Busyro di Sidang MK: Revisi UU KPK Upaya Sistematis Tolak Pemberantasan Korupsi

12 Februari 2020 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Busyro Muqoddas. Foto: Antara/Fanny Octavianus
zoom-in-whitePerbesar
Busyro Muqoddas. Foto: Antara/Fanny Octavianus
ADVERTISEMENT
Mantan pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, menjadi ahli dalam gugatan terhadap UU KPK versi revisi di Mahkamah Konstitusi (MK). Busyro menjadi ahli untuk pemohon nomor 70/PUU-XVII/2019.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang tersebut, Busyro menyatakan UU KPK versi revisi merupakan produk hukum yang melemahkan pemberantasan korupsi secara sistematis.
"Ada upaya sistematis menolak gerakan pemberantasan korupsi," ujar Busyro di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (12/2).
Busyro mengatakan, upaya sistematis pelemahan itu terlihat dari dua hal yakni penempatan KPK dalam rumpun eksekutif dan keberadaan Dewan Pengawas (Dewas).
Busyro menyebut, penempatan KPK dalam rumpun eksekutif sesuai Pasal 1 ayat (3) UU versi revisi tidak sesuai dengan teori ketatanegaraan kontemporer. Dalam ketatanegaraan kontemporer, kata Busyro, kedudukan lembaga independen sejajar dengan trias politika yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Sehingga lembaga independen sebagai cabang kekuasaan keempat.
"Atas dasar hal tersebut bahwa KPK (seharusnya) bukan bagian eksekutif, tapi lembaga negara independen yang kedudukannya sejajar dengan trias politika," ucapnya.
Suasana sidang putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Menurut Busyro, penempatan KPK sebagai lembaga independen bertujuan agar pemberantasan korupsi tidak terjebak konflik kepentingan, terutama ketika menangani kasus besar yang melibatkan rezim kekuasaan.
ADVERTISEMENT
"Kasus-kasus besar yang sudah mulai di KPK seharusnya bisa dituntaskan, sampai sekarang terhambat misal kasus e-KTP, hambalang, BLBI, dan kasus struktural lain. Misalnya kasus menyangkut mega proyek Meikarta yang sudah diproses. Bahkan tidak mustahil kasus mega infrastruktur lain akan terancam dari pengaruh dari intensitas kekuatan korup. Dan saya sebagai ahli sangat khawatir mengenai proyek pemerintahan kita, misal rencana pemindahan ibu kota negara," jelas Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah itu.
Sementara keberadaan Dewas, menurut Busyro, tidak sesuai tujuan pengawasan dan memperlambat penanganan perkara. Busyro menyebut tak sesuainya tujuan Dewas sebagai pengawas, karena dalam kenyataannya diberi kewenangan penegakan hukum, seperti pemberian izin penyadapan hingga penggeledahan.
"Dewas tidak tepat diberikan kewenangan pro justicia. Sehingga akan merusak esensi pengawasan itu sendiri," kata Busyro.
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Sementara dari segi penanganan perkara, kata Busyro, keberadaan Dewas justru memperlambat.
ADVERTISEMENT
"Selama ini tugas-tugas penyelidikan, penyidikan, diperlukan penyadapan. Penyadapan perlu proses yang secure, tepat, dan cepat. Selama ini tidak melalui proses administrasi dan birokrasi yang panjang," ucap Busyro.
"Dalam konteks ini Dewas hadir memperlambat proses itu. Sangat tidak mustahil kekhawatiran terjadinya kebocoran dan pembocoran sangat mungkin justru di antaranya karena ada Dewas yamg memiliki kewenangan pro justicia," lanjutnya.
Salah Orientasi Pegawai KPK sebagai ASN
Di tempat yang sama, ahli hukum administrasi, Ridwan, mengatakan UU versi revisi yang mewajibkan pegawai KPK sebagai ASN salah kaprah.
Ridwan mengatakan, dalam UU ASN, fungsi ASN memberi pelayanan publik. Hal tersebut tidak dapat disamakan dengan fungsi pegawai KPK dalam penegakan hukum. Sehingga Ridwan berpendapat, pegawai KPK perlu spesifikasi tersendiri dan tidak perlu menjadi ASN.
ADVERTISEMENT
"ASN orientasinya pelayanan publik dan ada keharusan monoloyalitas pada pemerintah yang mengganggu independensi," kata Ridwan.