Capres 2024 Dinilai Harus Gencar Kampanye Medsos Jika Ingin Gaet Milenial

22 Februari 2022 10:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Erick Thohir meninjau proses vaksinasi COVID-19 bagi warga lansia yang berlokasi di Istora Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (8/3). Foto: PPID DKI Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Erick Thohir meninjau proses vaksinasi COVID-19 bagi warga lansia yang berlokasi di Istora Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (8/3). Foto: PPID DKI Jakarta
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media sosial dinilai menjadi 'senjata' yang ampuh untuk menggaet pemilih muda pada Pemilu 2024 mendatang. Bahkan, sejumlah tokoh dan politisi cukup aktif menggunakan media sosial sebagai platform komunikasi dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Ujang Komaruddin, mengatakan jika politisi ingin menggaet pemilih pemula yang mayoritas berasal dari generasi milenial dan generasi Z, maka pendekatan lewat media sosial harus dilakukan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 27,7% penduduk Indonesia adalah generasi Z dan 25,9% adalah generasi milenial, yang totalnya mencapai 270,2 juta penduduk.
"Capres dan cawapres melakukan strategi modern, terkini maupun konvensional. Konvensional tadi lewat darat untuk mengambil suara kalangan-kalangan tradisional, kalangan lama. Nah, itu kalau pendekatan ke generasi Z pendekatan melalui udara, melalui media, khususnya media sosial," kata Ujang saat dihubungi, Senin (21/2).
"Oleh karena itu, mereka hari ini capres dan cawapres itu mengaktifkan kanal-kanal media itu untuk membangun dan untuk mendapatkan simpati dari kalangan milenial itu. Mem-publish prestasinya, kinerjanya, dan lain sebagainya lewat kanal media sosial tersebut," lanjutnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat pertemuan dengan Forum Pemred. Foto: Dok. Istimewa
Ujang kemudian menyebut sejumlah tokoh yang cukup populer di media sosial. Seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Erick Thohir. Ketiganya memiliki pengikut yang cukup banyak di media sosial. Ganjar memiliki 4,4 juta pengikut di Instagram, Anies 5,4 juta pengikut, dan Erick 1,9 juta pengikut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Raenaldy, Erviantono, dan Bandiyah pada 2017, media sosial dapat memberikan pengaruh positif terhadap kemenangan suatu calon dalam pemilu. Oleh karena itu, Ujang menilai ketiga tokoh tersebut dapat dikatakan selangkah lebih maju dibandingkan kandidat lain yang tidak menggunakan media sosial untuk menarik simpati calon pemilih.
"Lihat saja Ganjar sudah jalan. Itu udah dari dulu dan juga Anies sudah membuka kanal Youtube-nya. Lalu juga Erick Thohir sudah mulai. Hampir semua capres termasuk Airlangga lagi membangun komunikasi lewat media sosial itu begitu," ungkapnya.
Ujang juga menyebut media sosial kini dipakai untuk menaikkan elektabilitas dan membangun citra capres dan cawapres. Namun, selain lewat media sosial, capres dan cawapres juga bisa menempuh cara 'tradisional' untuk menggaet pemilih, khususnya pemilih generasi lebih tua.
ADVERTISEMENT
"Membangun pencitraan bisa melalui darat, bisa melalui udara. Selama ini yang dilakukan oleh capres dan cawapres membangun pencitraan, melakukan tebar pesona melalui udara itu bisa melalui media. Lalu bisa juga melalui jalan darat. Jalan darat itu artinya bisa dengan ketemu langsung atau bisa membagikan sembako gitu, kan, dan sebagainya," ujarnya.

Kemungkinan Capres dan Cawapres Dicalonkan Melalui Partai atau Tidak

Hal lain yang juga menarik perhatian adalah apakah capres dan cawapres akan dicalonkan melalui partai atau tidak. Ujang menilai, tokoh-tokoh seperti Ganjar, Anies, dan Erick Thohir bisa saja dicalonkan oleh partai.
"Ya, kan, ada dua kemungkinan. Yang pertama bisa dari ketua umum partai atau dari kader partai," ungkapnya lagi.
Sementara cara kedua adalah partai menggaet tokoh yang non partai atau bukan kader partai dan memiliki elektabilitas yang tinggi.
ADVERTISEMENT
"Yang kedua, mereka dari luar atau dari kepala daerah atau non partai yang mereka memiliki elektabilitas yang tinggi. Yang non partai mereka pasti punya elektabilitas yang tinggi. Kalau enggak, ya, partai enggak mau," pungkasnya.
Ditulis: Dhania Anindyaswari Puspitaningtyas