LIPSUS, Asap karhutla di Riau

BNPB: 99 Persen Karhutla karena Ulah Manusia

23 September 2019 11:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas berusaha memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas berusaha memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Agus Wibowo lebih sibuk akhir-akhir ini. Pelaksana Harian (Plh) Kepala Pusdatinmas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu harus siaga 24 jam untuk melaporkan situasi terbaru kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sebagian wilayah Kalimantan dan Sumatera.
Menurut Agus, pemerintah daerah terlambat dalam mengumumkan status keadaan darurat karhutla. Sehingga api yang terlanjur membesar dan merambat sulit untuk ditangani. Apalagi di puncak musim kemarau yang sangat kering.
“Dengan status ini artinya BNPB baru bisa turun membantu. Kalau mereka lapornya telat BNPB turunnya telat juga,” kata Agus kepada kumparan di kantor BNPB, Rabu (18/9).
Bencana ini tak hanya merusak puluhan ribu hektar hutan dan lahan, tapi juga membahayakan tubuh seseorang, dan merugikan ekonomi. Kebakaran yang setiap tahun selalu terulang belum bisa diantasipasi dengan baik. Pemerintah juga belum memberikan solusi permanen untuk mencegah karhutla terjadi lagi.
Penegakan hukum yang dilakukan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian (Dirjen Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum benar-benar memberi efek jera bagi perusahaan pelaku pembakaran.
“Jadi kami melihat ada efeknya, namun juga ternyata efek ini tidak berlaku pada semua perusahaan,” Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, di Manggala Wanabakti, Jumat (20/9).
Seperti apa sebenarnya penanganan bencana karhutla saat in? kumparan berbincang dengan Rasio Ridho Sani dan Agus Wibowo. Berikut petikan lengkap wawancara kumparan:
Helikoter milik BNPB melakukan water bombing pada kebakaran lahan di Kawasan Handil Bakti, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Minggu (22/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Apa penyebab kebakaran hutan sampai sebesar ini?
Agus: Masih banyak orang yang membakar hutan, karena datanya menunjukkan 99 persen kebakaran ini disebabkan oleh ulah manusia. Artinya ada oknum-oknum yang sengaja membakar hutan dan inikan luasannya luas sekali ya, mereka beroperasinya di mana-mana, sehingga cepat sekali api yang merambat.
Dari data-data pembakaran terlihat bahwa kebakaran itu terjadinya di luar wilayah kebun yang sudah ada.
Ditambah tahun 2019 ini adalah karena kita mengalami musim kemarau yang cukup panjang. Jadikan tahun ini di BMKG memprediksi ada El nino lemah sehingga menyebabkan kemarau yang panjang.
Bagaimana deteksi dini yang dilakukan?
Agus: Yang pertama, penanggung jawab urusan penanggulangan bencana adalah pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota. Jadi mereka yang berada di garis depan, yang bekerja untuk mendeteksi dulu.
Biasanya kami memanfaatkan data hotspot atau firespot, dari data satelit tersebut kami memantau di mana lokasi adanya titik-titik panas yang mengindikasi apakah di sana ada kebakaran atau tidak.
Nah itu daerah dulu yang akan meresponsnya, merespons untuk memadamkan, mengirimkan timnya, kalau dari kehutanan mereka punya tim namanya Manggala Agni. Kemudian di desa-desa mereka punya namanya masyarakat peduli api, tim inilah yang pertama kali beraksi. Mereka digerakkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk memantau, mengecek, dan memadamkan.
Kenapa daerah tidak bisa mencegah kebakaran, sampai akhirnya membesar?
Agus: Pertama kalau dari sisi Undang-undang bencana itu menjadi salah satu urusan wajib pemerintah daerah. Pemda wajib memiliki anggaran untuk penanggulangan bencana, tapi kenyataannya banyak sekali daerah yang kurang, anggarannya nggak cukup mungkin. Jadi kemungkinan mereka tidak bisa merespon secara cepat, itu salah satunya.
Dari awal BNPB sudah bilang kita harus segera dari awal nih, ini musim keringnya masih panjang dan BMKG juga sudah bilang kita harus segera operasi.
Lalu kenapa pemerintah pusat tidak segera melakukan operasi seperti yang disarankan?
Agus: Karena harus dari daerah dulu. Jika kondisi titik api sudah besar, mereka akan menyatakan status keadaan darurat. Dengan status ini artinya BNPB baru bisa turun membantu.
Kalau mereka lapornya telat BNPB turunnya telat juga. Seperti itu kasusnya, jadi mungkin itu yang membuat kebakaran bisa langsung besar seperti itu. Jadi BNPB bisa turun setelah pemda menyatakan status keadaan darurat. On call budget adalah dana darurat dia tidak bisa dipakai dalam mode biasa. Jadi kalau nggak darurat nggak bisa pakai, itu melanggar Undang-undang kalau dipakai.
Helikoter milik BNPB melakukan water bombing pada kebakaran lahan di Kawasan Handil Bakti, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Minggu (22/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Jadi sejak BNPB turun itu api sudah besar?
Agus: Iya karena memang sangat masif pembakarannya, cuaca kering, dan masif pembakaran jadi susah padamnya.
Mungkin telat, saya kira telat pemadamannya. Karena helikopter itu hanya efisien untuk memadamkan api yang kecil-kecil saja. Ada api yang gede sekali, wah sudah nggak bisa lagi. Tapi kalau api kecil dibom itu bisa cepat padam dengan baik.
Setelah 2015 itu tahun ini adalah yang terbesar, apa yang menyebabkan penangan kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya?
Agus: Waktu itu di Sumatera Selatan ada Asian Games itu ada tim operasi di sana. Itu lebih efisien karena timnya serius dan pemerintah pusat langsung, timnya solid karena itu memang serius ada gabungan BNPB, ada BPPT, TNI, Polri stay di situ, siap operasi setiap hari.
Jadi kita ada api kecil sikat, ada api dibom, diterbangkan helikopter untuk water boombing, disikat semua itu, nggak nunggu gede.
Bagaimana cara pembakar membuat api tidak menjalar ke kebun mereka?
Agus: Iya mereka si pembakar ini perhatikan musim tanam, perhatikan cuaca, arah angin ke mana misal dibakar di ujung sini baru nanti merambat ke mana, biasanya ada kebun sawit kiri kanan, dia tahu arah anginnya ke mana. Sehingga jarang sekali kebun sawit yang terbakar pasti di luar itu. Jadi itu mengindikasikan untuk membuka lahan
Yang pernah saya lihat mereka cara bakarnya itu pakai ban. Jadi ban dipotong panjang, kemudian dikasih minyak, disulut, setelah menyala, kemudian tinggal pergi. Membakar hutan itu adalah cara membuka lahan yang paling murah ya, jika menggunakan traktor itu membajaknya itu kira-kira Rp 6-10 juta per hektar, kalau buka seratus hektar sudah banyak sekali. Kalau dibakar hanya bayar satu orang 600 ribu selesai, cepat sekali juga.
Agus Wibowo Pelaksana Harian (Plh) Kepala Pusdatinmas BNPB Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Apa solusi jangka panjangnya dari BNPB?
Agus: Untuk solusi jangka panjangnya Pak Doni Kepala BNPB menyebutkan, pertama kebakaran hutan inikan terjadi setiap tahun. Artinya ini adalah penyakitnya kan permanen, jadi kita harus bisa mencari solusi permanen juga.
Salah satunya bagaimana kita mengubah cara hidup dari masyarakat agar tidak tergantung pada satu produk sawit aja. Jadi kuncinya bagaimana meningkatkan penghasilan masyarakat.
Terutama lahan gambut itu bagaimana caranya lahan ini selalu basah. Jadi kita harus bisa mengubah cara cocok tanamnya itu ke mode basah, misalnya sagu. Sagu itu harus basah, yang rawa-rawa kan ini sebenarnya rawa gambut. Mungkin ada pohon-pohon, ada ikan gabus atau ikan yang lain pokoknya bagaimana lahan ini selalu basah terus. Karena kelapa sawit kan menyedot banyak air dan kering.
Apa saja langkah-langkah yang dilakukan KLHK dalam penanganan kebakaran hutan?
Rasio: Kementerian melakukan upaya upaya untuk membuat kebijakan di mana kami melakukan pengetatan pemanfaatan lahan-lahan gambut untuk kegiatan perkebunan maupun kegiatan fungsi kehutanan. Kami melarang juga diberikan izin pada lokasi lokasi gambut yang sangat rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Dan yang paling penting menurut saya adalah manusia, faktor manusia. Maka penegakan hukum merupakan salah satu upaya yang harus kita lakukan.
Bagaimana upaya penegakan hukum yang dilakukan KLHK terhadap pelaku pembakaran hutan selama ini?
Rasio: Sejak kebakaran tahun 2015 kami melakukan berbagai cara langkah penegakan hukum. Pengawasan kemudian menerapkan sanksinya. Pada tahun 2015 itu ada 63 perusahaan kami kenakan sanksi administratif, ada 3 yang kita cabut izinnya.
Sanksi administratif yang kami terapkan ada yang pasal pemerintah, pembekuan izin, dan pencabutan izin. Kami minta kepada korporasi di lokasi kebakaran hutan dan lahan untuk memperbaiki, melakukan langkah-langkah dan upaya pencegahan dan penanggulangan.
Kami juga melakukan langkah-langkah hukum lain, seperti perdata dan pidana.
Kami menggugat perusahaan perusahaan yang membakar hutan dan lahan sejak tahun 2015. Di mana ada 17 perusahaan yang sudah kita gugat secara perdata di pengadilan dan 9 diantaranya sudah berkeputusan tetap, mereka harus membayar ganti rugi dan biaya pemulihan sekitar Rp 3,9 Triliun ada juga sampai sebesar Rp 1 triliun 70 miliar.
Untuk penegakan hukum pidana, di mana ada direktur perusahaan yang sudah dipenjara. KLHK memang lebih fokus kepada administratif dan juga gugatan perdata, pidana adalah langkah terakhir yang kita lakukan.
Kondisi kabut asap di lahan perkebunan akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Bagaimana untuk yang terjadi saat ini?
Rasio: Memang kita bisa melihat hasil analisis kami pemantauan kami saat karhutla tahun 2015 itu titik apinya sangat sangat banyak. Tahun 2015 itu menurut (data setelit) terraqua itu sekitar 70 ribu titik panas, namun karena penegakan hukum sangat tegas itu tahun 2016 menurun, 2016 itu menjadi 3.800 titik panas, 2017 menurun 2.440 titik panas, dan 2018 itu meningkat 9.000, dan tahun ini meningkat 15.000 titik panas.
Namun kalau kita bandingkan titik panas yang terjadi pada tahun ini masih jauh dari tahun 2015. Artinya langkah-langkah yang dilakukan pemerintah ini berefek, baik penegakan hukum maupun langkah langkah perbaikan tata kelola gambut. memang terjadi peningkatan, faktanya masih ada terjadi asap ini.
Kami terus memonitor, 2019 pada bulan Februari dan bulan Maret kami melihat ada titik-titik panas. Kemudian kami lakukan mulai mengirimkan surat kepada pihak-pihak perusahaan di mana lokasi terjadinya titik-titik panas agar mereka mengantisipasi ini dan menanggulanginya. Kalau tidak mereka lakukan, kami akan lakukan penegakan hukum. Ini peringatan-peringatan ini terus kami lakukan.
Juli 2019, kami melihat ada peningkatan, kami mulai mempelajarinya, dan mengirimkan tim ke lapangan untuk melakukan monitoring. Pada bulan Agustus kami perintahkan kepada tim kami untuk segera melakukan penyegelan-penyegelan yang merupakan bentuk awal daripada penegakan hukum. Sampai saat ini ada 52 lokasi perusahaan yang kami lakukan penyegelan, baik yang berada di Riau, di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Setelah kita segel, kita lakukan penyelidikan dalam rangka penegakan hukum. Sampai hari ini kami sudah menetapkan 5 perusahaan sebagai tersangka, 3 berada di Kalimantan Barat, 2 di Kalimantan Tengah, dan jumlah ini akan bertambah karena tim kami sedang bekerja terus untuk mendalami hasil penyelidikan.
Rasio Ridho Sani Dirjen Penegakan Hukum KLHK Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Selain tindak hukum terhadap pelaku pembakaran bagaimana langkah pencegahan ke depannya?
Rasio: Kami harus melakukan langkah yang lebih tegas lagi, memperkuat sistem yang ada, termasuk sekarang ini kami mendorong proses pengawasan yang lebih intensif. Sebagaimana yang kita ketahui, izin-izin lingkungan berkaitan dengan perkebunan, kehutanan, dan juga kegiatan-kegiatan lain itu kan berada di kewenangan pemerintah daerah, khususnya bupati/wali kota. Dan kita paham bahwa siapa yang memberikan izin, dia berkewajiban melakukan pengawasan. Untuk itu kami meminta dan mengajak kepada bupati/walikota bersama-sama untuk melakukan pengawasan kepada perusahaan-perusahaan yang ada. Kalau memang ditemukan ketidakpatuhan kita perlu lakukan pemberian sanksi, termasuk pencabutan izin.
JIka ini dilakukan pengawasan dengan intensif dan dilakukan tindakan tegas atas pelanggaran izin tersebut, maka kami meyakini akan berdampak besar terhadap pencegahan dan penanggulangan karhutla. Khususnya terkait dengan kegiatan-kegiatan konsesi-konsesi maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang terkait dengan karhutla.
Darurat Asap Foto: Argy Pradipta/kumparan
Dari 63 perusahaan saat 2015 disanksi adakah perusahaan yang sama yang sekarang disegel?
Rasio: Ada. Ini ada beberapa perusahaan. Tapi kami akan dalami lagi yang lain karena kan jumlah yang disegel bertambah. Dan juga perlu diketahui perusahaan-perusahaan yang kami kasih sanksi pada tahun 2015 sampai sekarang juga masih tidak punya persoalan. Jadi kami melihat ada efeknya, namun juga ternyata efek ini tidak berlaku pada semua perusahaan.
Dari total denda yang dikenakan, sudah berapa triliun yang masuk ke pemerintah?
Saya ingin jelaskan, karena pertanyaan ini kan ditanyakan terus. Bahwa penegakan hukum menggunakan gugatan perdata ini kan eksekusinya dilakukan oleh pihak pengadilan negeri. Sering pengadilan negeri mungkin belum mempunyai pengalaman dalam mengeksekusi yang begitu besar terkait dengan kasus kebakaran hutan dan lahan. Kami sekarang terus mendorong dan bekerja sama dengan pengadilan negeri untuk mempercepat proses eksekusi ini.
Namun perlu kami sampaikan, saat kami memasukkan gugatan perdata kepada perusahaan itu, langsung perusahaan itu sebenarnya punya berdampak.
Karena yang pasti kan pemegang saham mereka, investor mereka, reputasi mereka kan akan turun. Jadi, langkah penegakan hukum ini harus kita lakukan. Tidak semata-mata kita mencari uang ganti rugi, biaya pemulihan, tapi yang lebih penting adalah efek jeranya. Kami memahami sanksi administratif, gugatan perdata, dan pidana, kalau ketiga instrumen ini kita gunakan, pasti efek jeranya akan jauh lebih besar lagi.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten