Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Jokowi didesak tak menutup opsi lockdown . Kemanusiaan harus ditonjolkan ketimbang ekonomi. Lockdown dapat dilakukan di episentrum corona—Jakarta dan sekitarnya.
Pemerintah diminta tidak mengharamkan lockdown untuk membatasi penyebaran virus corona tipe baru COVID-19. Hal itu diungkapkan Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga, Chairul Nidom.
“Itu salah satu upaya untuk bisa melakukan pengendalian virus,” katanya kepada kumparan, Selasa (18/3).
Menurutnya, lockdown bisa dilakukan secara parsial di daerah dengan jumlah penderita COVID-19 yang banyak. Hanya saja, ia mengingatkan, prosedur lockdown harus diputuskan di tingkat pemerintah pusat.
Lockdown sendiri merupakan penutupan akses keluar-masuk orang di suatu wilayah. Langkah itu bertujuan untuk menghindari perpindahan virus dari satu daerah ke daerah lain.
Wacana lockdown kembali mencuat seiring terus bertambahnya jumlah penderita COVID-19. Hingga Selasa sore (18/3), Kemenkes mencatat 172 kasus positif di Indonesia.
Dari jumlah itu, tujuh orang pasien meninggal dunia dan sembilan lainnya dinyatakan sembuh. Ancaman virus The Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menjadi biang penyakit COVID-19, diprediksi masih panjang di Indonesia.
Donny Martamin, peneliti ITB, membuat permodelan untuk mengetahui kapan waktu puncak penyebaran virus corona baru itu. Ia menggunakan dua parameter, yakni tingkat penyebaran dan jumlah populasi.
“Estimasi kapan bakal memuncaknya, kira-kira bulan puasa,” kata Donny kepada kumparan.
Namun, permodelan tersebut tidak bisa meramalkan jumlah orang yang mengidap COVID-19 . Sejumlah negara seperti China, Italia, Perancis, dan Belgia mengambil kebijakan lockdown untuk mengatasi penyebaran COVID-19.
Di kawasan Asia Tenggara, Malaysia dan Filipina juga menempuh metode serupa. Namun di Indonesia, sejumlah pejabatnya menegaskan lockdown belum masuk skenario.
“Saya kira kita belum berpikir ke situlah. Tiap negara punya masalah sendiri. Jadi kalau lockdown sama sekali belum kita pikirkan,” ujar Menko Maritim dan Investasi merangkap Plt Menhub, Luhut Binsar Panjaitan, dalam telekonferensi pers, Senin (16/3).
Pemerintah lebih memilih pendekatan pembatasan sosial atau social distancing. Pemerintah telah mengeluarkan imbauan agar para pekerja bekerja dan anak sekolah belajar dari rumah. Meski, fakta di lapangan menunjukkan permintaan itu tak sepenuhnya dipatuhi.
Di Jakarta, misalnya, masih banyak perusahaan yang tetap meminta karyawannya bekerja di kantor seperti biasa.
Dalam regulasi di Indonesia, sebenarnya tidak dikenal istilah lockdown. Namun, konsep yang mirip diatur dalam UU 6/2018 tentang Karantina Kesehatan.
Di sana tercantum empat jenis karantina, yakni karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial skala besar.
Yang pasti, lockdown akan punya efek ikutan, khususnya bagi bidang ekonomi. Bila diterapkan di Jakarta saja, dampaknya akan merembet ke tingkat nasional. Sebab, perekonomian ibu kota punya kontribusi 18 persen bagi terhadap nasional.
Lockdown berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi Jakarta melambat. Kondisi demikian akan menekan perekonomian secara keseluruhan lantaran 80 persen perputaran uang berada di jakarta. Peneliti INDEF Bhima Yudistira mengkhawatirkan ini.
“Kapasitas kita, struktur ekonomi kita, tidak sekuat Italia dan China kalau melakukan lockdown,” ujarnya. “Kalau enggak hati-hati, ini bukan virus corona yang akan mematikan masyarakat, tapi kelaparan massal.”
Di China, berdasarkan temuan Asian Development Bank, COVID-19 berimbas besar ke perekonomian negara itu hingga USD 103 miliar atau setara Rp 1.545 triliun (dalam kurs 15.000). Nilai itu setara dengan 70 persen APBN Indonesia tahun 2020.
Peneliti INDEF lainnya, Abra Talattov, meminta pemerintah tetap mempersiapkan lockdown sebagai kemungkinan terburuk.
“Kalau kita udah bicara mortality rate, artinya kan kita bicara risiko penularan dan risiko kematian yang besar. Maka mau tidak mau harus ada kebijakan yang agresif,” kata dia.
Bila dibiarkan, ia khawatir, sektor strategis seperti industri manufaktur yang padat karya malah jadi tempat penyebaran virus corona baru.
“Bayangkan industri manufaktur atau pabrik itu kalau ada karyawan atau pekerjanya yang terkena (corona). Otomatis kan operasional pabrik akan terhenti,” ia mengilustrasikan.
Abra menegaskan, bila virus corona terus menyebar, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menanggulanginya bisa jadi lebih besar.
Maka lockdown jadi salah satu opsi yang mengemuka dalam pertemuan sejumlah ahli kesehatan dengan Satgas CONVID-19, Senin (16/3).
“Pembatasan sosial yang lebih agresif seperti lockdown dapat diberlakukan di wilayah dengan kasus COVID-19 banyak dan menjadi episenter seperti Jakarta atau Jawa Barat,” bunyi salah satu rekomendasi tenaga kesehatan yang tertuang dalam akun twitter Center for Indonesia’s Startegic Development Initiatives.
Jika opsi lockdown diambil, pemerintah harus mempersiapkan semua dengan matang. Aspek logisitik harus menjadi perhatian agar tidak memantik kepanikan massal.
Untuk itu, menurut Abra, memang dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Namun di atas semua hitung-hitungan ekonomi, pemerintah perlu menentukan prioritas bagi kemaslahatan bangsa.
Seperti cuitan mantan Kepala BKPM Thomas Lembong beberapa hari lalu. “Mari kesampingkan dulu soal ekonomi. Prioritaskan langkah-langkah kesehatan publik. Ini waktunya untuk selamatkan nyawa.”
Sekarang bola ada di tangan pemerintah pusat. Seperti yang disampaikan Jokowi di Istana Bogor, Senin (16/3), ketika menanggapi rencana sejumlah kepala daerah melakukan lockdown.
“Kebijakan lockdown di tingkat nasional maupun daerah adalah kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan ini tidak boleh diambil Pemda,” ujar Jokowi .
Jadi, bagaimana Mr. President?