Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Fenomena buzzer kembali menuai polemik. Awalnya, presiden Jokowi meminta warga turut aktif mengkritik pemerintahan. Namun, sejumlah pihak malah khawatir pengkritik pemerintah justru akan diserang buzzer.
ADVERTISEMENT
Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio menilai keberadaan buzzer dapat membunuh demokrasi . Sebab, suara yang didengungkan oleh para buzzer ini menutupi opini publik yang asli.
"Negara ya termasuk masyarakat jadi tidak bisa mendengarkan opini publik yang asli. Itu yang paling parah dari daya rusak mereka (buzzer) itu (terhadap demokrasi). Kan kalau mereka menghargai opini orang lain atau kelompok lain, maka opini yang asli itu akan terdengar," kata pria yang karib disapa Hensat itu kepada kumparan, Kamis (11/2).
Hensat menjelaskan, buzzer berbeda dengan influencer. Influencer dinilai memiliki opini pribadi terhadap suatu hal. Sementara buzzer hanya mendengungkan opini pihak yang memesan dan membayarnya.
"Mereka kan bikin perjanjian si pengordernya, dan pengordernya juga mesti paham bahwa dalam ranah demokrasi ya memang harus bisa menghargai opini orang lain," kata dosen Universitas Paramadina itu.
Menurut Hensat, jika buzzer ingin memaksakan sebuah opini di media sosial itu sah saja. Meski demikian, jika ada opini yang berbeda maka tidaklah perlu kemudian diserang opini yang berbeda tersebut.
ADVERTISEMENT
"Boleh saja buzzer menerima job untuk mensosialisasikan atau mempopulerkan sebuah opini, tapi jangan dibunuh opini lain yang berbeda dengan dirinya gitu. Kecuali memang ordernya memang membunuh opini yang lain, kalau sudah begitu peran negara akan dibutuhkan," kata dia.
Hensat mengakui apabila buzzer ini merupakan profesi baru yang sedikit banyak mempengaruhi jalannya demokrasi di Indonesia. Namun, ia menilai pemerintah belum siap menerima profesi tersebut karena belum ada regulasi yang mengatur laku para buzzer tersebut.
"Ya yang bisa menertibkan buzzer hanya pemerintah. Kenapa? Karena pemerintah yang punya fasilitas untuk menonaktifkan itu. Ya matiin aja akunnya, kalau dia memang dia mendengung untuk membunuh opini publik," ujarnya.
"Tapi kan mereka (pemerintah) belum pernah untuk mencoba mengontrol para buzzer yang berdengung berdasarkan order itu," terangnya.
ADVERTISEMENT
Mengidentifikasi Ciri-ciri Buzzer
Ada cara sederhana untuk mengidentifikasi para buzzer yang berkeliaran di media sosial. Jika pemerintah serius menertibkan buzzer, Hensat yakin pemerintah bisa membedakan mana yang buzzer dan bukan.
"Biasanya kan itu akunnya enggak asli, atau akunnya yang penting ada akun, banyak nomor di belakangnya (di akun), kadang begitu," kata dia.
Lantas bagaimana dengan orang semacam Ade Armando yang kerap membela pemerintah dalam sejumlah cuitannya? Atau Abu Janda yang kerap menuai polemik menyerang pengkritik pemerintah? Apakah mereka buzzer?
"Enggak lah, mereka kan influencer. Tapi kalau Abu Janda sudah ngaku jadi buzzer. Kalau Ade Armando jatuhnya influencer," jawabnya.
Bagi Hensat, influencer itu berhak menjadi pengkritik maupun pendukung pemerintah. Hal tersebut tidak masalah sebab menjadi bagian dari praktik memberikan opini dalam negara demokrasi.
ADVERTISEMENT
"Tapi kalau buzzer, dia tidak dalam posisi memberikan opini. Dan biasanya opini dari buzzer atau konten dari buzzer itu sama semua, enggak beda. Karena bukan organik dari dia, semua itu pesanan," katanya.
Oleh karena itu, apabila yang dilakukan buzzer sudah meresahkan masyarakat, Hensat mengimbau pemerintah tidak ragu-ragu untuk menutup akun para buzzer tersebut.
Dampak Positif
Walaupun kerap dicitrakan negatif, buzzer ternyata bisa memiliki dampak positif jika digunakan dengan benar. Menurut Hensat, hal itu berlangsung ketika buzzer menggunakan identitas asli dan tidak melakukan doxing (menyebarkan info pribadi ke khalayak).
Lantas, apa dampak positif yang bisa diambil dari penggunaan buzzer?
"Pertama, dia bisa mengkomunikasikan atau mensosialisasikan kebijakan kebijakan pemerintah. Kedua, yang terpenting justru bahwa buzzer juga menghargai opini lain yang tidak sesuai dengan permintaan pengorder," kata dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu buzzer sebagai profesi juga membuka lapangan kerja baru di era media sosial ini. Hanya saja, perilakunya harus diatur.
"Jadi kalau dia diminta oleh (pemesan) yang mereka punya kedewasaan berpolitik, jadi artinya menghargai perbedaan pendapat, itu akan bagus juga," tutup Hensat.