Campur Aduk Perasaan Warga Palestina Usai Gencatan Senjata Gaza Disepakati

16 Januari 2025 16:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Gaza di Khan Yunis nonton bareng konferensi pers oleh Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed terkait pengumuman gencatan senjata di Gaza pada Rabu (15/1). Foto: Bashar Taleb/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Gaza di Khan Yunis nonton bareng konferensi pers oleh Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed terkait pengumuman gencatan senjata di Gaza pada Rabu (15/1). Foto: Bashar Taleb/AFP
ADVERTISEMENT
Israel dan Hamas telah menyepakati proposal gencatan senjata yang dalam beberapa waktu terakhir dibahas di Qatar. Kesepakatan gencatan senjata itu disambut gembira oleh warga Palestina dan dunia.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, tidak semua warga Palestina bergembira dengan kesepakatan gencatan senjata itu. Dikutip dari Al Jazeera, kesepakatan gencatan senjata membuat banyak warga Palestina mengingat keluarga dan rekan yang tewas dalam serangan di Jalur Gaza.
Salah satu kesepakatan dalam gencatan senjata adalah warga yang mengungsi dapat kembali ke daerahnya masing-masing. Warga pun mengungkapkan rencananya untuk kembali kota dan desanya begitu mereka diberikan kesempatan.
“Begitu ada gencatan senjata, saya akan kembali dan mencium tanah saya di Beit Hanoon di Gaza utara,” kata Umm Mohamed (66) yang kehilangan dua dari 10 anaknya ketika bom Israel menghantam rumahnya pada Desember 2023.
“Yang saya sadari dalam perang ini rumahmu, tanah air, dan anak-anakmu adalah satu-satunya yang kamu miliki,” katanya.
Warga Palestina Tayseer Obaid, bersama keluarganya duduk di dalam lubah bawah tanah yang digalinya untuk melindungi dari serangan Israel di perkemahan pengungsi Deir Al-Balah, Jalur Gaza bagian tengah, Senin (6/1/2025). Foto: Ramadan Abed/REUTERS
Meski gencatan senjata menjadi kabar baik, namun warga masih kesulitan untuk memproses semuanya. Khususnya jika mengingat orang-orang terkasih yang sudah lebih dulu berpulang.
ADVERTISEMENT
“Perasaan saya campur aduk. Tapi saya berdoa kepada Tuhan agar kami dapat kembali ke kehidupan normal kami tanpa merasa tidak aman,” kata petugas kesehatan, Mohamed Abu Rai (47).
Warga Palestina lainnya, Lubna Rayyes, mengingat rekannya yang tewas dalam serangan Israel. Rayyes adalah kepala sekolah International American Elementary School di kota Gaza, dan rekannya, Bilal Abu Saaman, tewas ketika berusaha menyelamatkan orang-orang dari puing-puing.
Rayyes mengatakan sering berkomunikasi dengan istri Abu Saaman dan menanyakan kabar anak mereka yang masih kecil.
“Dia orang yang hebat dan guru yang baik. Ketika dia tewas, itu sangat mempengaruhi saya dan hati saya masih sakit hingga sekarang,” kata Rayyes. Rayyes kini tinggal bersama suami dan ketiga anaknya di Kairo, Mesir, sejak tahun lalu.
ADVERTISEMENT
“Bilal adalah salah satu orang terbaik di dunia,” lanjutnya.
Seorang wanita Palestina yang mengungsi berjalan di antara tenda-tenda yang hancur usai serangan Israel terhadap kamp pengungsian sementara di Mawasi Khan Yunis di Jalur Gaza selatan, Kamis (2/1/2025). Foto: Bashar Taleb/AFP
Rayyes juga menceritakan rumah keluarganya yang dibakar habis oleh tentara Israel.
“Tidak ada yang tersisa dari rumah,” katanya.
“Tidak ada lagi foto keluarga atau kenangan lainnya yang dapat diselamatkan,” tuturnya.
Abu Rai juga kehilangan rumahnya dan seperti Rayyes, kenangan akan keluarga dan teman yang tewas membuatnya sangat sedih. Ia yakin jumlah korban tewas melebihi data resmi dan masih bingung bagaimana bisa selamat selama 15 bulan terakhir.
“Bisa bertahan hidup di Gaza merupakan keberuntungan,” ungkapnya.
Meski banyak warga Palestina yang tidak sabar untuk segera kembali ke rumah, ada juga yang tidak bisa membayangkan melanjutkan kehidupan di Palestina.
Mahmoud Saada (52), misalnya, tidak yakin ada solusi berkelanjutan meski ada kesepakatan gencatan senjata. Ia mengatakan akan membawa anaknya yang masih kecil dan meninggalkan Gaza begitu penyeberangan ke Mesir dibuka.
Seorang pria Palestina memeriksa lokasi serangan Israel di sebuah kamp tenda untuk para pengungsi, di tengah konflik Israel-Hamas, di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah, Minggu (4/8/2024). Foto: Ramadan Abed/REUTERS
“Saya bersumpah saya tidak akan kembali ke Gaza. Saya sudah sangat lelah,” katanya dari Deir el-Balah, di mana dia tidur bersama keluarganya di dalam tenda yang ramai.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin meninggalkan Gaza dan pergi ke tempat lain,” lanjutnya.
Abu Rai juga mengatakan tidak bisa membayangkan kembali tinggal di Gaza ketika semuanya sudah hancur. Ia juga yakin mereka yang selamat sangat trauma dan tidak dapat membayangkan membangun kembali komunitas dan kehidupan mereka, khususnya karena Gaza telah berjuang untuk bangkit dari pengalaman perang sebelumnya dengan Israel.
Saat ini, ia menduga banyak orang yang mencoba mencari jalan keluar, setidaknya untuk sementara waktu.
“Ada banyak kerusakan dan kami memulai dari nol lagi. Membangun kembali komunitas kami mencuri begitu banyak waktu dari hidup kami. Setiap hari kami kehilangan, kami tidak dapat kembali,” katanya.
Meski demikian, Abu Rai, Rayyes, dan Umm Mohamed sepakat warga Palestina pasti akan merindukan Gaza jika mereka pergi, membuat kepergian itu sulit bagi banyak orang. Pada akhirnya, mereka yakin sebagian orang akan tetap tinggal atau kembali ke Gaza jika mereka bisa.
ADVERTISEMENT
“Pada akhirnya kami harus kembali, kan? Tidak ada tempat seperti rumah,” pungkasnya.