Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan mengamandemen terbatas UUD 45 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menuai sejumlah kritik. Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai upaya membangkitkan GBHN ini sudah tidak relevan dengan kondisi ketatanegaraan saat ini.
GBHN yang merupakan peninggalan produk Orde Baru itu dianggap hanya akan membayangi langkah Presiden Jokowi dalam menjalankan program pembangunan. Seperti apa kritik yang dimaksud?
Wacana sejumlah fraksi untuk menghidupkan kembali GBHN dan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara memunculkan berbagai spekulasi di masyarakat. Mulai dari anggapan pemerintahan kembali pada era Orde Baru alias antidemokrasi hingga muncul kekhawatiran GBHN justru mengekang presiden.
GBHN pernah tertuang dalam UUD 1945 dan ditetapkan oleh MPR. Namun, pada amandemen ketiga November 2001, fungsi MPR diubah salah satunya tidak lagi menetapkan GBHN, sehingga otomatis GBHN dihapuskan.
Sebagai gantinya, MPR berfungsi hanya menetapkan UU. GBHN digantikan dengan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang dikeluarkan oleh DPR. UU 25/2004 mengatur tentang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) skala 20 tahun dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) skala 5 tahun.
Namun saat ini UU 25/2004 itu dianggap tidak bisa menyeleraskan pembangunan pusat dan dearah. Otonomi daerah yang ada membuat kebijakan daerah berbeda sehingga diperlukan satu pedoman yang menjadi acuan bukan hanya kepemimpinan nasional, namun juga pegangan bagi pemda-pemda, yakni GBHN.
Menanggapi spekulasi itu, Ketua MPR Zulkifli Hasan menegaskan amandemen yang rencananya dilakukan bersifat terbatas yakni khusus Pasal 3 UUD 45, yang mengatur kewenangan MPR tentang GBHN. Tidak ada amandemen yang berhubungan dengan pemilihan dan pemberhentian presiden, juga tidak ada unsur-unsur yang mengarah pada pemberangusan demokrasi.
“(Presiden) enggak ada pertanggungjawaban ke MPR. Ya kan cuma model GBHN saja. Enggak ada yang lain. Pertanggungjawaban tetap, enggak ada yang diubah,” kata Zulkifli Hasan saat ditemui di Gedung MPR pada Rabu (21/8).
Meski begitu, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai upaya mengembalikan GBHN ke dalam sistem perundangan Indonesia tidak relevan. Menurut Bivitri, GBHN merupakan bentuk mandat MPR kepada presiden.
“Yang memilih presiden itu sudah kesekian kalinya rakyat sendiri, bukan MPR. Nah, jadi kan nggak ada lagi mandat yang harus diberikan oleh MPR kepada presiden. Lah, presidennya dipilihnya oleh rakyat kok,” ujarnya saat dihubungi kumparan pada Kamis (22/8).
“Dalam arti presiden itu kan dalam sistem presidensial harus diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan negara ini. Jadi kalau dia disetir dengan sebuah GBHN, dia nggak punya ruang yang cukup untuk menyelenggarakan negara ini,” tambah Bivitri.
Berikut petikan lengkap wawancara kumparan dengan Bivitri:
Bagaimana pendapat Anda soal wacana menghidupkan kembali GBHN, padahal sudah ada RPJP? Urgensinya apa?
Kalau saya sih melihatnya tidak ada urgensi sama sekali, jadi posisi saya memang tidak setuju. Karena kalau memang ada kebutuhan soal haluan negara kita sudah punya RPJP, kita sudah punya UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional No 25 Tahun 2004 itu. Jadi urgensinya nggak ada sama sekali, nah kalau misalnya dengan kondisi bahwa kita sebenarnya sudah punya haluan negara itu jadi pertanyaan kemudian, gunanya GBHN itu apa? Karena GBHN dalam konsep yang lama adalah mandat dari MPR kepada presiden karena presiden dipilih oleh MPR (dulu sistemnya semi parlementer) sebelum amandemen 1999 dan 2002. Nah jadi presiden dipilih oleh MPR, kemudian MPR memberikan mandatnya dalam bentuk GBHN tadi.
Kemudian presiden bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya kalau melanggar haluan negara, itu yang terjadi pada Gusdur kemudian juga Sukarno yang dianggap tidak bisa bertanggung jawab ke MPR. Nah dengan sistem kita yang sekarang presidennya tuh dipilih langsung oleh kita semua bukan dari MPR. Jadi dokumen GBHN itu tidak dibutuhkan, toh presiden juga ngga bisa dijatuhkan di tengah masa jabatan karena alasan politik harus dengan alasan hukum. Nah jadi memang tidak relevan lagi GBHN sekarang itu.
Saya punya dugaan kuat, dan ini muncul juga saat saya diskusi dengan orang-orang PDIP. Ada romantisme terhadap GBHN yang dulu dimiliki, terutama yang dibuat oleh Soekarno pada masa demokrasi terpimpin. Jadi romantisme ini terlihat dari ujaran orang-orang PDIP yang bilang wah kita butuh haluan negara seperti zaman Sukarno dulu clear banget, dibuat oleh para ahli. Pertanyaan adalah apakah segala kesinambungan dan kebaikan yang mungkin terjadi pada masa Sukarno ataupun masa Soeharto itu semata-mata karena dokumen yang bernama GBHN? Menurut saya sih kita lompat kesimpulannya kalau pada sampai kesimpulan itu. Karena sebenarnya faktornya kan banyak dan salah satunya yang paling penting baik Sukarno maupun Soehato itu memimpinnya lama. Sukarno sendiri modelnya demokrasi terpipmpin, sebenarnya otoriter in a way.
Sebagai contoh pada masa Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun arah pembangunan kita satu aja dan stabil, faktornya bukan karena GBHN, tapi karena selama itu kita nggak ganti presiden, Soeharto terus. Dan faktor keduanya karena gaya kepemimpinan dia yang ternyata di permukaan aja stabilnya toh dibawah banyak sekali chaos-nya.
Jadi dengan balik ke GBHN, menurut saya kayak ilusi aja menurut saya. Karena dibayangkan oleh para pendukung ini bahwa kita itu sekarang kacau pemerintahannya karena kita nggak punya haluan negara. Menurut saya tidak seperti itu, sekali lagi dulu itu faktornya bukann karena GBHN, tapi faktor dari seorang pemmimpin yang otoriter. Dan kita nggak mau itu lagi.
Jadi yang membuat GBHN tidak relevan dengan sekarang karena itu adalah bentuk mandat MPR kepada presiden?
Betul. Jadi sekarang ini kita MPR-nya dipilih oleh rakyat dan yang kedua juga terkait dengan yang tadi, MPR tidak lagi memilih presiden. Dan juga MPR tidak bisa menjatuhkan presiden. Jadi kayak Sukarno dulu, jujur, gitu kam jatuh karena MPR yang menjatuhkan. Salah satunya karena dianggap melenceng dari GBHN. Nah, sekarang sudah nggak bisa. Sekarang itu kalau mau menjatuhkan presiden nggak bisa pakai GBHN. Tapi melalui proses impitchment, jadi dari MPR, DPR, ke MK dulu, dicek aspek hukumnya, kalau di melanggar hukum, bukan sekadar dijatuhkan secara politik, maka bisa saja diproses. Jadi nggak ada relevansinya sama sekali GBHN itu.
Kalau GBHN dalam bentuk Undang-Undang tetap tidak relevan?
Kalau GBHN dalam bentuk undang-undang, buat apa amandemen konstitusi? Pertanyaannya kan gitu. Karena kalau undang-undang kan langsung dibuat aja sekarang nggak usah amandemen. Jadi saya kira ada salah dari mereka yang menjawab seperti itu ya. Kalau misalnya GBHN-nya dibuat dalam bentuk undang-undang, ya berarti tidak perlu mengubah konstitusi sama sekali. Karena kalau Undang-undang ya tinggal buat saja besok, ibaratnya.
Dan, sebenarnya dokumen serupa GBHN yang berupa Undang-undang sudah ada. Ini yang saya kira barangkali beberapa elit politik juga kurang sadar ya bahwa sejak 2004 kita sudah punya Undang-undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Di situ dibuatlah yang namanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan juga jangka menengah, jangka pendek. Nah, jangka panjangnya itu yang serupa GBHN karena 22 tahun jangka waktunya dan juga bentuknya juga sudah dalam bentuk Undang-undang. Itu ada di tahun 2007 Undang-undangnya*, jadi sudah ada. Saya lupa nomornya undang-undang tentang rencana pembangunan jangka panjang.
Nah, itu sudah serupa sekali dengan GBHN. Jadi kalau memang dikatakan mau dibentuk dalam bentuk undang-undang, ya nggak usah, orang udah ada, namanya saja yang beda.
*Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025.
Menurut Anda apa saja yang mungkin terjadi jika kembali ke GBHN?
Kita kan dua asumsi ya, pertama sukses betul dibatasi hanya GBHN dan yang kedua adalah pintu masuk untuk amandemen-amandemen selanjutnya. Karena yang perlu diingat dulu kan tahun 1999 - 2002 awalnya cuma satu kali, tapi ternyata bertahun-tahun diganti semua, jadi saya khawatir ini jadi pintu masuk saja.
Apakah mungkin demokrasi akan diberangus bila GBHN dihidupkan kembali?
Kalau hanya GBHN, nggak ada masalah (tidak memberangus). Tapi ya itu tadi GBHN itu unfaedah gitu lho, nggak ada manfaatnya. Kalau mau ada GBHN nggak akan mengubah apa-apa. Apa manfaatnya? Yang dikhawatirkan itu seandainya ini adalah langkah awal, kan gini tahun 1999-2002 kan gitu, sekali dibuka dulu untuk amandemen tapi kalau yang 1999-2002 konteksnya betul, saya setuju dengan itu. Cuma kalau mengacu pada itu, 1999 diubah dulu terus 2000, 2001, 2002, diubah-ubah.
Nah, kekhawatiran kami semua adalah ini GBHN dulu, kesannya cuma nggak ada manfaat faedah sama sekali. Kemudian tahun depan diganti lagi, di MPR jadi lembaga tertinggi, diganti lagi, gitu lho. Kemudian jadi kotak pandora. Kotak pandora ini bisa berbahaya nanti masuk ke isu-isu lain yang juga sampai ke Pasal 29 lagi soal syariat Islam, segala macem Ini yang kami khawatirkan. Jadi kotak pandoranya mendingan nggak usah dibuka karena unfaedah anyway. Istilahnya mungkin gitu. Saya tuh soalnya nggak masuk logika gitu. Udah gak ada manfaatnya kok maksa banget? Jadinya saya mikir, jangan-jangan ini kunci untuk membuka kotak pandora itu.
Tapi kalau pertanyaan tadi ada dampaknya gak mengubah sistem ketatanegaraan kalau hanya GBHN, nggak ada, gak ada dampaknya. Sepanjang benar-benar cuma GBHN-nya aja. Tapi nggak yang lainnya seperti bisa jadi alat untuk menjatuhkan presiden, misalnya. Itu udah mengacaukan sekali. Nanti kita sudah bagus sistem presidensialnya, nanti jadi sistem semi-parlementer lagi seperti dulu.
Apakah bisa mencederai praktik demokrasi?
Nggak kompatibel juga sih. Mencederai demokrasi iya dalam arti presiden itu kan dalam sistem presidensial harus diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan negara ini. Kan presiden itu kepala pemerintahan dan kepala negara dalam sistem presidensial kan. Jadi kalau dia disetir dengan sebuah GBHN, maka sebenarnya dia nggak punya ruang yang cukup untuk menyelenggarakan negara ini karena disetir betul oleh GBHN itu.
Jadi nanti ruang-ruang untuk inovasi kan misalnya Pak Jokowi sekarang GBHN-nya dibuat 5 tahun yang lalu saja, nggak usah 25 tahun yang lalu. Lima tahun yang lalu aja dibuat, yang belum ngomongin soal fintech, belum ngomongin soal teknologi. Nah, kalau disetir oleh sebuah barang yang bernama GBHN, maka kan dia jadi nggak punya ruang yang cukup untuk melakukan inovasi-inovasi yang dibutuhkan. Jadi mungkin menghalangi demokrasinya dalam konteks itu.
Apakah kalau GBHN dihidupkan kembali akan ada tumpang tindih antar lembaga negara?
Oh iya menurut saya pasti, karena misalnya sudah ada amandemen, maka ke bawahnya harus banyak yang berubah. Misalnya dari segi formalnya aja, bentuk GBHN itu apa? karena ketetapan MPR menurut UU 12/2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan kan ada hierarki peraturan tuh di pasal 7 itu TAP MPR sudah nggak ada berarti `UU itu. Kemudian UU MD3 itu juga mesti diubah, kemudian UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasionalnya berarti mesti diubah. Berarti mungkinkan RPJP-nya musti diganti, bahkan mungkin relevansi Bappenas mesti kita kaji ulang. Banyak sekali ke bawahnya yang mesti diubah, karena kita banyak RPJMD yang daerah kan juga ada.
Terus kaitannya nanti juga dengan misalnya waktu Pilpres dengan visi misi presiden, calon-calon presiden gimana? Kalaul misalnya harus mengikuti GBHN itu. Jadi, implikasi teknisnya banyak dan tidak biasa, anomali menurut saya dalam sistem presidensil gitu sehingga ngapain sih susah-susah amandemen nyusain, padahal dampaknya minim banget.
Karena itu tadi toh nggak gunanya, orang kita sistemnya sudah beda gitu, jadi kaya romantisme aja seperti itu saya melihatnya.
Alasan menghidupkan GBHN dalam bentuk UU untuk menyelaraskan rencana pembangunan antara pusat dan daerah. Tanggapan Anda?
Saya kira ada dua hal. Pertama, analisisnya kurang akurat. Dan yang kedua, solusinya tuh lompat logikanya. Analisisnya kurang akurat karena saya kira faktor dalam pembangunan yang tidak sinkron, segala macem, kan itu banyak ya. Saya kira tidak hanya soal dokumen haluan, tapi juga manajemen dari negara ini. Katakanlah misalnya kenapa sih Bogor sama Jakarta nih pembangunannya nggak sinkron? Jakartanya kena banjir gara-gara Bogornya begini, misalnya gitu ya. Apakah itu juga diselesaikannya dengan GBHN? Kalau menurut saya sih, kita sekarang manajemen modern. Jadi saya kira itu kurang akurat.
Dalam manajemen yang modern, perencanaan itu faktornya nggak hanya perencanaan. Tapi juga implementasinya. Jadi dalam yang saya ejawantahkan berarti perlu ada pertemuan misalnya antara gubernur Jawa Barat dengan gubernur DKI. Bukan GBHN solusinya. Itu yang tadi saya bilang, solusinya itu lompat.
Kalau memang ada masalah seperti itu, tanpa melihat menganalisis lebih dalam faktor penyebabnya apa saja, lompat langsung logikanya bahwa solusi untuk pembangunan yang barangkali tidak terencana dan sebagainya adalah sebuah dokumen bernama GBHN.
Nah ini yang saya khawatirkan ini yang ada di kepalanya para politisi. Sehingga kita mesti korek lagi, di balik itu apa sih? Jadi kan sebenarnya tuduhan, ini mungkin mau begini-mau begitu, itu karena banyak pihak, termasuk saya sendiri, maksudnya teman-teman yang bergerak di bidang hukum tata negara dan politik, mengalami kebingungan untuk memahami logika mereka.
GBHN ini nggak relevan, barangnya sudah ada, kalau mau bicara pembangunan yang sinkron levelnya teknokratis, bukan di GBHN, tapi kok ngotot betul untuk mengamandemen? Jangan-jangan ada agenda di baliknya. Itu yang memicu sebenarnya diskusi bahwa nanti presidennya nanti dipilihnya oleh MPR lagi, segala macem, itu karena kebingungan kami untuk menerima cara berpikir soal GBHN ini.
Nah, dalam menganalisis seperti itu harus dilihat faktornya apa saja? Dulu itu waktu zaman Orde Baru memang lebih sinkron, lebih baik, lebih terarah karena presidennya satu selama 32 tahun. Kemudian sama, zaman Sukarno juga dianggap oleh PDI-P lebih baik segala macem, karena dulu itu yang dihitung adalah pada masa demokrasi terpimpinnya Sukarno, yang juga modelnya sebenarnya otoritarian seperti Soeharto juga. Nah, jadi bukan faktor dokumen yang bernama GBHN itu. Tapi ada faktor seorang Soeharto yang memang presidennya nggak ganti-ganti 32 tahun. Tapi kan itu tidak demokratis
Di negara yang demorkatis presidennya ganti-ganti, itu wajar-wajar saja. Itulah demokrasi. Kalau misalnya ada pembangunan kemudian prioritasnya diubah, kan memangnya tentu saja sudah didiskusikan secara terbuka. Tapi seandainya tapi itu bukan berarti kita harus mengunci pembangunan harus seperti ini selama 100 tahun misalnya dengan GBHN. Padahal kita tahu sendiri di zaman sekarang ini inovasi juga dibutuhkan, cara pandang juga berubahanya begitu cepat, nggak seperti 74 tahun lalu ketika para pendiri bangsa kita mengandalkan GBHN ini. Jadi saya kira kita mundur sebenarnya kalau GBHN karena memang semuanya sekarang sudah berubah, tidak seperti 74 tahun lalu.
Jadi GBHN sama sekali bukan solusi?
Bukan, bukan solusi. Banyak sekali faktor. Jadi jangan disempitlkan bahwa yang bikin sukses tuh GBHN. Dan salah satunya faktor pemimpin yang tadi dan kita kan nggak mau punya (pemimpin) selama-lamanya lagi. Cukuplah 2 kali masa jabatan ini sudah bagus.