Cara Singapura Beri Kebahagiaan bagi Pasien dengan Perawatan Paliatif

5 September 2019 6:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fasilitas perawatan bagi pasien paliatif, Assisi Hospice Singapura. Foto: M Lutfan Darmawan
zoom-in-whitePerbesar
Fasilitas perawatan bagi pasien paliatif, Assisi Hospice Singapura. Foto: M Lutfan Darmawan
ADVERTISEMENT
Singapura memiliki fasilitas perawatan bagi pasien penderita penyakit kronis yang sudah tidak bisa diobati secara medis. Salah satunya adalah Assisi Hospice yang terletak di 832 Thomson Road.
ADVERTISEMENT
Dengan disambut Head Communication and Community Engagement Assisi Hospice, Juliet Ng, kumparan berkesempatan melihat fasilitas bagi pasien paliatif di sana. Kunjungan ini merupakan bagian dari agenda Jurnalis Visit yang diadakan oleh Singapore International Foundation (SIF), Rabu (4/9).
Head Communication and Community Engagement Assisi Hospice, Juliet Ng Foto: M Lutfan Darmawan
Juliet menjelaskan, mayoritas pasien yang dirawat di Assisi Hospice adalah pasien berumur 40 hingga 90 tahun. Sementara, untuk pasien berusia di bawah 40 tahun, jumlahnya hanya sekitar 3 persen saja.
"Pasien di sini berasal dari berbagai macam ras dan agama, semua diperlakukan sama tanpa pengecualian," kata Juliet di lokasi, Rabu (4/9).
Seluruh fasilitas didesain khusus untuk menunjang kebutuhan perawatan pasien. Mulai dari tempat tidur yang dilengkapi peralatan medis, hingga toilet dengan pegangan.
Selain itu, ada juga fasilitas ibadah, ruang makan, hingga ruang berinteraksi yang disediakan di tempat ini. Ruang berinteraksi inilah yang menjadikan tempat perawatan paliatif menjadi spesial.
Fasilitas perawatan bagi pasien paliatif, Assisi Hospice Singapura. Foto: M Lutfan Darmawan
Di ruangan ini, para perawat dan relawan akan beraktivitas bersama para pasien. Saat kami tiba, ada sekitar delapan pasien yang tengah bermain badminton dengan menggunakan balon sebagai kok-nya.
ADVERTISEMENT
Secara bergantian mereka memainkan itu. Perawat membuat semacam kompetisi bagi pasangan pemain yang paling banyak 'tek-tokan' bola, ia menjadi pemenangnya.
Ada juga kegiatan-kegiatan lainnya yang mereka lakukan. Mulai dari berkebun dengan pot, membaca koran, atau hanya bercengkerama dengan pasien dan sesekali terdengar tawa yang begitu nikmat.
Head Communication and Community Engagement Assisi Hospice, Juliet Ng Foto: M Lutfan Darmawan
Juliet menjelaskan, inti dari perawatan di Assisi Hospice adalah menggunakan pendekatan psikologis, psikososial, mental, hingga spiritual. Sehingga, para pasien menjadi lebih tenang, bahagia, dan nyaman dalam menjalani pengobatan.
Metode ini diharapkan bisa meningkatkan harapan hidup pasien dan memberikan kesempatan kedua untuk menikmati hari-hari terakhirnya dengan bahagia.
"Kami menjaga kondisi fisik mereka dan fungsi kognitifnya dengan berbagai kegiatan, mulai melalui psikoterapi, berdiskusi, hingga belajar musik dan kebudayaan," lanjut Juliet.
ADVERTISEMENT
No One Dies Alone
Fasilitas perawatan bagi pasien paliatif, Assisi Hospice Singapura. Foto: M Lutfan Darmawan
Assisi Hospice juga memiliki program yang disebut dengan No One Dies Alone atau NODA. Program ini diperuntukkan bagi pasien yang sudah tidak memiliki keluarga.
Sama halnya dengan perawatan pasien paliatif lainnya, namun program ini terasa khusus. Sebab para relawan atau perawat akan menemani pasien hingga menghembuskan napas terakhirnya.
"Kami memiliki pasien yang tidak memiliki dukungan keluarga. Jadi ketika mereka meninggal, tidak ada orang selain itu," kata Juliet.
"Jadi yang dilakukan relawan adalah mereka berteman dengan pasien ini. Dan juga pada 72 jam terakhir pasien, 48 jam, mereka (relawan) berada di sisi mereka, di sisi pasien," sambungnya.
Juliet menjelaskan, kadang hubungan antara relawan dengan pasiennya menjadi sangat emosional. Sebab, pertemuan dan kedekatan terakhirnya selama 48 jam berakhir dengan perpisahan selama-lamanya.
Head Communication and Community Engagement Assisi Hospice, Juliet Ng Foto: M Lutfan Darmawan
Ketika pasien bisa menghembuskan napas terakhir dengan merasa diperhatikan, dan diberikan kenyamanan, kadang hal sebaliknya berdampak pada kondisi para relawan. Ada beberapa yang mengalami kesedihan berlarut ketika berpisah dengan pasien yang terus ia dampingi selama jam-jam terakhirnya.
ADVERTISEMENT
"Orang-orang akan menjadi emosional, terutama yang saya katakan seperti (menangani pasien) anak kecil, anda (bisa) menjadi sangat emosional," kata Juliet.
Untuk menangani kondisi seperti itu, pihak Assisi Hospice juga menyediakan konseling bagi para relawannya. Bahkan, dalam kondisi tertentu, para relawan diminta untuk tidak dulu bekerja dan bisa kembali bekerja saat kondisi mereka sudah pulih dari kesedihan.
"Jadi misalnya, pasien meninggal, kami meminta mereka (relawan) untuk istirahat dan kembali dalam enam bulan. Jadi ini adalah hal-hal yang kami akhiri, jika sukarelawan membutuhkan konselor, kami akan memobilisasi (menyediakan). Kami akan memberikan istirahat sebelum Anda (relawan) kembali dan membantu kami," ungkapnya.
Fasilitas perawatan bagi pasien paliatif, Assisi Hospice Singapura. Foto: M Lutfan Darmawan
Hingga saat ini, ada 75 persen pasien Assisi Hospice yang merupakan penderita kanker stadium lanjut yang sangat sulit diobati.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data yang dirilis Assisi Hospice, saat ini mereka tengah menangani sebanyak 18 persen pasien berusia 40-60 tahun, 21 persen berusia 61-70, 27 persen berusia 71-80, 25 persen berusia 81-90, dan 7 persen sisanya 90 tahun ke atas. Ada 3 persen berumur 40 tahun ke bawah.
Sekitar 51 persen di Assisi Hospice berasal dari kalangan tidak mampu secara ekonomi. Terkait pendanaan Assisi Hospice beroperasi dengan dana sekitar 20 juta dolar Singapura per tahun.
60 persen dari biaya tersebut merupakan donasi, dengan 30 persen dari pemerintah. 10 persen lainnya merupakan biaya dari pasien yang dirawat, yakni sebesar 10 dolar Singapura per hari atau sekitar Rp 100 ribu.