Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Catatan MK soal Pilpres 2024: Tumpulnya Bawaslu Awasi Pemilu
23 April 2024 13:00 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Sidang sengketa Pilpres 2024 sudah selesai dan menyisakan sejumlah catatan khususnya bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti kinerja dari salah satu penyelenggara pemilu tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejumlah catatan dituangkan terkait kinerja Bawaslu. Hal itu bahkan dibacakan dalam putusan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024.
Sejumlah Hakim Konstitusi memberikan catatan kepada Bawaslu. Berikut di antaranya:
Dalam paparan dissenting opinion, Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih memberikan penilaiannya kepada Bawaslu terkait perkara yang dimohonkan oleh paslon 01 Anies-Cak Imin terkait dengan ketidaknetralan Pj Gubernur di Jateng, Sumut, hingga Kalbar.
Pemohon menilai telah terjadi pelanggaran netralitas ASN dari Pj Gubernur Kalbar, Harrison Azroi, yang memberikan imbauan memilih calon presiden yang mendukung Ibu Kota Nusantara (IKN). Dalam perkara Pj Gubernur Kalbar, Enny memandang ada indikasi kuat pelanggaran. Namun, tidak ada kejelasan proses hukum atas pelanggaran tersebut.
ADVERTISEMENT
“Adanya indikasi kuat pelanggaran yang telah dilakukan oleh Pj Gubernur Kalimantan Barat namun tidak terdapat kejelasan proses penegakan hukum atas pelanggaran tersebut menyebabkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas telah tercederai karena adanya keberpihakan kepada salah satu pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden 2024,” kata Enny, Senin (22/4).
Enny juga menyinggung ketidaknetralan Pj Gubernur Jateng, Nana Sudjana, yang juga dimohonkan dalam dalil Pemohon. Meski dalam persidangan dalil Pemohon itu tidak terbukti, Enny memandang pengawasan dari Bawaslu kurang maksimal.
“Terlepas dari Bawaslu telah melaksanakan tugas Pengawasan melalui penelusuran dan hasilnya dinyatakan tidak terbukti terdapat pelanggaran, namun hasil penelusuran tersebut tidak cukup meyakinkan bahwa Pj. Gubernur Jawa Tengah telah bersikap netral, apalagi Bawaslu tidak bersungguh-sungguh untuk menindaklanjuti laporan tersebut,” kata Enny.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan, MK juga menyoroti salah satu putusan Bawaslu yakni dalil permohonan dari AMIN soal candaan Mendag Zulkifli Hasan (Zulhas). Dalam candaan itu, Zulhas menyinggung soal bacaan dan gerakan salat yang dikaitkan dengan Pilpres 2024.
Terkait hal itu, dugaan pelanggaran tersebut memang sudah ditindaklanjuti oleh Bawaslu sesuai dengan tugas, kewenangan, dan kewajibannya. Namun dalam kesimpulannya, Bawaslu masih belum mempertimbangkan aspek lain.
"Namun, dalam menarik kesimpulan terkait dugaan pelanggaran pemilu terhadap peristiwa tersebut, Bawaslu belum memperhatikan aspek lain seperti penggunaan fasilitas negara, citra diri, dilakukan dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara, maupun waktu pelaksanaan yang berada dalam tahapan kampanye pemilu," kata Hakim Guntur Hamzah membacakan putusan.
Menurut MK, hal itu terjadi karena tidak adanya persyaratan baku, tata urut, atau pisau analisis yang harus digunakan oleh Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristiwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materil.
ADVERTISEMENT
"Sehingga menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu tidak dilakukan secara komprehensif," ucap Guntur Hamzah.
Dalam paparan putusan, MK juga menyoroti pemeriksaan Bawaslu mengenai penggunaan media sosial Kementerian Pertahanan yang disebut digunakan untuk kampanye paslon 02. Perkara tersebut sudah diusut oleh Bawaslu.
Kendati begitu, Mahkamah memberikan catatan terhadap Bawaslu. MK menyebut Bawaslu kurang memperhatikan sejumlah aspek-aspek kampanye.
“Dalam menarik kesimpulan terkait dugaan pelanggaran pemilu terhadap peristiwa tersebut, Bawaslu kurang memperhatikan aspek lain seperti penggunaan fasilitas negara, citra diri, dilakukan dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara, maupun waktu pelaksanaan yang berada dalam tahapan kampanye pemilu,” papar Hakim MK Arsul Sani.
Mahkamah menilai, tak jelasnya pengusutan yang dilakukan oleh Bawaslu itu terjadi lantaran tak ada persyaratan baku yang harus digunakan Bawaslu untuk menentukan laporan kategori seperti itu masuk ke ranah pelanggaran atau bukan.
ADVERTISEMENT
“Tidak adanya persyaratan baku maupun tata urut atau pisau analisis yang harus digunakan oleh Bawaslu dalam menentukan bagaimana suatu peristiwa dianggap memenuhi atau tidak memenuhi syarat materil, sehingga menyebabkan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu tidak dilakukan secara komprehensif,” sambung Arsul.
MK juga menyebut ada celah pada aturan hukum di UU Pemilu yang membuat Bawaslu sulit untuk menindak suatu laporan dugaan pelanggaran. Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan MK melihat ada kelemahan dalam UU Pemilu No 7 Tahun 2017, PKPU, dan Peraturan Bawaslu.
"Sehingga pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu khususnya bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu," kata Suhartoyo.
MK menjelaskan, bahwa UU Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai, padahal, katanya, Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu telah menyebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
ADVERTISEMENT
MK mengungkapkan, ketiadaan pengaturan tersebut memberikan celah bagi pelanggaran pemilu yang lepas dari jeratan hukum ataupun sanksi administrasi.
"Dengan demikian, demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah selanjutnya, menurut Mahkamah, ke depan Pemerintah dan DPR penting melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu, UU Pemilukada maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye, baik berkaitan dengan pelanggaran administratif dan jika perlu pelanggaran pidana pemilu," ujar Suhartoyo.
Hakim MK Saldi Isra juga memiliki pandangan yang sama terkait dengan lemahnya pengawasan Bawaslu pada penyelenggaraan Pilpres 2024. Dalam pertimbangan dissenting opinion, Saldi Isra menyebut dalam fakta persidangan, dirinya menemukan permasalahan pada netralitas Pj kepala daerah dan pengerahan kepala desa untuk kepentingan elektoral.
ADVERTISEMENT
“Setelah membaca keterangan Bawaslu dan fakta yang terungkap di persidangan serta mencermati alat bukti para pihak secara saksama, saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas Pj kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi,” kata Saldi Isra.
Pj Kepala Daerah yang tidak netral, lanjut Saldi, tersebar di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Ketidaknetralan Pj itu berupa pergerakan ASN, mengalokasikan sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang memiliki komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, pembagian bantuan sosial atau bantuan lain kepada para pemilih dengan menggunakan kantong yang identik dengan identitas pasangan calon tertentu.
Dasar penilaian ketidaknetralan oleh Saldi Isra tersebut adalah rilis KASN pada Desember 2023. Pada temuan itu menunjukkan bahwa sebagian Pj. kepala daerah dinilai belum optimal dalam mengawal netralitas ASN. Salah satu penyebab utamanya adalah intervensi politik sehingga membuat ASN melanggar netralitas.
ADVERTISEMENT
Meski kejadian-kejadian tersebut sudah dilaporkan ke Bawaslu dan dijadikan bukti pada persidangan, Saldi merasa laporan-laporan yang dibawa ke Bawaslu itu tidak tertangani secara utuh. Pada kasus-kasus yang dinilai tidak terbukti karena tidak memenuhi syarat formil atau materil, menurut Saldi, Bawaslu tidak memberitahukan kekurangan persyaratan yang dimaksud.
“Hal demikian sebenarnya dapat dipandang sebagai cara Bawaslu menghindar untuk memeriksa substansi laporan yang berkenaan dengan pelanggaran Pemilu,” jelas Saldi Isra.
“Meskipun demikian, saya berkeyakinan bahwa telah terjadi ketidaknetralan sebagian Pj. kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil. Semuanya ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas,” imbuh dia.
Dalam paparan dissenting opinion, Hakim Arief Hidayat juga menyoroti kinerja Bawaslu terkait dugaan ketidaknetralan aparat pemerintahan banyak yang tidak memenuhi syarat baik secara materil atau pun secara formil-materiil. Menurut Arief, justru kinerja Bawaslu yang kurang maksimal dalam mengusut laporan.
ADVERTISEMENT
"Patut dipertanyakan adalah fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu yang terkesan bersifat formalitas dan prosedural. Padahal bukti di berbagai media, khususnya media online banyak ditemukan penyimpangan ketidaknetralan para penjabat kepala daerah maupun aparat pemerintahan di tingkat desa," kata dia.
"Sepatutnya Bawaslu tidak boleh hanya sekadar bersandar pada laporan masyarakat, namun dapat secara aktif melakukan temuan pelanggaran yang dilakukan para penjabat kepala daerah dan aparat pemerintahan lainnya. Terlebih bukti temuan ke arah sana telah beredar luas," sambung dia.
ADVERTISEMENT
Masih dalam dissenting opinion, Hakim Arief Hidayat juga menilai kinerja Bawaslu yang belum maksimal. Ia mendorong pembentuk undang-undang perlu melakukan reformulasi desain pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu sehingga dapat secara efektif melakukan fungsi pengawasannya.
ADVERTISEMENT
"Khususnya terhadap pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintahan dan aparat negara yang memiliki power. Semestinya Mahkamah meyakini adanya cawe-cawe yang dilakukan Presiden kepada para penjabat kepala daerah dan kepala desa, meskipun sulit untuk dibuktikan karena lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu, pun tak sanggup mengungkap pelanggaran Pemilu secara terang benderang," kata dia.
"Padahal rekam jejak digital bahwa Presiden boleh cawe-cawe atau boleh berkampanye dapat dianggap sebagai “sinyal kekuasaan dan instruksi” yang dapat dirasakan agar semua aparat negara dan aparat pemerintahan dapat memenangkan paslon yang didukung oleh Presiden," sambungnya.
Selain itu, Hakim Arief Hidayat juga menyoroti soal kenaikan Tunjangan Kinerja Bawaslu oleh Presiden yang dilakukan dua hari menjelang pemungutan suara. Arief mempertanyakan apakah ada keterkaitan antara lemahnya fungsi pengawasan Bawaslu dengan kenaikan Tunjangan Kinerja Bawaslu.
ADVERTISEMENT
"Sebab, pihak yang menaikkan Tunjangan Kinerja merupakan salah satu subjek yang diawasi Bawaslu. Kultur budaya timur yang ewuh pekewuh dapat turut serta mempengaruhi fungsi pengawasan yang dilakukan Bawaslu terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan aparat pemerintahan di bawahnya, termasuk para penjabat kepala daerah," kata dia.
Arief menyebut, meskipun rencana kenaikan Tunjangan Kinerja telah direncanakan jauh hari sebelum Pemilu. Namun, momentum kenaikan Tukin jelang hari pemungutan suara dinilai kurang tepat.
"Sebab, akan menimbulkan syakwasangka publik terhadap kebijakan ini. Bahkan boleh jadi turut berpotensi melemahkan pengawasan yang dilakukan Bawaslu terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan aparat pemerintahannya, sebagai salah satu subjek pengawasan Bawaslu," pungkasnya.