Bulan Suro, Bulan Baik yang Malah Dicap Horor

23 Juli 2023 11:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Malam satu Suro atau malam tahun baru Jawa menjadi momen penting bagi mayoritas masyarakat Jawa. Di malam itu, masyarakat berkontemplasi, merenungi apa yang sudah diperbuat di sepanjang tahun lalu. Seraya merapalkan doa untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, bulan Suro di era modern justru terasosiasi dengan hal-hal menyeramkan atau horor. Film Satu Suro (2019), misalnya, mengisahkan tentang wanita hamil dan suaminya yang kerap diganggu hantu. Bayi tersebut rupanya hendak dilahirkan tepat pada malam satu Suro. Film itu menggambarkan bahwa malam satu Suro adalah hari rayanya makhluk halus.
Film Satu Suro 2019. Foto: IMDb
Dalam jurnal berjudul Mistik Kejawen dalam Film Satu Suro (2021) yang terbit di Indonesian Journal of Cultural and Community Development, film tentang satu Suro justru disebut jauh dari realitas yang sebenarnya. Film tersebut, tulis jurnal itu, syarat akan makna yang dikemas dalam simbol-simbol mistik kejawen yang terkesan hiperbolik.
“Hasil dari analisis bentuk Tanda (Sign), Object, dan Interpretant dari model semiotika Charles Sanders Peirce memunculkan bentuk hiperrealitas mistik kejawen yang sudah tergambar jelas setelah mengetahui dari berbagai macam tanda yang tidak lagi mengacu pada realitas sesuai nalar dan menciptakan realitas baru yang tidak ada keterkaitannya dengan wujud realitas yang sebenarnya,” tulis jurnal tersebut.
ADVERTISEMENT

Malam Satu Suro Tak Menyeramkan

Suasana kirab malam 1 Suro di Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (18/7) Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Pada 17 dan 18 Juli 2023 kemarin, kami mendatangi dua tempat peringatan malam satu Suro. Tempat pertama adalah Gunung Merapi, tepatnya di Dukuh Temusari, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sementara tempat kedua adalah Keraton Yogyakarta. Alih-alih terkesan horor, dua tempat tersebut justru terasa khidmat dan penuh kedamaian.
Kami lalu menemui Plt Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Sri Ratna Saktimulya, di kampus UGM. Kedatangan kami tak lain untuk berdiskusi tentang makna malam satu Suro yang kini bergeser ke hal-hal menyeramkan. Menurut Sakti, kisah horor pada satu Suro sengaja diciptakan industri demi komersialisasi.
"Mungkin ada pengaruh sensasi. Kalau Suro dengan sesuatu yang mistis produknya menjadi laku. Misal, itu produk sinetron atau mencari sesuatu yang wow lalu menjadi viral. Laku kan seperti itu," kata Sakti saat ditemui di Kantor Pusat Kebudayaan UGM, Kamis (20/7).
Plt Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Sri Ratna Saktimulya. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Dosen Sastra Jawa UGM itu mencontohkan bagaimana lagu Lingsir Wengi saat ini dipandang menyeramkan. Padahal, kata dia, arti lagu tersebut berisi kerinduan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelusuran kami, lagu Lingsir Wengi yang mengisahkan kerinduan diciptakan oleh seniman asal Solo bernama Sukap Jiman pada 1995. Namun jauh sebelum itu, Sunan Kalijaga juga lebih dulu membuatnya dengan lirik yang sedikit berbeda.
"Sebagai contoh lagu Lingsir Wengi itu lalu menjadi heboh karena dimainkan sinetron atau film-film horor. Ketika orang mendengar lingsir wengi itu adalah horor. Padahal kalau kita mencermati teksnya itu bukan horor, itu lagu kerinduan, cinta," katanya.
Sakti lalu bercerita tentang sebuah naskah kuno yang ditulis sekitar 1840-an. Naskah tersebut, kata Sakti, bercerita tentang awal sebuah perjalanan. Alkisah, lanjutnya, Sutowijoyo [seorang senopati di Mataram] hendak melakukan perluasan wilayah ke Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, kata dia, Sutowijoyo berkonsultasi dengan Sunan Giri. Nah, Sunan Giri menyarankan perjalanan itu dimulai pada satu Suro.
ADVERTISEMENT
"Berarti satu Suro menjadi sesuatu yang penting. Zaman sekarang ada istilah bulan Suro banyak makhluk yang menghalangi, tapi di naskah kuno itu berbeda justru mengatakan perjalanan dimulai di satu Suro," katanya.
Suasana kirab malam 1 Suro di Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (18/7) Foto: Arfiansyah Panji/kumparan
Menurut Sakti, satu Suro pada dasarnya adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Bulan pertama itu juga bertepatan dengan satu Muharam dalam kalender hijriah. Kalender Jawa itu, kata Sakti, merupakan kalender yang diciptakan Sultan Agung yang bertahta 1613-1645. Tradisi malam satu Suro pun, kata dia, sudah biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa, khususnya bekas Mataram Islam.
Peringatan malam satu Suro, kata Sakti, juga jauh dari kesan menakutkan. Momen pergantian tahun itu, lanjut dia, justru merupakan momentum bagi masyarakat untuk berkaca pada diri sendiri atau berkontemplasi.
Suasana peringatan malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7). Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Di sejumlah tempat, kata Sakti, mungkin memang ada sedikit pergeseran berupa acara tambahan seperti pertunjukan wayang kulit. Namun menurutnya hal itu tak mengubah esensi bahwa malam satu Suro adalah waktunya untuk berdoa.
ADVERTISEMENT
Kesan mistis di malam Suro mungkin tampak makin kuat dengan hadirnya sesaji. Namun, apa makna sesungguhnya sesaji ini? Menurut Sakti, sesaji itu adalah simbol dari keikhlasan.
"Mengapa ada sesaji di bulan Suro terutama di malam Suro? Itu bentuk tadi merupakan satu simbol bahwa saya menyerahkan ada bunga, ada pisang dan beberapa ubo rampe yang lainnya itu menunjukkan bahwa ikhlas. Saya melakukan ini dengan tulus, saya tunjukan pada Tuhan yang maha pencipta," katanya.
"Ketika merangkai sajen diharapkan semuanya bersih jiwa raga. Yang ada nyuwun memohon kepada Tuhan agar selamat," pungkasnya.