Catatan PDIP soal 239 ASN DKI Tolak Seleksi: Ada Masalah Manajemen

20 Mei 2021 13:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah PNS lingkup Pemprov DKI Jakarta berjalan memasuki ruang dinasnya saat hari pertama masuk kerja usai libur lebaran di Balai Kota, Jakarta, Senin (17/5/2021). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah PNS lingkup Pemprov DKI Jakarta berjalan memasuki ruang dinasnya saat hari pertama masuk kerja usai libur lebaran di Balai Kota, Jakarta, Senin (17/5/2021). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Lebih dari 200 Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI memutuskan untuk tidak mengikuti seleksi terbuka jabatan Eselon II, tentunya memunculkan berbagai pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Politikus PDIP DPRD DKI, Gilbert Simanjuntak, turut mengungkapkan keheranannya. Eselon II adalah jabatan yang terbilang tinggi di lingkup DKI Jakarta. Logikanya, kata Gilbert, tentu banyak yang ingin menjadi pejabat tinggi, apalagi di Jakarta. Jadi, mengapa dan mengapa bisa sebanyak itu?
“Jabatan Eselon II itu kan sudah sangat tinggi di DKI, karena Eselon I-nya itu cuma satu di DKI, Sekda, kan. Artinya, mengapa mereka dengan tunjangan yang begitu besar hingga puluhan juta tidak berniat, sementara mereka mau menjadi pegawai negeri ini, kan, berharap mendapat jabatan itu. Sekarang jabatannya kosong, kok sebegitu banyak yang tidak mau?” ungkap Gilbert ketika dihubungi, Kamis (20/5).
Sebagai informasi, sebelumnya terdapat 17 jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dibuka bagi para ASN yang memenuhi syarat dan dianggap kompeten. Jabatan tersebut bervariasi, mulai dari Kepala Dinas hingga Wakil Bupati. Tapi, ada 239 ASN yang menolak perintah Anies untuk ikut seleksi jabatan tanpa alasan yang jelas.
ADVERTISEMENT
Gilbert lantas menekankan salah satu hal yang menurutnya menjadi sumber dari permasalahan ini: Sistem seleksi di badan Pemprov itu sendiri. Ia beranggapan, missmanagement menjadi salah satu penyebab persoalan ini.
“Kalau satu-dua [ASN] yang tidak mau, masih masuk akal. Kalau sebegitu banyak yang tidak mau, berarti sistem yang bermasalah, bukan mereka [ASN] yang bermasalah,” tegas Gilbert.
“Karena dulu zaman Ahok, mereka banyak yang dimarah-marahi dan dipecat, tetapi mereka tetap berniat dan berlomba-lomba untuk menjadi Eselon II. Kenapa? Ada kejelasan [sistem],” lanjutnya.
Dari informasi yang sampai ke Gilbert, salah satu yang menjadi persoalan adalah meskipun seleksi tersebut bersifat terbuka, artinya siapa pun boleh mendaftar, tetapi pihak yang nantinya akan memangku jabatan tersebut sebenarnya sudah ditentukan di luar seleksi.
ADVERTISEMENT
“Kalau saya tes, kemampuan saya akan dihargai. Ini kan persoalannya, yang sampai ke kita, adalah mereka [ASN] tes, tetapi kemudian sudah ditentukan siapa pemenangnya. Jadi mereka ngapain tes? Ngapain menunjukkan kemampuannya?" tutur dia.
"Kalau tes kan kita ujian ya, tentu kita belajar, menunjukkan kemampuan agar lulus. Lalu kalau kemudian yang lulus ini bukan karena kemampuan menurut mereka, ya mereka enggak akan berniat,” papar anggota DPRD DKI Komisi B ini.
PNS lingkup Pemprov DKI Jakarta mencuci tangannya memasuki ruang dinas saat hari pertama masuk kerja usai libur lebaran di Balai Kota, Jakarta, Senin (17/5/2021). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
TGUPP Juga Jadi Alasan?
Banyaknya isu yang beredar bahwa Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) menjadi salah satu faktor 239 ASN itu enggan mengikuti seleksi jabatan Eselon II.
Menurut Gilbert, jika memang ada masalah dengan TGUPP, berarti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sendirilah yang harus turun tangan dan melakukan evaluasi serta introspeksi.
ADVERTISEMENT
“Introspeksi. Evaluasi yang dia lakukan: ‘Apakah di saya, di orang sekitar saya yang kemudian melakukan permasalahan’,” ujarnya.
“Karena kalau TGUPP yang bermasalah, TGUPP ini yang nunjuk siapa? Gubernurnya. Berarti Gubernur yang bermasalah. Kan, TGUPP itu diangkat sama dia, jadi, kalau mereka macam-macam, ya, berarti itu salah dia [gubernur], salah dia milih orang, salah dia kemudian memberi wewenang begitu. Kalau mereka [TGUPP] tidak diberi wewenang, kan, masa iya mereka melakukan itu,” jelas Gilbert.
Mengutip portal resmi Pemprov DKI, TGUPP sendiri adalah sebuah tim yang dibentuk oleh Anies Baswedan yang dibutuhkan sebagai mata, telinga, bahkan sistem saraf Gubernur dalam memastikan tercapainya visi misi.
Tim ini terdiri atas para tokoh, ahli, serta tenaga profesional yang menjadi andalan Gubernur dalam mengawal visi-misi program prioritas pembangunan DKI Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meghadiri penandatanganan kontrak kerja sama antara PT. MRT Jakarta dengan SMCC-HK JO di Taman Fatahillah, Taman Sari, Jakarta Barat, Selasa (20/4). Foto: Pemprov DKI Jakarta
Introspeksi
ADVERTISEMENT
Gilbert tak hanya sekali atau dua kali saja menegaskan, Pemprov DKI, dari atas hingga bawah, harus melakukan introspeksi. Baginya, jangan hanya menyalahkan ASN tidak mau ikut seleksi, tetapi cari tahu akar permasalahannya.
"Gubernur melakukan introspeksi terhadap anak buahnya. Atau kemungkinan, mereka anak buahnya ini menganggap ‘Ini bukan di saya, orang [pemenang] sudah ditentukan, saya cuma pelaksana,’ kita enggak tahu. Silakan saja introspeksi,” saran Gilbert.
Kekosongan Jabatan yang Merugikan Masyarakat
Bagi Gilbert, tak patut dipermasalahkan ratusan ASN yang menolak seleksi jabatan tersebut. Ada yang lebih penting untuk diperhatikan, yakni kekosongan 17 jabatan itu sendiri.
“Gini, ini kan hanya alasan kecil ASN tak mau ikut Eselon II. Yang masalah utama ini kan pelayanan menjadi terganggu. Yang jadi korban siapa? Masyarakat,” tegas Gilbert.
ADVERTISEMENT
Kekosongan jabatan tinggi tersebut, menurutnya, tentu sangat merugikan masyarakat. Sebab, pelayanan masyarakat menjadi terganggu.
“Jadi jangan melihat masalah kenapa mereka tidak mau jadi Eselon II, itu urusan mereka sendiri-sendiri. Kan mereka jadi Eselon II itu untuk tugasnya untuk melayani masyarakat. Kalau mereka tidak menjabat, lalu pelayanan akan terhambat,” paparnya.
Yang diangkat sebagai pengisi kekosongan 17 jabatan itu berstatus pelaksana tugas (Plt). Kata Gilbert, ini menyebabkan wewenang mereka dalam jabatan tersebut menjadi terbatas.
“Sekarang pun yang diangkat statusnya Plt, berarti kan wewenang mereka terbatas. Jadi Anda bisa melihat, ini adalah missmanagement. Ini kata kuncinya. Missmanagement di badan Pemprov nya, dari Gubernur ke bawah,” pungkas Gilbert.