Bullying hingga Kekerasan Seksual Jadi Catatan Kelam di Sekolah pada 2022

2 Januari 2023 14:58 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bullying atau perundungan, kekerasan seksual, hingga intoleransi masih terjadi di dunia pendidikan. Pencegahan harus segera dilakukan. Jangan sampai dunia pendidikan malah menjadi tempat tak menyenangkan bagi anak.
ADVERTISEMENT
“Melindungi anak-anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan adalah tanggungjawab semua pihak, tak hanya pemerintah,” ujar Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo dalam keterangannya, Senin (2/1).
Dalam catatan FSGI, 3 dosa besar di pendidikan adalah istilah sekaligus bentuk pengakuan negara melalui Mendikbud Nadiem Makarim bahwa, di pendidikan masih terus terjadi berbagai bentuk kekerasan, yaitu Perundungan, Kekerasan Seksual dan Intoleransi. Bahkan, KemendikbudRistek.
Tak hanya mengakui 3 dosa besar di pendidikan, namun juga secara serius ingin menghapusnya dari dunia pendidikan di antaranya dengan membentuk POKJA pencegahan dan penanganan kekerasan di pendidikan, yang lingkup kerjanya mulai jenjang PAUD sampai Perguruan Tinggi (PT).
“Sejauh ini tercatat bahwa sejumlah kasus kekerasan dan pelanggaran hak anak di pendidikan tertangani dengan baik oleh Pokja KemendikbudRistek, seperti kasus penggusuran SDN Pondok Cina 01 Kota Depok, kasus kekerasan terhadap anak di SMK Dirgantara Batam, kasus dugaan pemaksaan jilbab di SMAN 1 Banguntapan Bantul, dan masih banyak lagi," ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.
Ilustrasi siswa di Jakarta, berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Ruud Suhendar/Shutterstock
Berikut Catatan FSGI:
ADVERTISEMENT
Kasus Kekerasan Seksual Di Satuan Pendidikan Sepanjang 2022
Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh FSGI diperoleh jumlah total kasus Kekerasan Seksual di satuan pendidikan yang sampai pada proses hukum pada tahun 2022 total sejumlah 17 kasus, ternyata terjadi penurunan sedikit dibandingkan tahun 2021 yang berjumlah 18 kasus.
Berdasarkan jenjang Pendidikan sepanjang 2022, kasus kekerasan terjadi di Jenjang Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2 (kasus, jenjang SMP sebanyak 3 kasus, jenjang SMA 2 kasus, Pondok Pesantren 6 kasus , Madrasah tempat mengaji/tempat ibadah 3 kasus; dan 1 tempat kursus musik bagi anak usia TK dan SD. Rentang usia korban antara 5-17 tahun.
“Korban berjumlah 117 anak dengan rincian 16 anak laki-laki dan 101 anak perempuan. Sedangkan pelaku total berjumlah 19 orang yang terdiri dari : 14 guru, 1 pemilik pesantren, 1 anak pemilik pesantren, 1 staf perpustakaan, 1 calon pendeta, dan 1 kakak kelas korban. Adapun rincian guru yang dimaksud di antaranya adalah guru Pendidikan agama dan Pembina ekskul, Pembina OSIS, guru musik, guru kelas, guru ngaji, dll. Dari total 19 pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan, 73,68% berstatus guru”, ungkap Retno yang merupakan Komisioner KPAI periode 2017-2022.
ADVERTISEMENT
Modus pelaku kekerasan seksual di satuan Pendidikan di antaranya adalah sebagai berikut : mengisi tenaga dalam dengan cara memijat, memberikan ilmu sakti (Khodam), dalih mengajar fikih akil baliq dan cara bersuci, mengajak menonton film porno, mengancam korban dikeluarkan dari keanggotaan ekstrakurikuler, melakukan pencabulan saat proses kegiatan pembelajaran, memaksa korban melakukan aktivitas seksual dalam ruangan kosong dan toilet satuan Pendidikan, dalih tes kedewasaan dan kejujuran dalam pemilihan pengurus OSIS, pelaku mengirimkan konten pornografi melalui WhatsApp kepada anak/korban yang meminjam buku di perpustakaan, dll.
Sedangkan menurut wilayah kejadian terdiri dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Bekasi dan Kota Depok (Provinsi Jawa Barat); Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang dan Kabupaten Kediri (Provinsi Jawa Timur); Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang (Provinsi Banten); Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang (Provinsi Jawa Tengah); Kabupaten Karimun (Provinsi Kepulauan Riau) dan kabupaten Alor (NTT).
ADVERTISEMENT
Adapun contoh kasus kekerasan seksual tahun 2022, di antaranya kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oknum staf perpustakaan berjenis kelamin laki-laki berinisial DP berusia 30 tahun, sementara korban berjumlah tiga orang, yaitu berinisial AC, AK, dan RH yang masih berusia 15 tahun. Modus pelaku adalah mengirimkan konten porno melalui WhatsApp kepada anak/korban yang menjadi target sasaran yang nomor whatsApp diperoleh saat korban meminjam buku.
Kasus kekerasan seksual yang menimbulkan jumlah korban terbesar tahun 2022, yaitu mencapai 45 siswi bahkan 10 di antaranya diduga mengalami perkosaan, terjadi di salah satu SMPN di kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pelaku adalah oknum guru agama yang juga menjabat sebagai pembina OSIS. “Modus pelaku adalah terlibat aktif dalam seleksi pemilihan pengurus OSIS yang kemudian menggunakan dalih tes kejujuran dan kedewasaan untuk dapat melakukan kejahatan seksual pada 45 siswi yang mengikuti pemilihan pengurus OSIS tersebut, bahkan kejahatan seksual dilakukan di lingkungan sekolah”, ungkap Retno lagi.
ADVERTISEMENT
Kasus Perundungan Di Satuan Pendidikan Sepanjang 2022
(Ditampar, Disuruh Makan Sampah Sampai Kepala Dibenturkan Tembok 100X)
Pada tahun 2022 ada sejumlah kasus perundungan berupa bully dan kekerasan fisik yang terjadi di dunia pendidikan, baik yang dilakukan oleh pendidik maupun sesama peserta didik, bahkan sampai korban meninggal dunia, seperti kematian salah satu santri di Ponpes Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur yang meninggal pada 22 Agustus 2022, karena diduga ada tindak kekerasan yang dilakukan kakak kelasnya. Ada juga kematian peserta didik akibat perundungan di salah satu MTs Negeri di Kotamubagu, Sulawesi Utara pada Juni 2022 yang diduga mengalami perundungan fisik dari 9 temannya.
“Bahkan ada seorang santri di salah satu Ponpes di Rembang yang disiram pertalite dan dibakar kakak kelasnya saat sedang tidur, hingga korban mengalami luka bakar yang parah”, ungkap Retno yang pernah menjabat Kepala SMAN 3 Jakarta.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelumnya, pada Januari 2022, seorang guru olahraga di salah satu SMPN di Kota Surabaya melakukan kekerasan terhadap salah satu siswanya di depan kelas saat pembelajaran, disaksikan oleh teman sekelasnya. Salah satu siswa di kelas tersebut tampaknya merekam kejadian tersebut dan videonya tersebar. Video kekerasan guru tersebut pun kemudian viral di media sosial dan jadi bahan pembicaraan publik. Orang tua korban menyatakan anaknya mengalami tekanan, ada perubahan perilaku anaknya setelah mengalami kekerasan di sekolah.
Masih di Januari 2022, seorang guru SD Negeri di Buton, Sulawesi Tenggara, dilaporkan ke polisi karena diduga menghukum belasan siswanya dengan menyuruh mereka makan sampah plastik. Sejumlah orang tua murid di sekolah tersebut mendatangi kantor Polres Buton untuk melaporkan guru berinisial MS. Guru ini diduga menghukum 16 siswanya makan sampah plastik. Peristiwa ini terjadi saat MS yang tengah mengajar, mendengar keributan dari kelas sebelah tempat MS mengajar. MS pun meminta para murid untuk menunggu gurunya dengan tenang. Namun karena anak-anak kembali ribut, MS menghukum 16 siswa dengan memakan sampah plastik. Sejumlah siswa korban mengalami trauma dan enggan masuk ke sekolah karena takut.
ADVERTISEMENT
Februari 2022, beredar video seorang siswa SMPN di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur viral di media sosial. Siswa yang diketahui bernama IF (15) ini, dihukum benturkan kepala ke tembok kelas oleh gurunya. Imanuel Frama merupakan siswa kelas IX, SMPN Satu Atap Nunkurus. IF disuruh benturkan kepala 100 kali ke tembok oleh guru mata pelajaran pendidikan jasmani, berinisial KL. Selain itu, IF juga disuruh bersihkan WC dan saling cubit telinga dengan teman lain yang juga dihukum. Alasan guru menghukum karena siswanya tidak mengumpulkan kembali buku cetak. Kasus ini dilaporkan keluarga korban ke Kepolisian dan diproses hukum.
Maret 2022, Polres Pasuruan memeriksa 13 orang saksi terkait kasus dugaan penganiayaan 2 pelajar salah satu SMP swasta berasrama. Lima saksi di antaranya para pelajar terduga pelaku penganiayaan. Pemeriksaan terhadap 13 orang saksi tersebut dilakukan setelah petugas menerima laporan adanya dugaan penganiayaan terhadap dua pelajar kelas 9 SMP Swasta, yakni DLH dan FG yang terjadi di asrama sekolah. Ironisnya Kepala Asrama Sekolah AB mengaku pihak sekolah awalnya tidak mengetahui adanya kasus dugaan penganiayaan tersebut. Korban diduga kuat mengalami penganiayaan oleh seniornya hingga mengalami luka cukup parah di punggungnya dan terdapat luka memar bekas pukulan dan sulutan rokok.
ADVERTISEMENT
Mei 2022, Ms (10), seorang siswi SDN di Samarinda, Kalimantan Timur, diduga diusir oleh gurunya dari ruang kelas saat ujian sedang berlangsung, Ia diusir karena tidak ikut kegiatan belajar mengajar saat online karena tidak memiliki telepon genggam dan seragam sekolah. Ms merupakan piatu, ibunya sudah meninggal dunia sementara ayahnya di penjara, Ms tinggal dengan tantenya.
Kekerasan fisik dan pembullyan masih terus terjadi di satuan Pendidikan yang dilakukan oleh pendidik dikarenakan dalih mendisiplinkan. Jika merujuk pada kasus-kasus perundungan yang terjadi sepanjang 2022, alasan mengapa guru mendisiplinkan dengan kekerasan yaitu : peserta didik ribut saat di kelas, siswa tidak mengembalikan buku cetak yang dipinjamkan sekolah, siswa tidak bisa menjawab pertanyaan guru, dan siswa tidak ikut pembelajaran. “Namun pelaku perundungan di satuan Pendidikan selama tahun 2022 lebih didominasi peserta didik terhadap peserta didik lainnya”, pungkas Retno.
ADVERTISEMENT
Kasus Intoleransi di Satuan Pendidikan
Menurut pemantauan FSGI, kondisi saat ini literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik. Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi misalnya pelarangan dan pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain.
FSGI mencatat bahwa sejak 2014 sampai dengan 2022 tercatat sejumlah kasus intoleransi yang terjadi di satuan pendidikan, seperti pelarangan peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala sebanyak 6 kasus (2014-2022); pemaksaan (mewajibkan) peserta didik menggunakan jilbab/kerudung sejumlah 17 kasus (2017-2022); diskriminasi kesempatan peserta didik dari agama minoritas untuk menjadi Ketua OSIS ada 3 kasus (2020-2022); dan kewajiban salat dhuha sehingga sejumlah peserta didik perempuan harus membuka celana dalamnya untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan benar sedang haid/menstruasi sejumlah 2 kasus (2022).
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus tersebut terjadi di Rokan Hulu (Riau), Banyuwangi (Jawa Timur), Sragen (Jawa Tengah), Bantul dan Gunung Kidul (D.I. Yogyakarta), Kota Padang (Sumatera Barat), Kota Tangsel (Banten), Kota Depok, Kabupaten Bogor dan Kab. Bandung (Jawa Barat), Denpasar dan Singaraja (Bali), Maumere (NTT), Manokwari (Papua), dan DKI Jakarta.
Sekolah negeri merupakan lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh negara dan dioperasikan menggunakan anggaran negara secara langsung maupun tidak, baik melalui APBD maupun APBN yang dihimpun dari pembayaran pajak yang disetorkan oleh seluruh warga negara yang beragam. “Umumnya sekolah-sekolah negeri siswanya pasti beragam agama, suku dan status sosial, oleh karena itu kebijakan sekolah negeri juga harus menghargai keberagaman, tidak menyeragamkan,”tegas Heru Purnomo yang juga Kepala SMPN di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Heru menambahkan,”Seharusnya tidak ada lagi sekolah-sekolah negeri yang memaksakan siswinya memakai jilbab. Sebab hal itu bertentangan dengan kebinekaan Indonesia yang mesti dijunjung, dirawat dan dikokohkan. Apalagi Pendidikan secara prinsip harus berorientasi pada kepentingan siswa, nonkekerasan dari simbolik, verbal hingga tindak kekerasan lainnya”.
Rekomendasi
1. FSGI mendorong satuan pendidikan harus memberikan jaminan perlindungan dan rasa aman kepada semua anak sebagaimana diamanatkan oleh pasal 54 UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di satuan pendidikan;
2. FSGI mendorong KemendikbudRistek, Kementerian Agama dan Dinas-dinas Pendidikan untuk bersinergi melakukan pembenahan sumber daya manusia (SDM) dan perubahan mindset tenaga pendidik terkait bahaya kekerasan terhadap anak. Mengingat pendekatan kekerasan dalam Pendidikan sering kali ditiru anak-anak untuk melanggengkan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, maka pendekatan dalam pembelajaran harus ramah anak dan berbasis disiplin positif;
ADVERTISEMENT
3. FSGI mendorong semua stakeholder Pendidikan, baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat untuk memperkuat dan menciptakan 3 area dalam ekosistem pembelajaran harus berintegrasi, artinya selain pihak sekolah, peran keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus mendukung pencegahan kekerasan;
4. FSGI mendorong sistem pelatihan bagi pendidik dan Kepala Sekolah secara masif dan berkesinambungan untuk menginternalisasi dan penguatan skill bagaimana mengembangkan literasi dan moderasi beragama di lingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas.
Jakarta, 2 Januari 2023