Cegah Potensi Hengki Pengki, Anies: Desentralisasi Jangan Jadi Resentralisasi

2 Desember 2023 1:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anies Baswedan ngopi bareng masyarakat di Kawan Kofie, Tebing Tinggi, Sumut, Kamis (2/11/2023).  Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Anies Baswedan ngopi bareng masyarakat di Kawan Kofie, Tebing Tinggi, Sumut, Kamis (2/11/2023). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Capres Nomor Urut 1, Anies Baswedan, menilai Indonesia saat ini sudah berada pada rute yang benar yakni memilih demokratisasi pada 1998-1999 diiringi dengan desentralisasi. Anies menyebut, tak banyak negara yang mengambil jalan ini secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Bahkan untuk desentralisasi, Anies menilai Indonesia sudah mendekati tahap devolusi artinya kewenangan dari pemerintah pusat benar-benar diberikan kepada daerah, kecuali untuk beberapa urusan. Anies menilai, tujuannya tak lain untuk mengefektifkan pemerintahan.
Namun sayangnya, akhir-akhir ini, Anies menilai demokrasi Indonesia mengalami penurunan kualitas. Baik dari segi reformasi kepartaian, reformasi pemilu hingga reformasi hubungan antara lembaga tinggi negara.
"Itu kan semuanya mengalami reformasi, dalam beberapa tahun terakhir ini kita mengalami penurunan kualitas demokrasi kita. Indikator-indikatornya ada," kata Anies dalam forum diskusi dengan PWI Pusat di Kantor PWI Pusat, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (1/12).
Kemudian terkait desentralisasi, Anies menilai tujuannya dilakukan hal tersebut karena pemerintah pusat tidak mungkin bisa menyelesaikan semua urusan di daerah kalau perencanaannya tersentralisasi alias terpusat. Karenanya perlu desentralisasi.
Pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) mendapat nomor urut 1 sebagai kontestan Pilpres 2024, Selasa (14/11/2023). Foto: Dok. Istimewa
Namun demikian, beberapa waktu ini, Anies menilai desentralisasi itu berubah menjadi resentralisasi alias kembali terpusat melalui revisi perundang-undangan dan keputusan-keputusan pemerintah. Dia memberikan contohnya.
ADVERTISEMENT
"Saya mengambil keputusan untuk mengambil peraturan gubernur, peraturan gubernur itu harus melewati Kemendagri, dan disetujui Mendagri, baru peraturan gubernur itu bisa dijalankan. Padahal kewenangannya ada pada gubernur, itu yang terjadi pada semua," kata dia.
"Sesungguhnya itu ingin merespons keadaan. Banyak yang ingin membuat aturan macam-macam karena itu harus dilempengkan. Tapi yang dikerjakan bukan melempengkan, tapi melakukan resentralisasi," sambungnya.
Apa dampaknya? kata Anies, pergub yang sudah diusulkan bahkan baru bisa keluar disetujui pemerintah pusat berminggu-minggu atau sebulan kemudian. Sebab, Kemendagri harus menampung pergub dari seluruh Indonesia, yang harus diverifikasi, diproses.
Bahkan, Anies menyinggung potensi 'hengki pengki' alias penyelewengan dalam proses macam itu.
"Ya bayangkan di sini harus menampung seluruh pergub dari seluruh Indonesia, kemudian diverifikasi, diproses, dan potensi 'hengki pengki' di dalamnya, potensi. Karena peraturan tuh, ini kan perubahan peraturan, mendadak di ujung," kata eks Gubernur DKI Jakarta itu.
ADVERTISEMENT
"Ini contoh resentralisasi yang kami alami. Begitu juga pertambangan, energi dan lain-lain yang banyak kewenangan ditarik ke pusat," sambungnya.
Desentralisasi Jangan Ditarik Menjadi Resentralisasi
Dalam kesempatan yang sama, Anies menegaskan bahwa desentralisasi sejatinya jangan ditarik menjadi resentralisasi, tapi desentralisasi ini harus diiringi dengan arahan.
"Harus diiringi dengan guideline dan KPI (key performance indicator) atas capaian yang harus dilakukan oleh provinsi dan kabupaten kota," kata dia.
Dia kembali mencontohkan, jika saat ini Indonesia punya komitmen dunia internasional soal lingkungan hidup, harus juga tersampaikan ke level daerah.
"Kan kita ikut nih COP20, Paris Agreement, ini Pak Presiden juga lagi berangkat ke COP di Dubai itu komitmen itu kan tandatangan di global, yang melakukan eksekusi siapa nanti? Kan di kota-kota, pertanyaannya, ada enggak wali kota yang tahu apa yang harus dikerjakan? tidak, enggak tahu. Kalau ada wali kota peduli lingkungan hidup itu wali kotanya peduli, bukan ada guideline dari pusat," kata Anies.
ADVERTISEMENT
"Oke kalau ada wali kota peduli nasib ibu hamil itu adalah wali kotanya peduli, bukan karena guideline dari pusat. semua urusan welfare (kesejahteraan) kita hampir tidak ada guideline dari pusat, jadi daerah itu jalan sendiri," sambungnya.
Siswa Sekolah Dasar (SD) menyeberangi Jembatan Gantung Lengkongjaya yang melintasi Sungai Ciwulan, Desa Pusparaja, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (23/7/2019). Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Anies menegaskan, saat ini pembehasan bila daerah dipanggil oleh pusat belum membahas soal masalah kesejahteraan.
"Kita ini, saya dipanggil, satu, kalau dipanggil ini masih dikumpulin. Satu, kalau ada Silpa yang besar, yang kedua kalau uang di parkir di banknya banyak, yang ketiga kalau penggunaan produk dalam negeri di dalam pengadaan barang dan jasa itu rendah," kata dia.
"Tapi kesehatan ibu, kesehatan anak, jumlah sekolah, jumlah ruang kelas, enggak ada itu semuanya. Nah itu yang justru kami mau buat. Jadi kami merasa untuk mempelajari pemerintah yang efektif, maka pemerintah pusat harus menyusun kebijakan sampai di level provinsi, dan level provinsi meneruskan di level kabupaten kota, sehingga di semua aspek pemerintahan, tiap kepala daerah itu tahu apa yang harus dikerjakan," pungkasnya.
ADVERTISEMENT