Cara Hidup Berdampingan Masyarakat Pulau Sebesi dengan Gunung Anak Krakatau

27 Agustus 2021 20:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kondisi Gunung Anak Krakatau, Minggu (13/1). Foto:  Fachrul irwinsyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi Gunung Anak Krakatau, Minggu (13/1). Foto: Fachrul irwinsyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883 menjadi salah satu bencana terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa itu sempat tercatat sebagai bencana alam paling buruk sepanjang sejarah. Bahkan aktivitas seismik dari letusan tersebut tetap berlangsung hingga Februari 1884.
ADVERTISEMENT
Letusan Krakatau ini lantas disebut sebagai salah satu letusan gunung api paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah dunia. Setidaknya 36.417 orang menjadi korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkan letusan Krakatau. Dampak letusan Krakatau juga dapat dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Sudah 138 tahun berselang sejak peristiwa kelam itu pertama kali terjadi. Masyarakat di sekitar kawasan Krakatau terus berbenah dan belajar hidup dengan memahami kondisi alam.
Hal itulah yang kini terus dilakukan oleh masyarakat yang mendiami Pulau Sebesi. Pulau yang merupakan daratan paling dekat dengan gugusan Krakatau dan turut menjadi saksi dari kedahsyatan letusan besar Krakatau tahun 1883.
Lava pijar dari Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Kalianda, Lampung Selatan, Kamis (19/7). Foto: AFP PHOTO / FERDI AWED
Kondisi masyarakat Sebesi usai letusan Krakatau itu kini tengah diteliti LIPI.
ADVERTISEMENT
Dalam acara bertajuk 'Mengenang Letusan Krakatau 1883: Pengetahuan Lokal dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana di Selat Sunda' Peneliti Pusat Kewilayahan P2W LIPI Devi Riskianingrum membeberkan bagaimana kondisi kehidupan masyarakat Sebesi saat ini.
Alih-alih khawatir akan potensi bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi, masyarakat Sebesi menurut Devi justru menjadikan Krakatau sebagai mata pencaharian sampingan selain bercocok tanam. Mereka membuat wisata daerah untuk menarik para wisatawan nasional maupun internasional yang penasaran ingin melihat langsung dari dekat wujud gunung Krakatau yang meluluhlantakkan kondisi Indonesia dan dunia pada masanya.
"Karena kebanyakan wisatawan justru ingin datang pada saat erupsi itu ingin melihat lontaran lontaran lava-lava itu. Bahkan bagi mereka orang Sebesi, bau belerang, terus hujan abu, dentuman yang terus-menerus itu dianggap hal biasa, bukan sebagai ancaman. Karena apa? itu dianggap sebagai batuknya anak-anak begitu menurut mereka," ujar Devi dalam diskusi LIPI yang digelar secara daring, Jumat (27/8).
ADVERTISEMENT
"Jadi bisa dibayangkan sesuatu yang merupakan ancaman bahaya dianggap sebagai satu bagian integral dalam kehidupan mereka," sambungnya.
Erupsi Gunung Anak Krakatau tertangkap satelit LAPAN-A2. Terlihat kepulan asap berwarna putih. Foto: dok LAPAN
Meski begitu, pemikiran tersebut berubah 360 derajat ketika Tsunami terjadi pada tahun 2018 lalu. Tepatnya pada tanggal 22 Desember 2018.
Terjadi tsunami yang disebabkan oleh letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda yang menghantam daerah pesisir Banten dan Lampung. Akibat peristiwa itu, sedikitnya 426 orang tewas, 7.202 orang terluka, dan 23 orang hilang.
"Namun demikian semua itu berubah saat terjadi tsunami 2018. Jadi bisa dikatakan tsunami mulai mengubah cara pandang mereka, awalnya sebagai berkah mereka mulai ketakutan," ujarnya.
Ketakutan dan rasa trauma masyarakat di Sebesi pun timbul tatkala beberapa dari mereka melihat langsung tanda-tanda awal akan terjadinya tsunami tersebut. Menurut Devi, masyarakat Sebesi melihat peristiwa bencana tsunami itu serupa dengan tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 silam.
ADVERTISEMENT
"Entah dari mana mereka teringat Aceh. Yang mereka ingat bahwa tsunami dimulai saat air surut, walaupun saat itu tidak ada gempa yang terjadi di Sebesi, selanjutnya mereka mulai berteriak entah siapa yang memulai orang-orang mulai meneriakkan kata tsunami, tsunami, dan mulai berjalan. Saat itu kejadian jadi semakin kacau dan masyarakat langsung pergi menuju Gunung Sebesi. Mereka cuma berpikiran untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi yaitu gunung Sebesi," ucap Devi.

Ketakutan Masyarakat Pulau Sebesi

Pulau Sebesi Foto: Shutterstock
Menurut Devi, kejadian tsunami itu secara tidak langsung memunculkan kesadaran masyarakat Pulau Sebesi mengenai potensi terjadinya bencana. Sebab, mereka teringat kejadian tsunami Aceh 2004.
"Sejak saat itu masyarakat jadi mengalami ketakutan akan kejadian tsunami jadi seolah-olah kejadian tsunami itu membangun ingatan kebencanaan mereka, mereka melihat dari Aceh menjadi satu peristiwa penting yang akhirnya mereka ingat oh ini tsunami, oh ini proses tsunami seperti itu," beber Devi.
ADVERTISEMENT
Devi menyebut peristiwa tsunami Aceh pada 2004 itu lebih membekas dibanding peristiwa letusan Krakatau pada 1883. Sebab, peristiwa itu sudah sangat lama terjadi.
Selain itu, Devi menilai tidak ada cerita yang diturunkan dari para nenek moyang soal peristiwa Krakatau itu. Sehingga, lambat laun peristiwa itu menjadi samar.
"Kenyataan bahwa masyarakat merupakan masyarakat Sebesi merupakan masyarakat pendatang menyebabkan semakin samarnya memori bencana di Sebesi, serta tidak terbentuknya tradisi narasi yang mungkin jika kita bandingkan dengan saudara kita di Semeleu bahwa mereka masih terus ada tradisi menarasikan apa yang terjadi saat itu yang dijadikan tradisi tapi hal ini tidak terjadi di Sebesi," tuturnya.
Warga korban tsunami dari Pulau Sebesi dan Sebuku Lampung Selatan tiba di Pelabuhan Bakauheni Lampung Selatan, Lampung, Rabu (26/12). Foto: ANTARA FOTO/Ardiansyah
Meski rasa takut masih menaungi masyarakat Sebesi, kata Devi, mereka justru belajar hidup dengan rasa takut mereka itu dan memilih untuk tetap bertahan di Pulau Sebesi. Aspek ekonomi mulai dari kepemilikan lahan pertanian hingga rumah membuat masyarakat Sebesi mengubur rasa takut mereka.
ADVERTISEMENT
"Justru mereka meresponsnya dengan membangun sebuah kewaspadaan serta berpasrah pada nasib karena mereka berpikir bahwa ajal bisa terjadi di mana saja bukan hanya karena tsunami tapi juga karena sakit, umur, dan sebagainya," ungkap Devi.
Masyarakat Sebesi perlahan mulai membentuk sistem kebencanaan mereka sendiri berkaca pada bencana tsunami yang pernah mereka alami sebelumnya.
"Masyarakat saat ini sudah paham bahwa jika terjadi apa-apa mereka akan naik ke gunung Sebesi. selanjutnya mereka juga Mulai memperhatikan ombak dan kondisi alam bahkan saat ini ada seorang tua di sana yang setiap hari memperhatikan ombak terutama pada saat Purnama sampai dia akhirnya disebut sebagai datuk ombak," ujar Devi.
"Serta masyarakat mulai memperhatikan fenomena alam yang terjadi di Gunung Anak Krakatau misalnya pada saat kami di sana tercium bau belerang yang sangat keras mereka akan langsung saling memberikan text message kepada saudara mereka terus sebagian bahkan memilih untuk tidak tidur," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan bencana itulah, kata Devi, yang perlahan mulai mereka turunkan kepada anak mereka. Sehingga jika bencana apa pun nantinya terjadi dan mengancam keselamatan, mereka tahu apa hal pertama yang harus mereka perbuat.
"Sehingga saat ini sekarang ada satu nasihat ya yang selalu didengungkan oleh orang-orang tua jangan tidur enak enak itu yang selalu mereka bilang. Jangan tidur enak-enak kalau memang sudah tercium bau-bauan itu yang selalu mereka bilang pada anak-anak mereka," kata Devi.
"Ini saya bisa menyimpulkan bahwa pasca tsunami 2018, pandangan masyarakat Sebesi perlahan mulai berubah dalam melihat Anak Krakatau dari berkah yang menghasilkan uang menjadi ancaman yang bisa menimbulkan bahaya," tutupnya.