Bunuh Diri dalam Sejarah Yunani Kuno

22 Maret 2019 16:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Matinya Socrates. Foto: Wikipedia
zoom-in-whitePerbesar
Matinya Socrates. Foto: Wikipedia
ADVERTISEMENT
Sejarah kesulitan mengungkap siapa manusia di bumi yang pertama kali bunuh diri. Meski demikian, dunia mencatat adanya seorang filsuf yang bunuh diri pada abad ke-4 SM. Filsuf itu bernama Socrates yang menenggak racun untuk mengakhiri hidupnya.
ADVERTISEMENT
Kematian Socrates lantas mengingatkan bahwa bunuh diri telah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Jejaknya dapat kita baca dan lihat. Kenapa filsuf tersebut bunuh diri?
Bunuh diri di mata para filsuf
Dalam sistem hukum Yunani kuno, bunuh diri adalah hal yang dianggap salah. Jika ada orang yang bunuh diri, maka jenazah orang itu tak akan dikubur selayaknya orang normal. Yang terjadi, jenazahnya akan disingkirkan ke pinggiran kota. Dikubur tanpa adanya batu nisan.
Aturan semacam itu diamini oleh sejumlah filsuf. Phytaghoras misalnya, begitu percaya bahwa jiwa orang yang meninggal akan berpindah ke tubuh lainnya. Untuk itu, dia melihat hidup seorang manusia sebagai sesuatu yang sakral. Saking sakralnya, manusia tidak boleh merenggut kehidupannya secara paksa dengan bunuh diri
Patung filsuf Plato di Yunani. Foto: Shutter Stock
Plato, dalam ‘Laws’ pun berkata demikian. Dia menyebut orang yang bunuh diri sebagai hasil dari roh pengecut yang pemalas dan hina. Alasannya sederhana, karena dengan bunuh diri, manusia telah melarikan diri dari kehidupan yang sudah diberikan oleh para dewa.
ADVERTISEMENT
Memang, ada sejumlah kondisi manakala bunuh diri itu diizinkan dalam uraian Plato. Salah satunya adalah bunuh diri yang terjadi sebagai respons atas hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan. Dalam hal ini seperti gurunya, Socrates, yang mendahului vonis hukuman mati dengan cara membunuh dirinya sendiri.
Socrates yang mempraktikkan bunuh diri di Athena pun sebetulnya tak sepakat dengan bunuh diri. Para sahabatnya, Cebes, Simmias, hingga Crito tahu betul bahwa Socrates kerap mengutuk aksi tersebut. Adapun aksi bunuh diri yang dilakoninya adalah penghormatan terhadap pengadilan Athena yang memintanya untuk mati.
Beda pendapat soal bunuh diri
Meski banyak filsuf yang tak sepakat dengan bunuh diri, itu bukan berarti semuanya setuju. Sebaliknya, ada sejumlah pemikir yang menganggap bunuh diri sebagai hal yang lumrah. Mereka ini adalah musuh bebuyutan Socrates dan Plato. Mereka lalu dikenal sebagai kaum sofis.
ADVERTISEMENT
Kaum sofis ini unik. Meski mereka bekerja untuk negara, mengajari para politikus untuk berdebat dan berorasi, mereka sebetulnya tak lagi peduli dengan nilai-nilai agung Athena. Selama ini, mereka berkeyakinan bahwa manusia adalah ukuran dari segala-galanya.
Ilustrasi Sofis di Yunani. Foto: Dok. NYPL Digital Collections
Salah seorang dari kaum sofis ini adalah Epicurus. Dia memandang bahwa bunuh diri sebagai hal yang lumrah dilakukan saat orang menderita. Dia merujuk pada kehendak bebas yang dimiliki setiap orang. Sejauh kehendak bebas itu ada, orang bebas menentukan kehidupannya sendiri.
"Aku keluar dari teater kehidupan ketika drama telah berhenti untuk menyenangkan kita." kata Epicurus.
Argumentasi Epicurus itu lalu dibantah oleh Aristoteles. Itu karena, betapa pun kehendak bebas itu ada, itu bukan berarti seseorang berhak menghabisi hidupnya. Dalam ‘Nichomachean Ethic’, Aristoteles menjabarkan bahwa bunuh diri menyangkut urusan keadilan. Sesuatu yang lebih agung daripada kebebasan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Bagi Aristoteles, orang-orang yang melakukan bunuh diri telah menciptakan ketidakadilan. Ketidakadilan itu tercipta lantaran masyarakat di Yunani percaya bahwa bunuh diri adalah hal yang keliru, dan kepercayaan atas itu telah dijadikan sumber hukum di tengah masyarakat.
Patung Aristoteles Foto: Pixabay
Sejarah kesulitan mengungkap siapa manusia di bumi yang pertama kali bunuh diri. Meski demikian, dunia mencatat adanya sMaka, orang yang bunuh diri sama saja telah bersikap tak adil terhadap masyarakat. Bunuh diri telah menciptakan luka di masyarakat yang selama ini percaya bahwa hidup adalah sesuatu yang sakral.
Dalam uraiannya pula, Aristoteles menyindir pemuda Athena yang kerap putus asa karena cintanya ditolak wanita. Dunia jelas lebih luas daripada memikirkan hal-hal sebetulnya bisa dihadapi dengan lebih gagah berani.
ADVERTISEMENT
‘Menjemput kematian agar dapat keluar dari kemiskinan, kepedihan cinta, atau dari kesakitan, kesedihan, bukanlah tindakan dari pria pemberani, melainkan dari pengecut,” kata Aristoteles.