news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Brutalnya Tentara Jepang, Perkosa Wanita Pribumi hingga Belanda

16 Januari 2019 21:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi wabah raja singa di Batavia. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wabah raja singa di Batavia. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Meski hanya sebentar menguasai Indonesia, Jepang tetap meninggalkan jejak hitam yang begitu melekat. Salah satunya soal kekerasan seksual terhadap para perempuan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setidaknya itu penggambaran sumber-sumber sejarah, baik arsip tulisan maupun gambar soal tentara Jepang saat menduduki Indonesia. Tidak lama memang, hanya tiga tahun dari 1942-1945.
Cerita soal romusha hingga jugunianfu sudah kesohor. Keduanya menggambarkan betapa bengisnya tentara Jepang saat itu. Padahal, awalnya mereka datang dengan segudang janji manis.
Soal kekerasan seksual terhadap perempuan, sejumlah literatur menggambarkan, Jepang lebih ganas dibanding Belanda. Mereka bahkan menganggap berhubungan seksual dengan wanita pribumi sebagai bagian dari rekreasi.
"Kebijaksanaan rekreasi dari ketentaraan diatur sepenuhnya oleh Pusat Komando Tentara Jepang. Bila tentaranya sudah berada di barak-barak dan memerlukan wanita sebagai hiburan, oleh karenanya mereka mengumpulkan wanita-wanita Jawa, khususnya Batavia," tulis R P Suyono dalam bukunya 'Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial.
ADVERTISEMENT
Saat itu, prostitusi secara terbuka dibenarkan oleh ketentaraan Jepang. Sebelum menyasar wanita pribumi, wanita keturunan China dan Korea-lah yang menjadi korban pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya.
Tahun 1942, Jepang memulai praktik prostitusi secara terbuka di Semarang. Awalnya mereka hanya mengincar penduduk etnis China di sana,
Sejumlah pemuda berlatih perang dengan tentara Jepang. (Foto: Wikipedia)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pemuda berlatih perang dengan tentara Jepang. (Foto: Wikipedia)
"Kemudian disusul dengan mengambil wanita-wanita Indonesia dan akhirnya menyusul gadis-gadis Indonesia di daerah lain seperti Surabaya hingga Batavia," ungkap Suyono.
Para wanita pribumi diberikan janji manis oleh para tentara Jepang. Mereka kebanyakan ditawari untuk dikirim ke Saigon menjadi perawat palang merah dan juga menimba ilmu di sana.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, wanita-wanita pribumi dijadikan sebagai penghibur.
Dikutip dari buku Jawa Shimbun, para wanita pribumi yang diiming-imingi menjadi perawat harus menyertakan foto-foto diri. Untuk lebih meyakinkan, ada anak bupati dan wedana yang dijadikan contoh. Anak-anak bangsawan itu disebut Jepang, bersedia berangkat untuk mengikuti pendidikan.
ADVERTISEMENT
Akibat pelacuran yang dipaksakan, banyak terjadi pembunuhan bayi yang tidak dikehendaki. Selain itu, wanita-wanita pribumi banyak yang memilih bunuh diri dibanding harus memuaskan nafsu tentara tentara Jepang.
Sementara itu, tempat pelacuran dapat dianggap sebagai kebijaksanaan yang diterima meskipun sudah pasti tidak aman. Oleh karena itu, mereka juga mengirim perempuan asal negeri mereka sendiri untuk jadi penghibur di Hindia-Belanda.
Mereka biasa disebut karayukisan. Kebanyakan dari mereka merupakan anak petani atau nelayan dari daerah miskin di Jepang. Merekalah yang dijadikan selir tentara atau hanya jadi pelacur di rumah bordil. Semua tergantung otoritas ketentaraan.
Di Batavia sendiri, ada 17 orang pelacur Jepang yang berumur 16 hingga 24 tahun kala itu. "Di Batavia juga terdapat 5 rumah pelacuran yang dikelola orang orang Jepang. Izin tinggal mereka antara 15 bulan hingga 11 tahun," kata Sayono.
ADVERTISEMENT
Jumlah pelacur yang terdaftar di rumah pelacuran pada tahun 1900: Batavia; 400 orang, Semarang: 200 orang, Surabaya: 600 orang
Marayukisan yang terdapat di Nusantara sebelum perang termasuk pendatang yang tidak bersih. Sebagian besar mereka datang secara ilegal dari Singapura.
Pada tahun 1905 di Singapura 1.000 wanita Jepang masuk ke Singapura dengan harga harga yang tinggi. Sebab, mereka dinilai lebih berpengalaman dalam melayani pria.
Pada tahun 1913 pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengatur kehidupan moral dari masyarakatnya karena menjamurnya penyakit kelamin. Mereka juga melarang orang-orang Jepang dan memperketat pengawasan agar mereka tak menjadi pelacur di Batavia.
Jepang juga Menyasar Wanita Belanda.
Selain wanita Asia, Jepang juga menjadikan wanita wanita Belanda sebagai pemuas nafsu. Para tentara Jepang menyiapkan kamp tawanan untuk warga sipil Belanda sebanyak 20 lokasi di Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Kamp tawanan tersebut dimaksudkan sebagai tempat untuk mengumpulkan para wanita dan anak anak Belanda. “Anak-anak juga melihat ibunya diperkosa secara membabi buta.”
Wanita-wanita Belanda hadir di Jawa Tengah secara bertahap. 100 orang pertama dengan kendaraan bus tiba di beberapa daerah seperti Ambarawa dan Simpang Lima. Menyusul kemudian 600 orang lagi dari Surabaya yang tiba pada 23 Oktober 1943.
“Mereka harus tidur di atas tempat tidur kayu dan siap melayani kapan pun tentara Jepang mau,” ucap Suyono.
Ilustrasi prostitusi zaman kolonial. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi prostitusi zaman kolonial. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Penjagaan kamp sangat ketat. Terdiri dari 11 serdadu Jepang di bawah pemimpin 3 bintara dan juga 45 orang prajurit Heiho.
Pemimpin militer Jepang Letnan Jenderal Kshi mengakui, mengizinan para tentara Jepang untuk menyetubuhi 35 orang wanita Belanda dari berbagai daerah seperti Gedangan dan Ambarawa. Di sana mereka dipaksa untuk menjadi pelacur, diperkosa, dan diperlakukan kasar oleh tentara Jepang.
ADVERTISEMENT
“Mereka dipaksa melayani tentara Jepang secara bergantian. Ini yang kemudian menyebabkan tingginya penyakit raja singa,” ungkapnya.