumahnya, Eko beberapa kali menghela napas seraya menahan air mata.
Eko kadung tertipu oleh Toto Santoso, pria yang menahbiskan diri sebagai Raja Keraton Agung Sejagat. Kepada Bendahara Keraton bernama Sarwono yang juga warga desa itu, Eko menyetorkan uang sekitar Rp 8,5 juta. Duit tersebut semula ia harapkan bakal kembali berlipat ganda. Namun ia curiga uang itu kini raib, sebab Sarwono tak pernah terlihat lagi, sedangkan Raja dan Ratu Keraton malah diciduk aparat.
“Uang segitu saya pinjamkan (ke Keraton). Akhirnya kayak gini, apa enggak pusing saya?” ucap Eko kepada kumparan di Purworejo, Kamis (16/1).
Menurutnya, duit Rp 8,5 juta itu digunakan antara lain untuk mendaftar menjadi anggota Keraton sejumlah Rp 2 juta, membeli seragam Keraton Rp 2-3 juta, kirab dan sidang Keraton Rp 2,3 juta, dan konsumsi serta buku panduan senilai Rp 2 juta.
Besaran biaya pendaftaran, tutur Eko, akan memengaruhi jabatan seseorang di kerajaan tersebut. Eko yang menyetor Rp 2 juta saat mendaftar, berhak mendapat pangkat bintang tiga atau setara dengan letnan jenderal.
“Bintang satu harganya segini, bintang dua segini, bintang tiga segini. Bodohnya (saya) karena memang tidak paham,” ujar Eko.
Ada empat kelompok bintang yang bisa dipilih setiap anggota Keraton Agung Sejagat. Bintang empat, tingkatan tertinggi, hanya diisi sekitar 14 orang. Mereka berhak atas jabatan resi alias penasihat kerajaan.
Sementara bintang tiga, dua, dan satu, belum mendapat posisi spesifik. Rencananya, pembagian peran antara ketiga level bintang itu akan dilakukan usai sidang kerajaan pada 11-12 Januari 2020, bersamaan dengan jadwal pencairan gaji pertama mereka.
Apa boleh buat, sidang keraton yang ditutup dengan konferensi pers deklarasi keraton justru menjadi awal huru-hara. Dua hari kemudian, Selasa (14/1), Raja dan Permaisuri Keraton Agung Sejagat ditangkap polisi. Mereka dituding berbuat onar, menebar kebohongan, dan menipu. Keduanya dijerat Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 378 KUHP.
Eko pun batal menjadi letnan jenderal seperti yang ia angankan.
Eko sebetulnya sudah mengendus bau busuk Keraton Agung Sejagat sejak akhir 2019 atau sebulan sebelum Sidang Keraton. Ia, misalnya, merasa legalitas Keraton tidaklah jelas. Itu sebabnya ia sempat ingin keluar, namun entah kenapa selalu urung terlaksana.
“Saya sendiri merasakan apakah ini yang namanya hipnotis, cuci otak, atau apa?” kata Eko. Ia seolah kebingungan dengan kondisinya sendiri yang tak bisa memutuskan hengkang dari Keraton meski dalam hati ingin melakukannya.
Kecurigaan Eko pada Keraton Agung Sejagat memuncak ketika sang raja yang disebut “Sinuhun” alias “Baginda” itu menyebut hal-hal yang menurutnya di luar logika saat sidang berjalan, dari mulai status Keraton Agung Sejagat yang membawahi Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai kedudukan Keraton yang menguasai seluruh dunia.
Eko jadi terheran-heran. “Pertama, kok bisa sampai mendunia? Kerajaan (kok katanya) menguasai negara-negara? Kedua, yang ikut Sidang (Keraton saat itu) nanti akan mendapat gaji. Sumber dananya dari mana?” Eko benar-benar tak habis pikir.
Usai Sidang Keraton pada Minggu (12/1), Eko langsung menanggalkan seragamnya dan bergegas pulang. Sampai di rumah, dia tak bisa tidur. Apalagi bila teringat jawaban Toto kepada para wartawan yang khusus diundang untuk menyaksikan deklarasi Keraton.
Dalam sesi tanya jawab dengan wartawan, empat kali Toto ditanya tentang sikapnya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jawaban yang diberikan Toto, menurut Eko, seolah tidak mengakui NKRI.
“Jawaban itu bikin saya panas. Saya ngelus dada. Makanya, ya sudah, pada dasarnya saya ini tertipulah,” kata Eko, menyesali diri.
Apa sih sesungguhnya yang membuat Eko sampai terperdaya dengan Keraton Sejagat?
Ini rupanya ada kaitannya dengan organisasi terdahulu bentukan Toto yang bernama Jogja Development Economic Committee (DEC). Tahun 2015, Eko pernah diajak oleh atasannya di kantor desa dulu, Chikmawan, untuk bergabung dengan Jogja DEC yang menyebut diri sebagai organisasi kemanusiaan dan pemberdayaan ekonomi.
Diiming-imingi upah tinggi dalam kurs mata uang asing, Eko pun bergabung, namun sebagai anggota pasif. Jogja DEC mengklaim memiliki pendanaan dari Esa Monetary Fund (ya, EMF kata mereka, bukan IMF yang International Monetary Fund).
EMF itu, kata mereka lagi, adalah badan keuangan tunggal dunia yang berkantor pusat di Swiss. Negeri yang dikenal dengan kerahasiaan bank-banknya itu memang sering disebut-sebut sebagai lokasi penyimpanan harta raja-raja nusantara, meski hal tersebut tak pernah dapat dibuktikan.
Seingat Eko, Jogja DEC eksis sampai 2017. Berdasarkan penelusuran kumparan, Jogja DEC sempat mendirikan cabang di sejumlah daerah, antara lain Lampung Tengah dan Aceh Tengah. Di daerah-daerah itu, DEC menjanjikan ribuan lowongan pekerjaan dan gaji besar bagi orang-orang yang bergabung. Namun Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah kemudian melarang organisasi itu.
Eko sendiri belum sempat menerima imbal hasil dari Jogja DEC karena lembaga itu keburu tutup usia lantaran program-programnya mandek sebab kekurangan anggota.
Lepas dari Jogja DEC, Eko berjumpa Sunda Empire yang punya kemiripan pola dengan Jogja DEC dan Keraton Agung Sejagat. Bagaimana tidak, sebab ketiganya sama-sama menyinggung aliran dana dari bank di Swiss—negara yang kata mereka menjadi basis Esa Monetary Fund, sumber dana organisasi-organisasi tersebut.
Salah satu akun Twitter atas nama Esa Monetary Fund Nusantara bahkan mencantumkan deskripsi “Sunda Empire, Earth Empire”.
Eko tak berminat bergabung dengan Sunda Empire—yang ternyata pernah diikuti oleh Toto Santoso sang Raja Keraton Agung Sejagat. Berikutnya, muncul pula World Empire. Eko kembali tak tertarik.
Tahun berikutnya, 2018, beredar kabar soal Keraton Agung Sejagat di grup WhatsApp Jogja DEC. Eko lagi-lagi diajak bergabung.
“Saya dihubungi lagi, diajak. Keraton Agung Sejagat itu (isinya) dari anggota-anggota Jogja DEC dulu. Banyak (mantan anggota Jogja DEC) yang enggak ikut (karena sebelumnya di Jogja DEC tidak menghasilkan apa-apa),” terang Eko.
Ia menyebut sistem penjaringan anggota Keraton Agung Sejagat mirip skema multilevel marketing (MLM). Nah, kali ini Eko tergiur. Sebab selain gaji, dia juga dijanjikan pangkat.
Meski demikian, Eko mengatakan bahwa faktor ekonomi adalah alasan utamanya untuk bergabung dengan Keraton Agung Sejagat (KAS). Selama ini Eko hidup pas-pasan dari gaji perangkat desa dan hasil bertani. Oleh sebab itu ia mengiyakan ajakan bergabung dengan KAS sebagai sampingan. Setidaknya, semula ia menganggap KAS bisa menjadi sumber penghasilan tambahan.
Toto Santoso, Raja Keraton Agung Sejagat, di mata Eko adalah sosok meyakinkan. Sang Sinuhun mampu mengalirkan narasi dengan penuh percaya diri, tanpa terdengar sedikit pun keraguan pada nada bicaranya. Wajar saja bila kemudian banyak orang terbius ucapan Toto. Setidaknya, 450 orang pengikut KAS “terhipnotis” olehnya.
“(Toto) menyampaikan bahwasanya dalam Kitab Jayabaya itu, di Purworejo akan ada keraton. Di (bagian) mana Purworejo (disebut) Bagelen. Jadi cocok, nyambung,” kata Eko soal cocoklogi yang dilakukan Toto untuk menjaring pengikut.
Bagelen yang kini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Purworejo, dulu adalah pusat pemerintahan wilayah sebelum Purworejo didirikan oleh Hindia Belanda. Dahulu kala, Begelen di selatan Purworejo punya nama Pegelen alias Medanggele alias Medang Kamulan—kerajaan yang konon ada di Jawa Tengah.
Guru besar Arkeologi UI Agus Aris Munanadar, mengingatkan masyarakat untuk tak langsung percaya omongan Toto yang menyangkutpautkan Keraton Agung Sejagat dengan Majapahit maupun ramalan kerajaan baru di Purworejo.
“Itu yang disebut pseudohistory. Sejarah dikarang-karang sebagai pembenaran aja,” kata Agus.
Segala urusan keraton ini akhirnya berbuah pahit bagi Eko. “Saya sadar saya tertipu. Tapi mau berontak, mau ngucap bicara, saya enggak bisa. Semua (anggota) merasakan hal seperti itu,” ujarnya.
Eko juga saat ini hilang kontak dengan Chikmawan, mantan rekannya di kantor desa yang mengenalkannya dengan organisasi Toto Santoso.
Chikmawan, menurut Eko, cukup dekat dengan Toto. Keduanya kerap terlibat dalam beberapa obrolan. Eko memandangnya wajar, karena Chikmawan menjabat sebagai resi atau orang suci di Keraton. Resi Djoyodiningrat adalah nama Chikmawan yang semula hanya diketahui oleh kalangan internal kerajaan.
Keberadaan Chikmawan masih simpang siur hingga kini. Ibunya tak tahu-menahu, sementara beberapa orang lain bilang ia masih di kepolisian, dan yang lain lagi menyebut dia sudah pulang ke rumahnya. Rumah Chikmawan itulah yang menjadi bangunan Keraton Agung Sejagat dan kini dikerumuni masyarakat yang penasaran dengan isinya.
Warga Desa Pogung Juru Tengah menyebut para anggota Keraton Agung Sejagat cenderung tertutup. Dari sekitar 450 pengikut Keraton, ujar warga, hanya empat yang berasal dari desa tersebut. Sisanya berasal dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bantul, Imogiri, Gunungkidul, bahkan Lampung.
Ada pula pengikut Keraton yang kemudian memilih keluar. Mereka inilah yang kemudian berbicara terbuka kepada warga. Rata-rata merasa sakit hati karena uangnya tidak kembali.
Sementara Bupati Purworejo Agus Bastian yang sempat senang karena Keraton Agung Sejagat menaikkan pamor wilayahnya, kini menerjunkan tim bersama Polda Jawa Tengah untuk menelusuri unsur penipuan Keraton tersebut.
Dari hasil penelusurannya, ada sekitar 60 hingga 70 orang yang terlibat Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Mereka datang dari ragam latar belakang, namun didominasi usia 40 tahun ke atas.
“Enggak main-main. Ada ASN, guru, purnawirawan,” kata Agus kepada kumparan.
Ia menambahkan, “(Mereka) tentunya (seharusnya) sudah mengerti dan sudah bisa mencerna apakah (Keraton Agung Sejagat) itu betul atau tidak. Tapi kehebatan dari Pak Toto Santoso ini memang mampu meyakinkan para pengikutnya.”
Sosiolog UGM Suprapto menjelaskan, masyarakat dalam strata apa pun memang bisa saja teperdaya oleh kelompok semacam Keraton Agung Sejagat atau Sunda Empire dan empire-empire lain.
Secara sosial, individu berpendidikan tinggi dan berekonomi mapan tak terjamin bebas dari bujuk rayu orang seperti Toto Santoso.
“Mereka yang bisa diajak dalam kelompok-kelompok tersebut adalah yang secara psikologis tidak dewasa. Emotional quality-nya rendah meskipun (memiliki) IQ tinggi,” kata Suprapto.
Kemunculan Keraton Agung Sejagat , lanjutnya, juga wujud dari teori struktur sosial bahwa manusia akan selalu berusaha mencapai ambang batas yang untuk mencapainya dibutuhkan harta dan takhta. Pada titik ini, jika cara wajar ditempuh, itu artinya mereka belajar dan bekerja. Namun bila tidak, maka cara-cara menyimpang bermunculan.