Cara Kampus Tentukan UKT: Penghasilan Ortu hingga Tagihan Listrik

15 Mei 2024 16:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024). Foto: Fadlan Nuril Fahmi/kumparan
ADVERTISEMENT
Besaran uang kuliah tunggal (UKT) yang dinilai tak adil kini menjadi sorotan di kampus-kampus negeri terkemuka. Anak kurang mampu bayar kuliah mahal, dan kemungkinan lain, anak orang kaya bayar lebih murah.
ADVERTISEMENT
Muncul berbagai pertanyaan. Bagaimana sebenarnya kampus menentukan besaran UKT? Apa standarnya?
Terkait ini, Plt. Sekretaris Dirjen Dikti Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie memberi jawaban. Katanya, semua tergantung data-data pribadi sang mahasiswa baru.
Data tersebut mencakup penghasilan yang dari orang tua mahasiswa, aset yang dimiliki keluarga mahasiswa, hingga tanggungan dari keluarga mahasiswa.
"Makanya pada saat daftar ulang pertama kali itu ada berapa penghasilan ibu? Berapa penghasilan bapak? Berapa kemudian tanggungan saudara kandungnya atau tanggungan anaknya? Berapa kemudian contohnya dilampirkan foto rumahnya? Berapa tagihan listriknya? Berapa kemudian PDAM-nya?" ujar Tjitjik dalam paparannya di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5).
Data ini dibutuhkan sebagai syarat daftar ulang agar besaran UKT mahasiswa dapat ditentukan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarganya.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga sebagai langkah agar penentuan UKT kuliah menjadi tepat sasaran kepada keluarga mahasiswa yang betul-betul membutuhkan.
UKT untuk kelompok kurang mampu dibagi dua. UKT 1, Rp 0 sampai Rp 500 ribu dan UKT 2 Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta.
Namun, hanya 20 persen dari mahasiswa baru yang bisa menikmati ini. Sementara sisanya, UKT 3 sampai UKT 9 tergantung kampus.
"Ini tujuannya untuk apa? Untuk memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat bergotong royong dalam pembiayaan pendidikan tinggi secara berkeadilan. Jangan sampai anaknya tukang becak dikenakan UKT Rp 5 juta," ucap Tjitjik.
Tak Bisa Gratis
Kata Tjitjik, pemerintah tidak bisa menggratiskan biaya kuliah yang merupakan pendidikan tersier. Kemendikbudristek memprioritaskan pendanaan pendidikan terpusat pada program wajib belajar 12 tahun, program ini mencakup pendidikan SD, SMP, dan SMA.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu, tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar," ujar Tjitjik.