LIPSUS,  NTT Korban Penjara, Ilustrasi perdagangan manusia

Bocah Indonesia Menuntut Ganti Rugi ke Australia

13 September 2019 17:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perdagangan manusia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perdagangan manusia. Foto: Shutterstock
Harapan anak-anak ABK Indonesia yang pernah masuk penjara di Australia karena penyelundupan manusia untuk meraup kompensasi belum terang. Dua kelompok pengacara bersaing memilih jalur berbeda.
Pengacara Lisa Hiariej memilih menempuh jalur yang nyaris mustahil, mengajukan gugatan melalui peradilan Indonesia. Sedang Ken Cush yang mencari jalur di Australia tetapi terkendala dokumen anak-anak itu.
***
Sudah sekitar tujuh tahun Demus Ndoen menggelar harapannya mendapat kompensasi pemerintah Australia. Ia pernah mendekam di penjara Australia walau masih berstatus sebagai anak-anak. Seorang pengacara Indonesia yang menetap di Australia, Lisa Hiariej, memberi tawaran bantuan menggugat ganti rugi pemerintah Australia. .
Kala itu 2012, Lisa datang dan menyodorkan sebuah surat kuasa dan meminta semua data identitas, termasuk KTP dan akte kelahiran. Demus menganggapnya sebagai sebuah harapan. Maklum, bagai bocah kampung sepertinya rezeki seperti menjauh sejak ia pulang dari penjara Australia.
“Saya dari situ tidak pernah ke laut lagi, dari pada dibohongi lalu ke sana lagi, mati kita. Apalagi kalau ada apa-apa di laut kita enggak tahu. Sekarang jadi petani atau buruh bangunan sajalah,” ucapnya ketika ditemui di Kupang pada Minggu (25/ 8/2018).
Demus adalah adalah salah satu bekas anak buah kapal remaja yang terlibat penyelundupan manusia dan dipenjara di Australia pada 2010. Kala itu ia belum menginjak 17 tahun tetapi pemerintah Australia menetapkannya berusia 19 tahun, ia pun mendekam di penjara berstandar keamanan maksimum.
Demus Ndoen. Foto: Retno Wulandari/kumparan
Keberuntungan sepertinya memang menjauh dari Demus. Janji upah menjadi ABK hilang karena orang yang menyuruhnya juga menghilang. Sepulang dari Australia pun ia tak memiliki uang sepeser pun.
Hingga kini Demus hanya mengandalkan hidup bekerja serabutan untuk menghidupi istri dan seorang anaknya. Surat-surat jati diri yang asli miliknya dibawa oleh Lisa untuk keperluan sidang. Ia tak sempat mengurus BPJS, surat miskin, atau apapun.
Janji Lisa untuk mendapatkan kompensasi ia pegang sebagai harapan. Namun sejak perempuan itu bertandang ke desanya sekitar 2012 lalu, kabar upaya hukum hanya sepintas lalu saja di telinga Demus.
“Yang sedang berjalan saja belum ada apa... Eee.., sementara berjalan saja. Kan sidangnya di Jakarta jadi cuma anak Jakarta saja yang datang. Katanya sidangnya ditunda terus,” ucap Demus
Lisa Hiariej di Lombok bersama para korban yang pernah di penjara di Australia saat masih usia anak. Foto: dok. Lisa
Lisa memang gencar mencari anak-anak Indonesia yang pernah dipenjara di Australia. Awalnya ia mendapat informasi dari narapidana dewasa yang pernah ia dampingi selama dipenjara di Australia.
“Awal mulanya tahun 2012, ada dua anak di Sukabumi dan Jakarta. Mereka lalu menghubungi teman-temannya sampai saya menelusurinya,” jelas Lisa ketika ditemui di kawasan Cikini, Jakarta pada Minggu (11/8).
Pada 2012 hingga 2014, ia bolak-balik dari Jakarta, Kupang, Sukabumi, hingga Batam mencari keberadaan mereka. Hasilnya sekitar 120-an anak berhasil ia temui. Sebanyak 115 diantaranya memberikan kuasa padanya untuk menjadi pengacara dan melakukan gugatan class action (perwakilan kelompok).
Mereka terdiri dari 31 remaja berusia 13 dan 17 tahun mengalami pemidanaan di penjara dewasa di Sydney, Melbourne, Brisbane, dan Perth antara 2008-2012. Sedangkan 84 remaja lainnya mendekam tiga bulan di detensi imigrasi.
Lisa pun menyusun gugatan atas penahanan oleh pemerintah Australia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2016. Selain itu Lisa juga memperkirakan besaran ganti rugi untuk anak-anak sebesar Rp 1 Triliun.
Tetapi pengadilan menganggap peradilan di Indonesia tidak memiliki kompetensi. Putusan sama juga keluar di tingkat banding kini ia tengah mengajukan kasasi.
“Berkasnya (masuk MA) kemarin bulan Juli (2019),” jelas dia.
Tapi Lisa bukan satu-satunya pengacara yang yang melakukan upaya hukum. Aktivis HAM hak-hak sipil di Australia, Colin Singer, merasa perlu strategi khusus untuk memperjuangkan ganti rugi dan kompensasi anak-anak ini. Ia menggandeng Firma Hukum Ken Cush di Canberra, Australia, untuk menggugat kompensasi pemerintah Australia.
Aktivis HAM Colin Singer bersama anak-anak yang dipenjara di Australia. Foto: Retno Wulandari/kumparan
Colin sendiri merupakan salah satu peniup peluit atas keberadaan anak Indonesia di penjara Australia. Ia menemukan keberadaan anak-anak ini ketika bertandang ke Penjara Hakea di Australia pada 2010.
Menurutnya langkah tepat untuk mengajukan gugatan ganti rugi adalah melalui pengadilan di Australia. Ia menyebutkan kemenangan kasus Ali Yasmin di Pengadilan Australia Barat pada 2017 merupakan pintu masuk bagi gugatan lainnya, termasuk soal kompensasi dan ganti rugi.
“Kasus Ali Yasmin sendiri merupakan titik penting. Tetapi soal strateginya lebih jelas tanyakan kepada Ken Cush,” ucap Colin ketika ditemui di Bandung pada Kamis lalu (22/8/2019).
Ali Yasmin sendiri merupakan ABK berusia 13 tahun yang ditahan oleh Australia pada 2009 karena penyelundupan manusia. Ia dibebaskan pengadilan karena masih anak-anak. Sedangkan pemerintah Australia beranggapan bahwa dia termasuk berusia dewasa.
Suasana di NTT, anak-anak remaja di sana biasa melaut sedari kecil. Foto: Retno Wulandari/kumparan
Pengacara Firma Ken Cush, Sam Tierney, mengungkap langkah yang dapat dilakukan adalah membatalkan putusan pidana anak-anak ini sebagai awak kapal terlebih dahulu.
“Itu adalah salah satu bentuk kemudahan yang akan kami usahakan bagi anak-anak ini. Hal kedua adalah kompensasi untuk membantu anak-anak ini menjalani hidup,” ujar Tierney seperti dikutip dari ABC edisi 26 Januari 2018.
Awalnya Colin mengajak Lisa bekerja sama. Keduanya mengaku bertemu beberapa kali. Namun kerjasama ini berakhir buruk. Lisa menuduh Colin dan rekan firma hukumnya mencuri kliennya, sedangkan Colin menganggap langkah Lisa melalui pengadilan Indonesia tak masuk akal.
Permasalahan ini meruncing ketika istri Colin, Aat Kasnawati, membantu melakukan pendataan mantan anak-anak ABK di Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan ke Polda NTT memalsukan tanda tangan beberapa anak. Kini Aat didampingi oleh pengacara dari Lokataru, Haris Azhar.
Haris juga menjadi rekan Ken Cush untuk mendata anak-anak bekas ABK yang pernah dipenjara di Australia.
“Mereka mencoba merebut klien saya, ini tidak etis. Tindakan mereka tidak benar,” keluh Lisa.
Selain itu Lisa menuding Ken Cush hanya mencoba meraup kompensasi untuk anak-anak. Dari kopi berkas yang Lisa berikan kumparan, ada pembagian sebesar 75 persen dari kompensasi tersebut.
Namun Colin membantah hal ini. Menurutnya kompensasi itu adalah beban biaya yang diajukan ke pemerintah Australia, tidak berkaitan dengan ganti rugi bagi anak-anak itu.
Putu Elvina Komisioner KPAI. Foto: Rafyq Alkandy Ahmad Panjaitan/kumparan
Mantan Komisioner Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Putu Elvina yang selama ini turut duduk bersama dengan Lisa di pengadilan mengaku langkah untuk meraup kompensasi melalui pengadilan Indonesia hampir mustahil. Ia mengaku mengapresiasi upaya Lisa sebagai salah satu opsi karena tidak ada pilihan lain.
“Saya bertemu dengan beberapa rekan lembaga perlindungan anak dari beberapa negara, mereka mengakui kasus-kasus semacam ini banyak terjadi. Tetapi susah sekali untuk mendapatkan kompensasi itu,” jelasnya.
Apapun polemik yang terjadi hal ini kian membuat jalan untuk memperoleh kompensasi kian keruh.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten