Butet Jadi Motivator Atlet Usai Pensiun: Kurangin Main HP dan Pacaran

28 Juni 2019 11:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Liliyana Natsir pada acara salam perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Liliyana Natsir pada acara salam perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
“Kalau mau jadi atlet kelas dunia kerja keras. Jangan makan pedes, kurangin main handphone. Kalau lagi latihan bilang ke pacar-pacarmu, jangan hubungi aku dulu, matiin handphone,” kata Liliyana Natsir kepada seorang pebulutangkis junior di PB Djarum.
ADVERTISEMENT
Tak ada yang berubah dari wajah Butet-sapaan Liliyana Natsir- saat memotivasi junior-juniornya itu. Meski sudah setengah tahun pensiun, aura ‘garang’ atlet asal Manado itu masih begitu terasa.
Butet kini ditugasi oleh PB Djarum sebagai motivator untuk atlet-atlet muda yang bernaung di PB Djarum. Kesehariannya ia memberikan semangat untuk mereka yang ingin menjadi atlet kelas dunia.
Juara All England tiga kali berturut-turut itu masih harap-harap cemas, menantikan lahirnya suksesor dirinya di panggung badminton. Tak sedikit pencinta badminton yang menyayangkan, Butet pensiun di tengah kondisi belum ada atlet perempuan yang menonjol
Liliyana Natsir. Foto: Rafael Ryandika/ kumparan.
Namun di balik itu, Butet punya misi mulia. Baginya, semua harus dipaksakan, demi harumnya Indonesia di pentas dunia.
Ia meyakini nama-nama seperti Debby Melati hingga Winny Oktavina Kandow akan menjadi napas baru di olahraga bulu angsa. Butet juga melihat, klub-klub di Indonesia akan melahirkan jawara-jawara baru yang menyamai atau bahkan melebihi prestasinya.
ADVERTISEMENT
Namun sekali lagi Butet memperingatkan kepada mereka, semua itu bisa terjadi dengan kerja keras dan tekad membara.
Kepada kumparan, atlet kelahiran 9 September 1985, berbagi cerita soal resep menjadi juara dunia hingga sisi-sisi menarik lainnya. Mari simak wawancara lengkap kumparan dengan Butet di GOR PB Djarum, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (21/6).
Pebulu tangkis Indonesia Liliyana Natsir melambaikan tangan saat pesta perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Bagaimana momen meraih perunggu di Asian Games 2018 kemarin?
Ya kalau ngomongin Asian Games pasti saya penginnya menyumbangkan medali emas ya, untuk Indonesia. Tapi ya saya dan Owi sudah berusaha maksimal dan memang kita hanya mendapat perunggu. walaupun di tahun 2004 saya dan Nova dapat perak.
Ya memang sedikit kecewa karena saya pengin dapat medali emas tapi saya harus bersyukur juga karena selain Asian Games saya bisa berprestasi di Olimpiade dan kejuaraan dunia. Itu yang paling penting.
ADVERTISEMENT
Dari awal memang pengennya Asian Games jadi pertandingan terakhir?
Memang sejujurnya seperti yang udah sering Saya ceritain waktu setelah Olimpiade 2016 itu saya memang tadinya udah berpikir untuk pensiun. Tapi ada satu dan lain hal, ngobrol dengan pelatih dengan keluarga dan dengan Owinya sendiri juga merasa kita masih bisa dan masih yakin berprestasi, saya mengurungkan niat untuk pensiun di setelah Olimpiade Rio itu. Jadi saya nambah 2 tahun lagi di sampai 2019 awal.
Dan memang kebetulan di tenggang waktu itu ada Asian Games dan kita menjadi tuan rumah. Jadi itu satu motivasi saya juga untuk menunda pensiun sampai di 2019 kemarin.
Bonus Asian Games kemarin untuk apa?
Kalau saya bersyukur karena orang tua juga mengarahkan saya dari awal saya dapat uang dari bulutangkis, saya diajarkan untuk berinvestasi. Jadi saya investasi untuk membeli properti untuk biar setelah berhenti itu saya punya aset-aset yang bisa ada kenaikan-lah.
ADVERTISEMENT
Setelah pensiun, sekarang fokus jadi pelatih?
Enggak sekarang kebetulan saya dipercaya oleh PB Djarum menjadi technical advicer atau dewan penasihat PB Djarum, jadi tugas saya kurang lebih memotivasi adik-adik, sharing pengalaman saya dan sekali-sekali boleh sparring dengan mereka biar mereka juga ada motivasi, ada semangat baru lagi gitu.
Memutuskan terjun di bulutangkis sejak usia 12 tahun dan meninggalkan pendidikan formal, apa yang membuat anda berani memutuskan itu?
Enggak, karena memang waktu saya pindah ke Jakarta itu umur 12 tahun itu kan udah lulus SD. Nah, saya udah tahu konsekuensinya kalau saya memilih bulutangkis sekolah tetap berjalan tapi tidak fokus, bukan nama arti berhenti total. Artinya mungkin ada dispensasi khusus-lah kalau untuk kita buat atlet.
ADVERTISEMENT
Jadi waktu itu memang 12 tahun saya masuk di klub dan saya harus fokus untuk prestasi jadi tidak bisa berjalan dua-duanya. Jadi waktu itu saya memutuskan untuk lebih fokus di bulutangkis walaupun sekolah tetap berjalan tapi ya tidak bisa seperti layaknya normalnya orang bersekolah.
Pemain Bulu Tangkis, PB Djarum Liliyana Natsir. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Menurut Anda ini memang worth it ya?
Sebenarnya detik untuk saat itu sih gambling ya. Maksudnya kita kan belum tahu, saya, orang tua, saya pun belum tahu, saya bisa jadi pemain top dunia enggak. Bisa jadi juara dunia enggak, bisa jadi juara Olimpiade Enggak. Itu saya belum tahu. Jadi lebih ke gambling ya maksudnya harus memilih salah satu kan. Dalam arti sekolah tetap lanjut tapi nggak fokus, dan fokus di bulutangkis.
ADVERTISEMENT
Waktu itu orang tua nanya ke saya gimana, saya dengan lantang dan dengan tegas menjawab saya milih bulutangkis. Jadi setelah saya memilih bulutangkis saya bertanggung jawab atas pilihan saya, saya berusaha, saya maksimal untuk bisa berprestasi, ya untuk tidak mengecewakan orang tua saya yang sudah juga mengorbankan materi, waktu kumpul keluarga hampir jarang-jarang, karena saya di Jakarta orang tua di Manado, setahun sekali. Itu pun hanya singkat aja waktunya.
Waktu itu saya berpikir pengorbanan saya ini harus worth it, harus membuahkan hasil. Bagaimana caranya saya harus berusaha keras, saya harus maksimal untuk saya bisa menjadi juara olimpiade.
Apa yang membuat Anda bisa bertanggung jawab atas diri sendiri sejak usia muda?
ADVERTISEMENT
Waktu itu sih jujur ya di umur 12 tahun kan pasti juga selayaknya anak 12 tahun, butuh dukungan orang tua. Yang saya rasakan waktu itu orang tua saya mendukung penuh, otomatis saya sendiri jadi punya keyakinan bahwa orang tua saya mendukung saya, saya berpikir saya enggak mau ngecewain orang tua saya.
Orang tua saya udah mengeluarkan materi, tiket pesawat, untuk asrama, untuk pertandingan, saya enggak mau ngecewain mereka. Bagaimana caranya saya harus berprestasi. Jadi saya latihan keras, saya tambahan, saya disiplin. Ya puji Tuhan saya bisa sampai di titik ini.
Sebagai peraih juara dunia pernah merasakan down? apa momen paling menyakitkan selama jadi atlet?
Gagal itu pasti. Semua atlet itu pasti pernah merasakan gagal, nggak pernah ada yang ngerasa bagus terus, mulus terus sampai bisa jadi juara. Jadi saya rasa itu bagian dari proses, sebagai atlet itu ada ada naik ada turun. Tapi bagaimana caranya kita bisa memotivasi, kita tidak down, malah bangkit untuk berusaha semaksimal mungkin untuk nggak mau kalah, untuk melihat bahwa yang lain bisa kenapa saya nggak bisa.
ADVERTISEMENT
Waktu itu saya berpikir pengorbanan saya ini harus worth it, harus membuahkan hasil. Bagaimana caranya saya harus berusaha keras, saya harus maksimal untuk saya bisa menjadi juara olimpiade.
Pebulu tangkis Liliyana Natsir melambaikan tangan ke arah suporter saat pesta perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Apa yang membuat Anda bisa bertanggung jawab atas diri sendiri sejak usia muda?
Waktu itu sih jujur ya di umur 12 tahun kan pasti juga selayaknya anak 12 tahun, butuh dukungan orang tua. Yang saya rasakan waktu itu orang tua saya mendukung penuh, otomatis saya sendiri jadi punya keyakinan bahwa orang tua saya mendukung saya, saya berpikir saya enggak mau ngecewain orang tua saya.
Orang tua saya udah mengeluarkan materi, tiket pesawat, untuk asrama, untuk pertandingan, saya enggak mau ngecewain mereka. Bagaimana caranya saya harus berprestasi. Jadi saya latihan keras, saya tambahan, saya disiplin. Ya puji Tuhan saya bisa sampai di titik ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai peraih juara dunia pernah merasakan down? apa momen paling menyakitkan selama jadi atlet?
Gagal itu pasti. Semua atlet itu pasti pernah merasakan gagal, nggak pernah ada yang ngerasa bagus terus, mulus terus sampai bisa jadi juara. Jadi saya rasa itu bagian dari proses, sebagai atlet itu ada ada naik ada turun. Tapi bagaimana caranya kita bisa memotivasi, kita tidak down, malah bangkit untuk berusaha semaksimal mungkin untuk nggak mau kalah, untuk melihat bahwa yang lain bisa kenapa saya nggak bisa.
Waktu itu saya berpikir yang lain bisa juara, kenapa saya nggak bisa berarti ada yang salah dengan diri saya. Satu mungkin istirahat saya kurang, fokus saya kurang, saya males-malesan. Itu yang memotivasi saya sehingga saya bisa seperti sekarang ini. Saya ngerasa nggak ada sesuatu yang bisa didapatkan dengan santai, dengan males-malesan.
ADVERTISEMENT
Suatu prestasi bisa didapatkan dengan butuh pengorbanan. Pengorbanan itu apa? Bangun duluan, bangun lebih awal dari yang lain, latihan lebih keras dari yang lain, disiplin lebih tinggi itu siang saya alam insan sampai sekarang ini.
Momen terhebat?
Ya pasti juara Olimpiade. Karena saya rasa semua atlet berkeinginan untuk menjadi juara Olimpiade. Dan saya apa ya thanks god banget di umur saya yang udah 31 saya bisa juara Olimpiade.
Saya juga agak enggak nyangka ya karena waktu saya masih umur 28 saya dengan Nova Widyanto, ibaratnya masa produktif saya, saya hanya dapat medali perak. Semua orang berpikir bahwa ya memang kesempatan saya terakhir di Olimpiade London 2012.
Dan ternyata saya di Olimpiade London 2012 saya nggak bisa dapat medali, perunggu pun saya enggak bisa dapet. Di situ pasti saya ada merasa down dan kecewa. Tapi itulah di balik itu saya termotivasi lagi karena saya merasa saya masih ada kesempatan, saya berusaha maksimal dan puji Tuhan saya thanks god banget bisa dikasih juara Olimpiade dimulai Sayang udah 31.
ADVERTISEMENT
Kuncinya kerja keras, disiplin, positif?
Atlet itu banyak faktor yang bisa buat atlet itu menjadi juara. Jadi memang menjadi juara itu enggak gampang ya. Satu dari disiplin diri sendiri dari makan, tidur. Latihannya harus lebih dari orang lain, disiplin dan ada faktor lucknya juga. Jadi kadang-kadang saya juga ngeliat kok ini anak bagus, posturnya bagus, latihannya bagus kok susah bisa juara.
Jadi kadang-kadang endingnya juga ada faktor luck juga. Dalam arti waktu kita drawing, ikut pertandingan, kita ketemunya lawannya nggak terlalu berat dulu, baru nanti berat. Nanti drawing kita pas kebeneran dapat drawing nya pas lawannya yang kita cocok, kita bisa menang.
Itu ada faktor-faktor luck juga gitu, di samping kita juga harus punya disiplin, latihan yang keras punya talent, semua itu harus dilengkapi juga. Jadi nggak gampang itu menjadi seorang juara dan punya mental yang bagus juga.
ADVERTISEMENT
Kunci itu diterapkan ke anak-anak yang sekarang di-advice?
Ya sekarang saya ditugaskan untuk di PB Djarum, saya untuk memotivasi adik-adik di sini. tadi juga ada sedikit share-share saya dengan mereka, saya berbagi pengalaman apa yang saya alami. Apa benefit yang saya dapat setelah saya juara, apa yang harus mereka lakukan untuk mempersiapkan sebelum pertandingan, itu saya share tadi. Jadi sedikit banyak mudah-mudahan bisa memotivasi mereka karena di minggu depan mereka ada kejuaraan.
Jadi saya berharap di sini dengan kehadiran saya di PB Djarum saya bisa membawa aura positif, saya bisa memotivasi adik-adik, saya bisa share pengalaman saya, supaya mereka punya bayangan, punya motivasi untuk setidaknya bisa menyamai prestasi saya. Atau bersyukur bisa lebih dari saya, itu harapan saya.
ADVERTISEMENT
Banyak yang menilai sekarang belum ada yang bisa menyamai atau menyayangi Ci Butet?
Hehe, apa ya. Memang butuh sabar dan butuh proses ya. Nggak semua atlet iitu ditakdirkan, dikasih jalan untuk bisa jadi juara dunia Jadi juara Olimpiade. Jadi butuh sabar, butuh proses dan saya rasa sekarang progres di ganda campuran ini udah cukup baik.
Kita lihat kemarin Praveen Jordan-Debby Melly bisa tembus ke final walaupun belum sampai juara, tapi itu semua bagian dari proses. Jadi nggak semua bisa didapatkan dengan instan. setelah turunnya saya langsung ada pengganti, kita berharap seperti itu. Tapi kan semua ada prosesnya, Butuh waktu yang penting atletnya sendiri sabar, tekun. Saya rasa di level Jordan-Meli, di level Hafiz-Gloria itu mereka sudah bisa di bertengger di top 5 ya harusnya.
ADVERTISEMENT
Jadi itu yang saya berapa kali juga nyampein kalau ada momen ketemu Jordan, saya suka nyampein juga ke Meli, Gloria. saya bilang sekarang mungkin kalian belum bisa stabil tapi kalau kalian tekun, kalian sabar bisa berusaha.
Tahun depan pemilik emas Olimpiade itu nggak ada yang tahu, masih tanda tanya. Siapa yang bisa bilang pasti Cina yang juara Olimpiade, nggak ada yang bisa menjawab itu, karena selama ini pengalaman saya di Olimpiade banyak yang meleset, banyak yang tidak diduga-duga.
Contoh salah satunya saya. Waktu itu unggulan pasti China, Korea. Saya di unggulan 4, unggulan 3. Enggak ada yang menyangka saya bisa jadi juara di Olimpiade. Itu yang saya share ke mereka bawa kalau kita tekun, kita sabar, kita berusaha maksimal, kita disiplin, enggak ada yang mustahil di dunia ini.
Liliyana Natsir menyampaikan salam perpisahan di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu pensiun, #thankyoubutet ramai banget. Bagaimana tanggapannya?
Ya terharu sih, terharu, bangga. Enggak nyangka juga. Acaranya saya begitu luar biasanya. sampai jujur ya saya ngomong, Itu acara hari Minggu ya, Saya dari hari sebelum sebelumnya sudah persiapin, saya harus tegar, saya nggak boleh nangis, saya enggak boleh sedih.
Memang ini udah saatnya, saya udah persiapin ini, udah saatnya saya harus pensiun. karena memang udah persiapan untuk pensiun. Kecuali saya tiba-tiba cedera terus saya diharuskan pensiun.
Kalau ini kan memang sudah tahu, saya yang memutuskan untuk pensiun. Ternyata kesiapan saya udah persiapan segitu matangnya waktu saya nyampe di Istora saya dipanggil namanya masuk, enggak tahan juga. Dii situ saya juga ngerasa sedih ya pastinya, karena udah belasan tahun bahkan puluhan tahun saya berkecimpung di bulutangkis dan Ini saatnya saya akan meninggalkan bulutangkis ini gitu.
ADVERTISEMENT
Otomatis kan ya emosionalnya kan campur aduk ya dan lihat acaranya begitu antusias, pecinta bulutangkis Indonesia, teman-teman ganda campuran juga menyambut waktu saya keluar. Di situ ada Pak Imam Nahrawi Pak Menpora, semua hadir, ya. Di situ juga nggak tahan akhirnya ya, saya nangis.
Cuma ada satu positifnya buat saya, setelah saya pensiun ini saya berharap temen-temen di ganda campuran memotivasi diri mereka. Karena sekarang mereka lah jadi tumpuan di ganda campuran. Kalau dulu masih ada saya mungkin mereka lebih berpikir ada Ci Butet Mas Owi ini nggak apa-apa.
Kalau sekarang kan mau nggak mau harus mereka. Itu positif buat mereka, tapi di satu sisi juga ada beban buat mereka karena sekarang udah harus mereka nih. Kalau mereka gagal, missed, gagal. Itu yang saya alami waktu itu. jadi ada beban tersendiri juga tapi mudah-mudahan berjalannya waktu saya berharap Jordan-Melly, Hafiz-Glo, ada Owi-Winny dan Rino-Mentari mereka bisa menunjukkan hasil yang positif, mereka bisa secepatnya menggantikan posisi saya, Owi dan Butet, supaya mix double itu terus ada regenerasi.
ADVERTISEMENT
Terus ada yang menggantikan minimal dalam satu tahun itu ada beberapa ganda campuran yang bisa juara. jadi ganda campuran itu tetap disegani di dunia, ganda campuran Indonesia.
Begitu mengharu-birunya momen pensiun, itu sempat bikin ragu untuk pensiun enggak?
Makanya saya suka bilang ya sama temen-temen semuanya, siap enggak siap kita pensiun itu tergantung gimana kita mempersiapkan diri. jadi waktu saya sebelum pensiun memang sudah pikirin matang-matang. Saya udah udah siapkan semua bahwa setelah pensiun apa sih Kegiatan saya, income-nya. Dari mana sih. Saya biasanya jadi atlet dapat hadiah dari kejuaraan, dan sebagainya. Nah setelah saya berhenti apa sih yang harus dipersiapkan. Kegiatan apa sih, saya udah siap belum. Nah pada saat Saya memutuskan saya udah siap, waktu pensiun itu pasti saya lebih siap.
ADVERTISEMENT
Cuma emosional itu yang saya nggak bisa tahan. Maksudnya rutinitas yang biasanya saya jalanin. Pagi siang sore main bulutangkis, setiap bulan pasti saya berangkat ada pertandingan, ketemu temen-temen asli di luar, itu yang momen-momen itu yang mungkin saya merasa kehilangan. tapi kalau untuk setelah pensiun Puji Tuhan saya benar-benar siap karena saya ngerasa apa yang saya sudah kasih prestasinya untuk Indonesia, apa yang sudah saya dapatkan prestasinya itu sudah lebih dari cukup.
Apalagi terakhir momen yang paling saya, target utama saya bisa dapat medali emas Olimpiade itu sudah tercapai. jadi ibaratnya memang sudah saatnyalah, sudah puas dengan prestasi, dan dari segi umur juga sudah cukuplah untuk saya.
Bedanya duet sama Nova Widianto dan Tontowi Ahmad?
ADVERTISEMENT
Bedanya Nova saat itu berpasangan dengan saya dia lebih senior, jadi dia yang membimbing saya, dia yang mengarahkan saya. Waktu saya berpartner dengan Owi, saya lebih senior, dari jatuhnya saya membimbing dia.
Di situ saya punya tantangan tersendiri bahwa saya pengen nunjukkin selama ini bukan karena saya dibimbing saya bisa. Saya pengin nunjukkin bahwa saya sebagai senior, saya bisa membimbing adik junior saya untuk bisa berprestasi berpasangan dengan saya. Itu motivasi dan keinginan saya yang besar untuk itu.
Jadi puji Tuhan juga, kembali lagi saya dikasih jalan yang mulus dengan Owi, di awal berpartneran kita langsung bisa juara Macau. Di tahun depannya kita juara juara juara, dan di tahun depan lagi juara All England, hattrick, juara dunia dan kenangan ending manis nya tuh di Olimpiade Rio kemarin.
ADVERTISEMENT
Owi bilang Ci Butet galak. Galaknya gimana. Hehe?
Hehe, gini. Sebenarnya saya memang orangnya punya ambisi yang besar, positif ya. Saya keinginan mau menangnya besar, jadi waktu saat latihan, saya walaupun lawan siapa pun partner siapa pun saya nggak mau kalah. Dalam arti kalaupun kalah lawan itu pasti capek, lewat saya pasti udah maksimal keluarinnya. Itu saya punya ambisi yang besar, memang dari kecil saya memang punya jiwa yang enggak mau kalah.
Nah saya suka gemes kalau saat latihan kadang-kadang mungkin Owi lagi nggak enak main atau apa terus kurang penampilannya. Nah di situ kadang saya suka negur. “Wi ini latihan harusnya kita maksimal di latihan, nanti pertandingan tinggal kita keluarkan apa yang kita sudah dapat dari latihan”.
ADVERTISEMENT
Waktu di pertandingan saya suka nggak terima. Kalau saya kalah. Berikutnya saya harus berusaha gimana caranya saya bisa menang. Nah itu yang saya terapkan ke Owi. Karena saya mungkin waktu itu juga nggak bisa ngontrol jatuhnya lebih jadi kayak marah.
Tapi sejujurnya karena saya rasa keinginan pengen menangnya besar nggak mau kalah nya besar, jadi saya otomatis memacu Owi, saya memotivasi Owi untuk merasakan hal yang sama.
“Lu jangan mau dong, gengsi dong kalau kalah sama itu. Ayo dong berusaha maksimal, Ayo dong kalau nggak enak main, teriak. Ayo dong Wi jangan mati sendiri.”
Pemain Bulu Tangkis, PB Djarum Liliyana Natsir. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Itu yang terjadi gitu. tapi sebenarnya karena raut muka saya aja mungkin kelihatan marah. Tapi sejujurnya apa yang saya sampaikan itu kata-kata motivasi.
ADVERTISEMENT
Marah itu kan ‘Goblok lu’ ‘Bego lu’ itu marah namanya. ‘Lu nggak bisa main ya’ apa gimana, Itu marah. Kalau saya ngomong kayak gitu pasti Owi nggak akan terima sama saya. Nggak akan bisa lama saya berpartneran dengan dia.
Ci Butet bukan dari Batak tapi kenapa dipanggil butet?
Singkat cerita, dulu masuk klub, senior saya orang Medan. saya atlet paling kecil, manja, nangisan, dia bilang, kalau di Medan biasanya anak kayak begini nih, cewek-cewek kayak begini dipanggilnya Butet.
Udah Liliyana kepanjangan Panggil Butet aja. Posisinya saya junior, saya nggak berani ngelawan, Ya Kak, Ya Kak. akhirnya Semua manggil Butet Sampai detik ini.
Jadi dulu sempat ada momen Butet belum setangguh ini ya?
ADVERTISEMENT
Waduh, saya mah kan anak bungsu. Jadi kalau mau cerita, ya saya termasuk di umur itu saya cengeng kayanya ya. Karena saya di mana orang tua, di situ saya kayaknya waktu itu.
Dan waktu itu saya harus memutuskan untuk saya mandiri, orang tua saya pulang ke Manado, 3 jam pesawat, nanti ketemu 1 tahun berikutnya, Ya pastilah saya di umur 12 tahun galau.
Biasanya dibuatin susu, sakit ada orang tua, makan kadang diturutin mau makan apa. sekarang mau nggak mau makanan di asrama harus saya makan. Kalau nggak laper, terus semua harus saya atur sendiri, itu yang buat saya berat. Dan biasanya saya bangun ada orang tua, ada papa mama, ada kakak, sekarang bangun temen-temen doang. Namanya temen-temen pasti kan nggak se-care keluarga.
ADVERTISEMENT
Komunikasi dengan keluarga bagaimana waktu itu?
Telepon. saya ke wartel. dulu kan belum ada handphone. Handphone juga belum terlalu booming kayak sekarang, jadi saya ke wartel jalan kaki sama temen, ngajak.
Telepon paling setengah jam, telepon kangen-kangenan. Mama hari ini saya ngapain, Saya nanti mau kejuaraan, saya gini gini gini gini, udah. kadang tutup telepon nangis. gitu. Jadi ya banyak pengorbananlah, nggak semua manis kok. Semua pasti ngalamin itulah.
Ci Butet dikenal tomboi, katanya enggak punya rok selain rok SD?
Dulu punya rok waktu SD aja. hehe. Setelah itu, memang dari kecil saya memang energik ya orangnya. energik terus mau bergerak leluasa, dalam arti mainnya sama cowok, mainnya kelereng, layangan.
ADVERTISEMENT
Ya karet adalah main cuma nggak seberapa sering, lebih sering olahraga basket, pingpong, bulutangkis, kasti, semua saya. Jadi karena pengin leluasa otomatis kan nggak bisa pakai rok. loncat, duduk sama teman main kelereng kan kalau pakai rok kan nggak ini ya, jadi kebiasaan dari kecil sudah pakai celana. celana kaos.
Karena enggak terbiasa waktu gede mau dipakaiin rok kan rasa lain. Nggak biasa pakai. kecuali dari kecil mungkin udah biasa ya. itu sih. jadi sampai sekarang enggak punya rok, pakai celana. hehe.
Pebulu tangkis Indonesia Liliyana Natsir (kanan) menyapa pendukung saat pesta perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sempet ada berita yang nyebut, Ci Butet makanan favoritnya tikus hutan?
Enggak! siapa yang bilang? haha
Jadi apa makanan favoritnya, Ci?
Makanan favorit masakan mama. Makanan Manado. Ayam rica, ayam woku, babi woku, terus cakalang, cakalang disaosin. semualah masakan mama.
ADVERTISEMENT
Enggak sesuai dengan makanan yang diperbolehkan untuk atlet dong?
Makanya saya bilang atlet itu banyak pengorbanan. Saya doyan masakan mama, saya doyan pedes tapi pada saat jadi atlet memang harus saya kurangin.
Karena pedes Itu kan kita loncat-loncat kan panas perutnya, bikin sakit perut. Apa lagi mau pertandingan enggak boleh makan pedas.
Jadi saya cerita tadi sama adik adik, saya bilang, semua hasil itu mau maksimal itu pasti butuh pengorbanan. Saya pisah dari orang tua dari umur 12 tahun, saya suka makan pedas saya kurangin makan pedas,
Apa lagi mau pertandingan. walaupun susah ditelan, saya telan. Apalagi mau Olimpiade nasi hanya segini, 50 gram kalau enggak salah. Nasi beras merah padahal saya nggak doyan. Saking banyak seratnya walaupun seret. itu kan bagian dari pengorbanan.
ADVERTISEMENT
Karena itu untuk kebutuhan saya, untuk kondisi saya. Kalau saya mau ikutin kemauan saya, saya makanan aja yang pedes. Saya suka makanan pinggiran, saya makan aja makanan pinggiran. Tapi bagus enggak untuk badan saya, untuk kondisi saya.
Ci Butet ini ada sisi galaknya, tapi di sisi lain justru jadi tempat curhat teman-teman?
Enggak tahu ya mungkin saya jatuhnya bisa mengayomi ya. Dalam arti saya bisa nerima cerita mereka, saya bisa ngasih masukan yang positif buat mereka, bisa mencari jalan keluar buat mereka, bisa mencari solusi buat mereka.
Itu yang membuat mereka mungkin jadi nyaman cerita sama saya. Dan mungkin mereka butuh pengalaman saya, butuh cerita kesuksesan saya, itu yang juga jadi mereka pengen ngobrol dengan saya.
ADVERTISEMENT
Jadi mereka juga lebih percaya sama saya karena memang itu yang saya alami dan terbukti saya bisa berhasil. Itu yang membuat mereka jadi nyaman dan percaya maksudnya minta masukan atau pendapat dari saya.
Terakhir. Walaupun banyak yang suka curhat, tapi katanya ci Butet enggak suka keramaian sehingga dikenal cenderung cuek dengan fans?
Iya sih, memang. Maksudnya saya ini kan saya memang kurang suka ngurusin orang. terus identiknya kalau rame itu jatuhnya jadi bergosip. Ya. dalam arti ngomongin si A si B si C, saya kurang suka gitu.
Dalam arti, masih banyak yang harus kita lakukan selain ngomongin orang. maksudnya saya juga diri sendiri belum sempurna, saya masih banyak yang harus saya perbaiki.
ADVERTISEMENT
Kenapa nggak saya pergunakan waktu saya untuk diri, maksudnya bukan egois ya, untuk memperbaiki diri saya. Dalam arti dibanding berkumpul bergosip mending guel tambahan dan latihan gitu, mending gue pulang deh mandi. gua fokus makan tidur entar latihan gitu.
Aksi Tontowi/Liliyana di Asian Games 2018. Foto: ANTARA FOTOINASGOC/Puspa Perwitasari
Kalau cenderung cuek sama fans, kalau saya sih prinsipnya gini. Saya Thanks God banget maksudnya itu juga banyak Butet lovers, Butet Holic, banyak yang ngefans sama saya. Tapi saya ngerasa kedekatannya itu nggak harus juga terus rangkul-rangkulan. Nggak harus ketemu jumpa fans terus-terusan, nggak gitu.
Jadi saya ngerasanya fans itu dukung saya pada saat bertanding, pada saat bertanding atau sebelum bertanding mereka mau minta foto, mereka tanda tangan, saya dengan senang hati. Yang penting keadaan itu nggak urgent. Seperti misalnya saya udah mau pemanasan mereka minta foto minta tanda tangan, otomatis kan saya mikirin untuk gimana saya fokus untuk saya pertandingan. Setelah itu mereka meminta tanda tangan, mau minta foto,
ADVERTISEMENT
jadi prinsip saya adalah bagaimana saya nice dengan mereka. mereka minta foto oke.
Prestasi Butet:
ADVERTISEMENT
Simak cerita lengkap para atlet juara dunia usai pensiun dalam topik "Menyapa Para Juara"
ADVERTISEMENT