Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Booster Bukan Solusi kalau Vaksinasi Lambat, Melawan Pandemi Tak Bisa Egois
8 Agustus 2021 10:35 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Adanya informasi soal antibodi atau imunitas yang dihasilkan vaksin corona turun usai 6 bulan membuat ada kelompok-kelompok yang ribut dan berupaya mencari booster. Demi kepentingan antibodinya sendiri, padahal ia bukan tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
Dr Ines Atmosukarto, pemegang gelar doktor molekuler dan biologi seluler dari Universitas Adelaide, Australia, menjelaskan bahwa soal booster memang tengah diperbincangkan oleh peneliti. Tapi itu bukan menjadi hal yang utama.
"Sudah mulai ada perbincangan di dunia vaksin diperlukan booster setelah 1 tahun atau 1,5 tahun. So, tetapi yang paling utama sebanyak-banyaknya orang mendapatkan vaksin," kata Ines dalam diskusi dengan LaporCOVID-19, yang dikutip kumparan, Minggu (8/8).
Ines adalah ilmuwan yang diakui secara internasional, yang telah memenangkan banyak penghargaan untuk penelitian dalam menemukan pengobatan baru untuk kanker dan penyakit menular.
Ia menambahkan, di masa pandemi, manusia tidak boleh egois. Misal ada orang yang kaya dan punya jabatan berupaya sendiri mencari jalur suntikan ketiga atau booster.
ADVERTISEMENT
"Enggak bisa berpikir ah saya mau cari imunitas yang paling bagus terus cari booster. Itu enggak memberi solusi karena melawan pandemi adalah usaha bersama kita enggak bisa egois," ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat global harus secara merata mendapatkan vaksin. Oleh karena itu gotong royong menjadi kunci.
"Harus utama masyarakat, kita yang paling penting harus mempercepat vaksinasi di mana-mana, bukan hanya Indonesia saja. Di Afrika, Eropa, Amerika Selatan, karena varian-varian ini berasal dari negara yang belum vaksin," tutupnya.
Ines kini mengepalai Lipotek, sebuah rintisan usaha peneliti tentang obat dan vaksin yang berbasis di Australia. Lipotek juga bekerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia termasuk Bio Farma dan Lembaga Eijkman.
"Selain itu harus sama-sama mengubah pola perilaku, menaati protokol kesehatan," tutup Ines.
ADVERTISEMENT