Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Konflik bersenjata yang membara di Sudan antara pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dengan Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) diberitakan oleh berbagai media Barat sebagai perang.
ADVERTISEMENT
Duta Besar Sudan untuk Indonesia, Yassir Mohamed Ali, membantah itu.
“Izinkan saya mengklarifikasi satu poin dan menegaskan kembali bahwa tidak ada perang saudara di Sudan,” kata Ali dalam konferensi pers di kediamannya di Jakarta, Rabu (3/5).
Ali meluruskan, pertempuran berdarah tersebut tak lain merupakan upaya menggulingkan pemerintah demokratis yang berkuasa oleh kelompok pemberontak, atau biasa disebut dengan kudeta.
Diplomat yang baru tiba di Indonesia tiga bulan itu kemudian menceritakan kondisi terkini di negara asalnya.
Menurut Ali, konflik yang pecah pada Sabtu (15/4) pagi beberapa pekan lalu ini terjadi, ketika pasukan RSF mulai meluncurkan serangan terhadap objek-objek vital nasional di Ibu Kota Khartoum — termasuk kediaman Kepala Dewan Penasihat Kedaulatan.
Adapun lokasi kediaman tersebut terletak berdekatan dengan Markas Besar Angkatan Bersenjata SAF. Serangan kemudian berlanjut ke objek vital nasional lainnya, seperti Bandara Internasional Khartoum, Istana Republik (Republican Palace), dan lembaga penyiaran publik National Television and Radio Broadcasting Corporation.
ADVERTISEMENT
Sebagai balasan, SAF yang memiliki tujuan untuk melindungi keamanan nasional dan stabilitas negara pun meluncurkan serangan balik.
Dalam keterangan tertulis yang dirilis oleh Kedutaan Besar Sudan di Jakarta pada Selasa (18/4) lalu, dijelaskan bahwa RSF adalah pihak yang lebih dulu melanggar ketertiban dan keamanan di Sudan.
“Serangan yang dilakukan oleh RSF, ironisnya, terjadi pada hari yang sama dengan jadwal pertemuan antara Kepala Dewan Kedaulatan, Panglima Tertinggi, dan komandan RSF, yang jelas menunjukkan adanya pelanggaran dari pihak RSF,” bunyi keterangan tersebut.
Lebih lanjut, RSF yang dipimpin oleh panglima militer Mohamed Hamdan Daglo atau dikenal luas sebagai Hemedti pun mengaku tidak ingin melakukan negosiasi damai apabila pihak RSF terus meluncurkan serangan.
ADVERTISEMENT
“Mereka hanya memiliki dua pilihan antara terus mempersenjatai diri dan menyerah atau mereka harus menghadapi konsekuensinya,” tutur Ali.
“Saya menyebutnya sebagai kelompok pemberontak yang melawan seluruh negeri dan mereka ingin merebut kekuasaan dengan paksa karena mereka berusaha membunuh Presiden Sudan,” sambung dia.
Sebenarnya, RSF dan SAF pada 2019 sempat bersekutu untuk menggulingkan pemerintahan diktator eks Presiden Omar al-Bashir yang telah berkuasa selama tiga dekade.
Namun, Hemedti dan pemimpin SAF — panglima militer Abdel Fattah al-Burhan kini berselisih akibat perebutan kekuasaan dan usulan pengembalian pemerintahan sipil.
Terbaru, setelah hampir tiga pekan perang berlangsung kedua pihak dikabarkan menyetujui diadakannya gencatan senjata.
Dikutip dari AFP, gencatan senjata ini disepakati setelah Presiden Sudan Selatan Salva Kiir menjembatani pembicaraan kedua pihak, pada Selasa (2/5).
ADVERTISEMENT
“Pada prinsipnya telah menyetujui gencatan senjata tujuh hari dari 4 hingga 11 Mei,” ujar dia.
Menurut Kiir, pihak Hemedti dan al-Burhan juga sepakat untuk menunjuk perwakilan mereka guna melakukan negosiasi damai.