Buntut Protes Kematian Mahsa Amini, Iran Bubarkan Polisi Moral

5 Desember 2022 10:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koran dengan gambar sampul Mahsa Amini, seorang wanita yang meninggal setelah ditangkap oleh "polisi moral" republik Islam terlihat di Teheran, Iran. Foto: Majid Asgaripour/WANA via Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Koran dengan gambar sampul Mahsa Amini, seorang wanita yang meninggal setelah ditangkap oleh "polisi moral" republik Islam terlihat di Teheran, Iran. Foto: Majid Asgaripour/WANA via Reuters
ADVERTISEMENT
Iran membubarkan unit polisi moral yang menerapkan aturan berpakaian ketat pada Minggu (4/12).
ADVERTISEMENT
"Polisi moralitas tidak ada hubungannya dengan peradilan dan telah dihapuskan," jelas Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri, dikutip dari AFP, Senin (5/12).
Langkah pembubaran merupakan konsesi langka dalam menangani gerakan protes di negara tersebut. Pihak berwenang juga mengakui dampak krisis ekonomi yang dipicu sanksi Amerika Serikat (AS) atas tindakan keras petugas keamanan selama protes di Iran.
"Cara terbaik untuk menghadapi kerusuhan adalah dengan memperhatikan tuntutan nyata rakyat," terang juru bicara Dewan Presidium Parlemen Iran, Seyyed Nezamoldin Mousavi.
Demonstrasi melanda negara itu selama hampir tiga bulan. Aksi ini dipicu kematian perempuan etnis Kurdi berusia 22 tahun, Mahsa Amini, yang ditangkap otoritas lantaran menampilkan sedikit rambut saat mengenakan hijab.
Setelah diduga mengalami penyiksaan dalam tahanan polisi moral, Amini meninggal dunia usai koma pada 16 September.
Sebuah sepeda motor polisi terbakar saat protes kematian Mahsa Amini, di Teheran, Iran, Senin (19/9/2022). Foto: WANA via REUTERS
Selama demonstrasi berlangsung, para perempuan melepas dan membakar hijab. Demonstran turut meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah. Semakin banyak perempuan sudah tidak mengenakan hijab mereka pula, khususnya di beberapa bagian Teheran.
ADVERTISEMENT
Pihak berwenang menggambarkan gerakan yang dipimpin perempuan tersebut sebagai 'kerusuhan'. Otoritas mengatakan, lebih dari 300 orang tewas dalam 'kerusuhan' itu per Senin (5/12).
Organisasi HAM, Iran Human Rights (IHR), pekan lalu menyebut setidaknya 448 orang dibunuh pasukan keamanan Iran. Ribuan lainnya ditangkap, termasuk aktor dan pemain sepak bola terkemuka.
Berita tentang pembubaran unit polisi moral lantas ditanggapi dengan kecurigaan. Sebagian masyarakat menduga peran unit tersebut akan diambil alih unit lain. Mereka mengatakan, tekanan sosial yang kuat pun masih terasa di dalam negeri.
Para pengunjuk rasa meneriakkan peringatan untuk Mahsa Amini, wanita yang meninggal dalam tahanan polisi bulan lalu, di aula masuk Universitas Teknologi Khajeh Nasir Toosi di Teheran, Iran, Rabu (26/10/2022). Foto: Reuters
Otoritas telah memantau aturan berpakaian ketat sejak Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan monarki Iran yang didukung AS.
Namun, polisi moral pertama kali didirikan selama pemerintahan mantan presiden garis keras, Mahmoud Ahmadinejad.
ADVERTISEMENT
Dia meresmikan Gasht-e Ershad atau 'Patroli Bimbingan' untuk menyebarkan 'budaya kesopanan dan hijab' di negaranya.
Dewan Tertinggi Revolusi Kebudayaan (SCCR)—yang sekarang dipimpin Presiden Iran, Ebrahim Raisi—mengatur unit-unit yang mulai berpatroli di jalanan sejak 2006.
Polisi moral mewajibkan perempuan memakai pakaian panjang, serta melarang celana pendek dan pakaian lain yang dianggap tidak sopan.
Ilustrasi polisi Iran. Foto: AFP/ATTA KENARE
Sehari sebelum pembubaran unit tersebut, Montazeri mengabarkan parlemen maupun kehakiman sedang meninjau ulang undang-undang yang mewajibkan hijab.
"Ada metode penerapan konstitusi yang bisa fleksibel," ungkap Raisi pada Sabtu (3/12). Aturan wajib hijab mulai berlaku di Iran pada 1983.
Petugas polisi awalnya mengeluarkan peringatan sebelum mulai menindak dan menangkap para perempuan. Peran unit ini kemudian semakin berkembang, tetapi selalu mengundang kontroversi.
ADVERTISEMENT
Norma berpakaian sendiri berangsur-angsur berubah, terutama di bawah mantan presiden moderat, Hassan Rouhani. Kala itu, perempuan kerap memakai jeans ketat dan kerudung berwarna-warni.
Aturan tersebut kembali berubah ketika Presiden Ebrahim Raisi yang ultra-konservatif mengambil alih pemerintahan pada Juli. Dia menyerukan mobilisasi semua lembaga negara untuk menegakkan hukum hijab.